Jumat, Mei 27, 2011

Menulis dan Sensor Diri (Self Censorship)

Setiap orang mempunyai kebebasan untuk menulis. Anda benar-benar bisa menulis apa saja dengan cara bagaimana saja juga untuk tujuan apa saja sesuai keinginan Anda. Tetapi, ketika (tulisan) Anda berhubungan dengan orang lain, kemudian dilakukan melalui media umum (terbuka), maka kebebasan Anda pada dasarnya dibatasi oleh kebebasan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. 

Inilah saatnya kita memerlukan sensor diri yang bisa mencegah kita dari kesulitan yang lebih besar, yakni bergesekan dengan persoalan etika, benturan moral dan/atau pelanggaran hukum. 


Tidak ada sanksi apapun ketika Anda melanggar etika dan moral. Tetapi ada sanksi yang tegas ketika Anda melanggar hukum. 

Sanksi etika dan moral bersifat instrinsik (bisa dirasakan tetapi tidak terlihat) sedangkan sanksi hukum bersifat ekstrinsik, jelas dan nyata. Ancamannya, bisa berupa hukuman pidana seperti kurungan badan (penjara) atau perdata berupa denda yang harus dibayar. 

Sanksi etika dan moral, berupa alienasi (pengasingan), tidak disukai (dibenci) tersingkirkan dari pergaulan sosial atau sama sekali tidak diperdulikan (kehadiran/keberadaan Anda diabaikan/tidak dianggap).
Namun, Anda tidak perlu  khawatir dengan semua itu. Anda tidak perlu bersinggungan dengan perkara etika, benturan moral serta pelanggaran hukum. Mengapa? Sebab, setiap orang dewasa (pada umumnya) memiliki  RADAR (di dalam diri sendiri) yang bisa mendeteksi setiap kemungkinan yang datang menghampiri pikiran dan perasaan, sebelum Anda memutuskan untuk bertindak sesuatu. Pikiran Anda sudah dilengkapi alat canggih yang berfungsi melakukan kontrol berupa self censorship.   

RADAR
Radar yang kita maksudkan bukan Radio Dedecting and Ranging, tetapi suatu intuisi di dalam diri kita yang tanpa kita perintahkan ia melayani kita dan melaksanakan tugasnya: memberikan sinyal-sinyal tertentu yang memungkinkan Anda  mampu memberikan respon. Tentu saja, Anda bisa memilih untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 

Demikian halnya ketika Anda sedang menulis. Setelah Anda berhasil menumpahkan sekian banyak kata dengan susunan kalimat sesuka hati, yang bisa jadi begitu saja meluncur tanpa peduli dengan apapun reaksi yang mungkin timbul dari pembaca Anda, maka fase terpenting yang akan Anda lalui berikutnya adalah tahap penyuntingan.


Pandanglah layar komputer. Anda mendapatkan setumpukan kalimat yang mungkin kacau balau, berantakan seperti kapal pecah, maka inilah saatnya Anda berhenti sejenak. Cobalah mulai dibaca kembali. Baca berulang-ulang dari atas ke bawah. Turun dan naik lagi, dari atas ke bawah. 


Tentukanlah satu demi satu pokok-pokok pikiran Anda (beberapa penulis akademik dianjurkan untuk membuat kerangka tulisan). Setiap satu pokok pikiran atau satu gagasan utama harus didukung dengan deskripsi yang kuat selengkap mungkin, sedetail dan seakurat mungkin. Tujuannya, adalah untuk menunjukkan fokus pada gagasan apa yang Anda sampaikan kepada Pembaca. Serta tentu saja, efek seperti apa yang Anda sendiri harapkan dari Pembaca.


Setiap alinea hendaknya diikuti dengan alinea berikutnya yang masih relevan dan berkaitan. Kalau Anda pikir, setiap alinea memerlukan uraian  yang lebih jelas dan lebih mendetail, maka lakukanlah hal tersebut. 


(iisg.nl)
Maka pada saat inilah Anda akan memasuki tahap editing. Bagaimana mulai menyunting suatu tulisan? (penjelasan lebih lengkap tentang apa dan bagaimana proses editing, akan saya tulis pada tips mendatang). Tulislah yang banyak, kejarlah kuantitasnya baru kemudian mulai mengedit. Teruslah menulis laksana berselancar di antara ombak laut, hingga akhirnya Anda harus berhenti di pantai. 


Maka tahap selanjutnya adalah fase penyuntingan. Mengapa tulisan Anda memerlukan penyuntingan? Ketika Anda berpikir bahwa Anda menulis untuk dibaca orang lain, maka saat itulah Anda perlu menyunting supaya mereka  bisa dan mau menerima tulisan Anda. Setidaknya, mau melirik dan membaca pesan yang Anda sampaikan.


Peralatan apa yang diperlukan dalam proses penyuntingan? Yang pasti, bahasa adalah senjata utama. Apapun bahasa yang Anda pilih, hendaknya memenuhi standar baku, sebab tidak semua orang mengerti dengan bahasa preman, bahasa gaul, kata-kata yang menunjuk pada isyarat atau pengertian khusus tertentu di lingkungan terbatas, sebaiknya Anda hindarkan semua itu. Jangan lupa, pergunakan kamus rujukan dalam memilih kata atau istilah yang paling sesuai dengan keinginan Anda.


Maka, ketika Anda berpikir tentang 'menulis untuk orang lain' maka otak dan feeling kita akan merespon keinginan Anda dengan memunculkan alat sensor terbaik yang pernah ada dimuka bumi ini, yang disediakan oleh Sang Maha Pencipta dan diberikan kepada Anda. Itulah self censorship melalui RADAR yang ada di dalam diri Anda sendiri. 


Dengan  radar ini lah,  Anda akan bisa menangkap atau  menerima sinyal-sinyal yang muncul dari setiap kata yang Anda tulis. Radar ini berupa ‘peringatan’ atau ‘dukungan’ kepada kita sendiri tentang apa yang Anda anggap: baik atau buruk, pantas atau tidak, patut atau tidak, layak atau tidak, berguna atau tidak, tentang sesuatu yang hendak Anda tuliskan. Saya ingin menyebutnya dengan istilah sensor diri.

(ajvicens.com)
Para wartawan masa lalu di Indonesia, pernah mengenal istilah Pers Pancasila, yang dilengkapi pula dengan Kode Etik Jurnalistik Pers Indonesia. Para penulis instan masa kini (termasuk sebagian besar penulis blog), mungkin tidak pernah membaca atau mengetahui hal tersebut. Ada baiknya, kita mengetahui 'apa yang baik' yang pernah dibuat dengan susah payah oleh para pendahulu kita yang menggunakan perpaduan antara kekuatan pemikiran dengan kemampuan menulis sebagai 'senjata' untuk melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kejahatan politik, korupsi, bahkan kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakadilan dan ketimpangan struktural yang terjadi di masyarakat kita.

Singkatnya, para penulis senior dan wartawan kawakan seperti: Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM. Diah, HG. Rorimpandey, PK. Ojong, Jacob Oetama, dan masih banyak lainnya, telah berjuang demi Indonesia yang lebih baik, tidak dengan mengangkat senjata api atau bambu runcing tetapi mewujudkan semangat dan idealismenya dengan menulis di Suratkabar. Idealisme yang diwujudkan dengan pena untuk melawan segala bentuk penyimpangan dan ketidakadilan itulah yang kemudian disebut sebagai Pers Perjuangan (masalah ini akan saya tulis pada kesempatan lain).

Namun, disamping itu, para pejuang pers di masa lalu juga telah meletakkan landasan yang penting kita ketahui, yang kemudian diwujudkan di dalam kode etik Pers Indonesia. Bagi mereka yang belum mengetahui atau tidak sempat membacanya, saya singgung sedikit bahwa secara sederhana Kode Etik ini mengupas tentang masalah: kepatutan, kepantasan, kelayakan, kesopanan, mengenai sesuatu yang boleh atau tidak boleh untuk di tampilkan atau dimuat di media massa Indonesia.

Masalah kelayakan dan kepatutan mengenai sesuatu (message) apa yang boleh atau tidak boleh masuk ke ranah publik, memang bisa diperdebatkan. Dan seringkali hanya bisa diputuskan oleh mereka yang sudah kenyang dengan 'asam-garam' dunia pers yaitu orang-orang yang telah memiliki banyak pengalaman, serta berlaku arif dan bijaksana. Mereka itulah orang-orang yang diantaranya duduk di singgasana terhormat bernama: Dewan Pers.

Bagi kita penulis pemula, tidak usah terlalu khawatirkan soal itu. Lihat saja alat kontrol yang lebih mudah bagi Anda, yakni aturan-aturan yang terkait dengan ketentuan Hukum Pers (hal ini akan kita bahas tersendiri). Seperti, tindakan yang bisa dikategorikan mencemarkan nama baik, tidak boleh menjiplak (plagiat) karya orang lain (tanpa izin), tidak boleh menghina atau mengkritik di luar batas kewajaran dan kepatutan atau dengan niat merusak/menghancurkan citra/nama baik seseorang  atau sesuatu lembaga (character assassination). Tidak boleh menyinggung hal-hal sensitif bagi masyarakat Indonesia, seperti menyinggung masalah: Suku, Ras, Antar Golongan dan Agama (SARA) tertentu. Termasuk, dan tidak terbatas pada unsur-unsur sadisme dan pornografi. Di luar itu, silahkan!

Kembali ke masalah sensor diri. Bagi Anda yang baru terjun ke media, berlatihlah  terus dan tingkatkan  kemampuan dan keterampilan menulis Anda. Teruslah menulis, sampai menulis merupakan bagian dari aktivitas keseharian Anda. Dan Anda menemukan kesenangan dan kenikmatan dari aktivitas menulis. Jangan dulu Anda risaukan soal berbagai ketentuan dan aturan yang bisa menyurutkan niat Anda untuk menulis. Baru setelah Anda merasa perlu untuk mengirim tulisan tersebut ke media massa dengan tujuan menjangkau pembaca yang sebanyak mungkin, maka Anda mulai perlu melirik ketentuan-ketentuan tersebut.

Ketika jam terbang menulis Anda sudah semakin banyak, sudah mengenal liku-liku pengalaman, ketika itu pulalah self censorship di dalam diri Anda itu mulai hadir, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Pada saatnya, kemudian ia akan berubah wujud menjadi apa yang disebut dengan sense of  good editorial judgement. 

Pada tahap inilah karya tulis yang Anda produksi akan menjadi semakin kuat, semakin tajam, semakin bermutu dan semakin matang! Dan itu artinya, Anda  sudah menjawab pertanyaan dari pembaca kita, bahwa mereka: ''hanya mau membaca apa yang mereka sukai saja’’. Dan jika Anda sudah memiliki pertimbangan editorial yang baik, itu  berarti Anda sudah berhasil menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pada saat itulah, Anda boleh mengklaim diri sebagai Penulis.

                                              Continue Reading>> Menulis Itu Candu

Tidak ada komentar: