Rabu, Desember 07, 2016

Raja Bali yang Sederhana dan Merakyat

''Sejatinya, anak-anak adalah tunas budaya, penentu eksistensi dan keberlanjutan peradaban bangsanya. Oleh karenanya mari bersama-sama kita jaga dan kita rawat tunas-tunas peradaban ini,” --Anak Agung Ngurah Gede Kusuma Wardana, Panglingsir Puri Agung Kesiman--

Anak Agung Kusuma Wardana, Panglingsir 
(Pemimpin) Puri Agung Kesiman.
Anak Agung Kusuma Wardana, salah seorang pewaris tahta Raja Bali ini, terkesan hidup sederhana, merakyat dan lebih suka menyembunyikan identitasnya sehingga ia dikenal sebagai 'Raja Ngemper'.

Ditemui di kediamannya di Denpasar, belum lama ini, dia segera menyambut dengan tersenyum, hangat dan bersahabat. Tanpa banyak berbasa-basi, kami pun segera akrab dan terlibat dalam aneka topik pembicaraan.


Ia berkisah tentang keprihatinannya terhadap banyak hal. Seperti karya seni: lukisan, atau tentang kebudayaan dan generasi muda. Bahkan, bidang pertanian dan hasil-hasil budidaya pertanian, tak luput dari perhatiannya,  yang menurut dia sangat penting untuk 'memberi makan rakyat' yang semestinya mendapat perhatian lebih dari Pemerintah.



Segala hasil bumi, lanjut dia, seperti Kopi Bali memiliki aroma yang luar biasa, juga ketela varietas unggul, sebenarnya tersedia di alam kita. Ia beranjak masuk ke dalam rumah, kemudian segera kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.


"Cobalah ini," ujarnya seraya menyodorkan bawang yang sudah berwarna hitam, untuk ditaruh di bawah lidah selama beberapa menit. Jika, ada rasa tertentu, misalnya rasa panas, maka sebenarnya tubuh kita menderita sesuatu penyakit.


Ada pesan sponsor memasuki Rumah
Budaya Penggak Men Mersi di
Denpasar, hehehe
Belum habis benar bawang dimulut, ia mengerat ketela yang sudah seperti kayu, namun tercium harum kayu dengan rasa lebih nikmat dari pada singkong biasa. "Ini semua terdapat di alam kita," katanya lagi. Cuma, kita saja yang malas mengolahnya.

Berangkat dari banyak keprihatinan, terutama terhadap kesadaran budayanya sendiri, ia kini mengayomi 'Rumah Budaya'.

Semua dilakukan tanpati  berpikir untung - rugi. Bahkan, tak memungut sepeser pun biaya kepada siapa saja yang berminat berkunjug dan 'menggunakan' ke Rumah Budaya alias cuma-cuma. apalagi kalau mau belajar serius, semua fasilitas berkesenian tersedia. Anda boleh melukis, menari, mengukir, mematung, memahat, menulis, berpuisi, dan lain-lain, di sana, sambil menikmati kopi.

Bakti Wiyasa, Pelukis, Saya,
Kadek Wahyudita memangku
Penari Cilik Berbakat dan
 rekan Taat Prihatin
di Rumah Budaya, Denpasar
Di Rumah Budaya, anak-anak dan remaja bisa berlindung dari 'keganasan' dunia luar, yang tanpa ampun mengoyak harga diri siapapun yang tak mau mengikuti derasnya komersialisasi dalam segala bentuknya. 

Keprihatinan Raja Bali dan para punggawa pengurus Ruah Budaya adalah,  semakin hilangnya waktu dan ruang bermain bagi anak-anak dan remaja,  akibat pesatnya perkembangan teknologi dan masuknya wisatawan mancanegara yang membawa perilaku tersendiri, telah berdampak pada mereka, yang tak memiliki akar budaya yang menhunjam bumi. 

Sementara pendidikan di sekolah, dominan mengasah otak kiri mereka. Sedangkan otak kanan yang lebih berkaitan dengan seni dan rasa, masih belum disentuh dan diarahkan secara optimal. Itulah gagasan yang melatari pembangunan Rumah Budaya, seperti penuturan Kadek Wahyudita, pengurus Rumah Budaya Penggak Men Mersi.

Festival Mainan Anak-anak Bali
Belum lama ini, Penggak Men Mersi, membuktikan missinya, dengan menggelar Bali Rare Festival atau Festival Anak-anak Bali, yang menghadirkan kembali beragam jenis permainan dan alat musik tradisional Bali tempo doeloe yang hampir punah.


Di rumah budaya inilah, bahkan anak-anak PAUD sejak dini diperkenalkan dengan gamelan, mereka bermain bersama dalam suatu spirit yang harmonis. 

Sementara, para remaja diberi kesempatan yang luas untuk memainkan kreasi seni tari pergaulan. Menanamkan kembali nilai-nilai luhur budaya, tak selalu harus dogmatis tetapi melalui sentuhan seni dan rasa, terasa jauh lebih menghunjam. Itulah salah satu, yang diprakarsai seorang keturunan Raja Bali, yang saya jumpai di kediamannya, Puri Kesiman Denpasar.  


Festival Mainan Anak-anak Bali
Sementara di Rumah Budaya, kami menikmati secangkir kopi hitam di sebuah ruangan yang mirip galeri dan ruang pentas. Beberapa lukisan bernuansa lugas, satir sekaligus kritis, menyelimuti hampir seluruh dinding.

Lukisan itu tidak statis dan mati, tetapi mereka berbicara. Menebar energi perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung mengeksploitir rakyat, menentang penghalalan cara demi jabatan dan uang. 

Jika Anda mampu menangkap setiap detilnya, Anda tak butuh interpretasi lagi tentang fenomena sosial yang menggelayut di langit Indonesia. Bakti Wiyasa, perupa muda berbakat, memperkaya apresiasi saya terhadap sebuah karya lukis. 

Yang menarik, di Rumah Budaya itu, Kadek  Wahyudita, pengelola Rumah Budaya itu, mengundang anak-anak untuk mengenal dan memahami perilaku korupsi sejak usia dini, melalui idiom, celoteh, gerak, lagu dan tari. Sebuah metode pendidikan alternatif, yang menarik dan tidak biasa di luar Pulau Dewata. 

Di Rumah Budaya Penggak Men Mersi yang dikelola di jantung kota Denpasar itu, Kadek Wahyudita berharap upayanya menjadi sebuah awal dari gerakan untuk membangun benteng budaya sekaligus mentransfer nilai budi pekerti luhur untuk menjadi seorang Bali. 


Rumah Budaya Penggak Men Mersi, menjadi oase yang memberi ruang bagi anak dan remaja, agar proses pembelajaran tidak sebatas tekstual semata. *** 

  

Tidak ada komentar: