Rabu, April 08, 2009

Father (TNI-AU) Can Do No Wrong!




Jatuhnya Fokker 27 Di Landasan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat


Senin, 06 April 2009, siang. Sebuah pesawat Fokker 27 dengan nomor penerbangan Alpha 2703, diberitakan jatuh terjerembab menimpa hangar pesawat Batavia Air di landasan udara Hussein Sastranegara, Bandung. Seluruh awak pesawat sebanyak 24 orang (6 kru, 18 perwira dan tamtama Paskhas) tewas seketika.

Isak tangis keluarga korban, tak terperikan. Baik di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, maupun di RS lainnya. Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) - Angkatan Udara (AU) melansir press conference, intinya membenarkan terjadinya kecelakaan yang merenggut sejumlah korban jiwa itu, tetapi peristiwa penyebab jatuhnya pesawat, tidak disebutkan karena masih menunggu hasil penelitian.

Sabtu, April 04, 2009

Banda Aceh, Komunitas Peminum Kopi Terbesar di Dunia

biji Kopi, minuman yang kini mendunia
Minum Kopi Lebih Sehat Daripada CocaCola

HARI INI, seperti biasa 'tak ada pagi yang terlewatkan tanpa secangkir kopi panas'. Ya, kopi atau coffee atau kupi sekarang ini sudah jadi minuman yang 'mendunia'.

Saya beruntung sempat bertugas di beberapa kawasan di bagian paling ujung barat Indonesia yang kini disebut provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), bahkan sempat menyeberang sedikit ke wilayah yang agak permisif dari syariat Islam dan menginjakkan kaki di KILOMETER NOL, Pulau Sabang!

Bersyukur pula bisa menyempatkan diri mampir ke Aceh Singkil via Sidikalang, Sumatera Utara, yang terkenal pula aroma kopinya.

Sungguh sangat mudah menemukan pojok-pojok warung, yang menyediakan kopi sebagai hidangan utama di setiap sudut kota Banda Aceh, pasca bencana tsunami Desember 2004 silam. Inilah rasanya komunitas peminum kopi terbesar di dunia yang tidak masuk Guiness book of records.

Orang aceh di Beurawe, di Sigli, di Meulaboh di Lhoksuemawe, memang pandai meracik kopi dan menjadikannya sebagai sajian di tengah kongkow-kongkow para orang tua, para remaja dan ABG, atau para estewe bahkan para karyawan pekerja kantoran di setiap pagi, setiap sore menjelang maghrib bahkan di tengah malam buta sekalipun! Selalu di temani secangkir kopi dan penganan ringan lainnya sebagai hidangan ditengah keceriaan senda gurau.

Selesai bertugas dan kembali ke daerah asal, saya masih rindu kopi aceh...rindu aromanya. Inilah sebenarnya 'narkoba' yang dilegalkan di masyarakat.

Iseng-iseng merenung, kenapa ya produk ini tak pernah bisa naik kelas seperti starbucks misalnya, yang bisa menjadi mesin uang bagi kelompok pengusaha Yahudi. Starbuck kini sudah mendunia. Di Jakarta saja, entah sudah berapa anjungan dan gerai yang digelar.

Padahal racikan starbuck cuma sedikit ditambah essence (sesuai pilihan kastemer, mau rasa apa aja ada), tetapi intinya adalah kopi. Dan kopi terbaik di dunia ini cuma bisa tumbuh di iklim tropis seperti tanah Indonesia dan sebagian Amerika Latin.

Kita memang cepat puas dengan sesuatu yang serba instant. Dan agak malas mereka-reka, menguji coba, menganalisis komposisi, untuk menambah nilai dari sesuatu (termasuk kopi). Sehingga tetap saja, meskipun Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) mencatat angka pertumbuhan ekspor yang cukup signifikan, tetapi petani kopi kita, termasuk para ompung di Sidikalang itu, tetap saja hidup sederhana untuk tidak mengatakan 'marjinal' alias tetap miskin.

Padahal, ini momentum yang baik lho! Mumpung minuman jenis ini belum dibatasi atau dilarang pada kadar tertentu (terutama kata dokter yang mengaitkan dengan hypertensi), siapa mau duluan meniru gaya starbuck paling tidak model bisnisnya, supaya bisa masuk kawasan bergengsi dan hotel-hotel berbintang lima, sehingga syukur-syukur bisa mendongkrak kehidupan petani kita dan naik kelas, tidak lagi terpinggirkan.

Racikan yang unik, khas Kopi Aceh
Pernah pada suatu kesempatan, bertahun-tahun silam, seorang mahaguru agronomi yang saya temui di kawasan Dermaga Bogor, Jabar, mengatakan: "Minum Kopi Lebih Sehat Dari Pada CocaCola!"

Oalaaa......! Untungnya pernyataan itu tidak dipasang di slot-slot iklan televisi kita, jadi PT Amatil Bottle Company di Cikarang itu, tak perlu cemas ya! Toh anda cuma harus bersaing dengan Teh Botol Sosro untuk pasar lokal, tetapi di pasar manca negara Anda kan masih berkibar dengan slogan: Brrr...brrr...brrr!

Angin politik membawa Sang maha guru itu, ke puncak kursi kabinet dan kemudian menduduki jabatan lumayan prestisius di negeri ini, sebagai Menteri untuk sebuah departemen. Selamat pak Bungaran Saragih! Meskipun kini anda sudah tidak di posisi itu, masih terngiang ucapan Anda, tetapi sungguh... ketika jantung mulai terasa berdebar-debar dengan detak kencang di atas 140 km/jam (mohon dikonversi untuk alat ukur stateskop) di dalam pembuluh darah kita, siapa berani mengikuti saran Anda (?)

Uniknya, kenapa minuman jenis ini ternyata cocok disandingkan berjodoh lekat dengan rokok? Coba sesekali Anda iseng perhatikan mereka yang perokok, umumnya juga peminum kopi!
Benar, dari sudut apapun, pasangan ini (rokok dan kopi) lebih banyak dampak buruknya bagi kesehatan. Ah,....ah...! Dan untuk setiap sebatang rokok, konon jatah usia hidup kita berkurang 5 menit.

Bayangkan jika Anda mengkonsumsi minimal 1-2 bungkus/hari dikali kan puluhan tahun sejak kebiasan itu berlanjut, berapa jatah hidup kita yang berkurang? Belum lagi jika, dimasukan unsur kafein?? maka bagi mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun, bersiap-siaplah beli kain kafan dan booking tempat 1x2 meter sedalam 2 meter untuk hunian terakhir kita masing-masing.

Saya tak berani menghitung! Tapi, tidak usah kuatir bung: kawan saya juga bilang, boleh jadi untuk setiap batang rokok yang kita hisap umur kita berkurang 5 menit, tetapi jangan lupa: pada saat yang sama kualitas hidup kita bertambah karena kesenangan yang ditimbulkan dari perjalanan keluar masuknya asap rokok ke dalam pembuluh darah dan jantung kita:.....puiiiih..hampir tak ada karya produktif seniman dan kreativitas luar biasa yang ...bisa lahir tanpa kepulan asap. Termasuk produktivitas para pekerja kantoran kita dewasa ini. Dan kesenangan itu bisa merangsang energi hidup, karena kesenangan merangsang endorfin untuk segera mengganti sel-sel tubuh yang rusak! singkatnya, sehingga untuk setiap batang rokok bisa membuat usia kita bertambah 15 menit ...he...he!

Coba juga iseng perhatikan bagaimana perilaku para kyai kita, baik di pondok-pondok maupun di gedung mewah bertingkat, ketika mengulas persoalan umat yang begitu njlimet...agak sulit dipecahkan tanpa lintingan tembakau! Untung majelis ulama (cuma berani) mengeluarkan fatwa untuk anak-anak dan ibu-ibu hamil. Terimakasih bapak-bapak di MUI karena rokok dan kopi belum dilarang, untuk orang-orang diluar kategori itu.

Padahal itulah pula jenis narkoba yang dilegalkan masyarakat kita. Dan paling disukai para kyai, karena kalau para tamu dan santrinya datang sowan untuk meminta nasihatnya, mesti menyelipkan beberapa pak Ji-sam-soe! Dengan kopi dan rokok, pembicaraan menjadi lebih panjang! Lebih seru. Lebih banyak ide bisa keluar. Dan satu lagi, sejenak menurunkan tensi karena beban pikiran yang berat. Barangkali karena itu, banyak orang Aceh senang minum kopi? Wallahualam bisawab.

Banyak celotehan berat dan ringan, yang beterbangan di sekitar kita. Entah dari pembicaraan di cafe, di pub, di warung kopi, tempat-tempat rekreasi dan belanja bahkan juga di taman-taman. Dan ternyata (bagi orang-orang tertentu) suasana akan lebih hidup dan seru, jika di temani secangkir kopi! Dan cangkir-cangkir kopi terbanyak di atas meja, cuma saya temukan di warung-warung kopi di sepanjang jalan di kota Banda Aceh, ngobrol sambil bercengkerama. Apakah  ngobrol ditemani kopi tidak penting?

Saya jadi teringat Thomas J. Watson suatu ketika pernah berucap: ''Karya terbesar manusia, dihasilkan dari transmisi gagasan dan antusiasme,''  dengan kata lain, ngobrol itu penting lho! Tergantung Anda saja, yang memilih topiknya. Dan celotehan akan lebih seru lagi, dengan penghangat secangkir kopi. Seperti kebiasaan yang saya temukan di tempat kumpul-kumpul di mana saja di kota Banda Aceh. Sama halnya kebiasaan minum bir sambil bercengkerama bagi sebagian besar penduduk yang mendiami belahan bumi bagian utara.


Rabu, April 01, 2009

Situ Gintung, Sebuah Tragedi Kelalaian


Jumat 27 Maret 2009, dini hari, sebuah waduk seluas 10 hektar di kawasan Cirendeu, Ciputat, provinsi Banten, ambrol ketika para penghuni di sekitar tebing waduk tengah tertidur lelap. Lebih dari 100 jiwa melayang (termasuk jiwa-jiwa tak berdosa seperti bayi dan anak-anak). Hingga hari ini, tim SAR masih mencari kemungkinan jasad-jasad yang masih bisa ditemukan dari sisa perjalanan air bah yang kini mengering setelah dilanda jutaan debit air yang meluncur deras dari lekukan waduk buatan Belanda tahun 1932 itu.

Para petinggi di negeri ini, sontak berdatangan, seperti Presiden SBY dan Wapres JK, termasuk sejumlah elit parpol yang tak mau melewatkan moment penting itu sebagai sarana kuda troya dalam meraih simpati di masa kampanye ini! Terlepas dari soal itu, benarkah jebolnya Situ Gintung memang sebuah bencana alam, tragedi di luar kuasa manusia atau justru akibat dari ketidakmampuan petugas terkait (Direktorat waduk dan sungai, Dinas PU, atau Pemda setempat) yang pernah memonitor waduk tersebut enam bulan lalu tetapi tidak menemukan tanda-tanda bahaya sedikitpun? Siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab?

Pertanyaan terakhir itu, selalu diselimuti jawaban yang terdengar arif: "Tragedi Situ Gintung adalah bencana alam sebagai peringatan dari Tuhan." Padahal Tuhan sendiri sudah memberikan seperangkat kemampuan luar biasa kepada manusia untuk digunakan dengan sebaik-baiknya, tetapi kebanyakan kita lalai menggunakannya karena berbagai alasan.

Memang benar, jika sudah kasip, tak ada yang mampu mengembalikan jiwa-jiwa yang menjadi korban itu kepada keadaan seperti semula, secanggih apapun teknologi yang pernah dicapai oleh peradaban manusia.

Tetapi, satu hal penting yang jelas tidak boleh diabaikan adalah: apa sebenarnya yang menyebabkan situ itu bisa jebol? Mengapa tingginya curah hujan tidak bisa diantisipasi oleh daya tampung waduk? Jika benar tidak bisa, mengapa tidak ada peringatan dini yang menunjukkan akan datangnya bahaya supaya sejumlah penghuni di sekitar waduk diberikan pilihan: mau mengungsi, bersiap-siap atau pasrah?

Jika melihat dari sudut pandang kamera TV tampak jelas, waduk itu tidak mempunyai 'pertahanan' sama sekali kecuali gundukan tanah setinggi lebih dari lima meter. Apakah sejak dibuat Belanda 77 tahun silam hingga kita tidak ada upaya fisik untuk membuatnya lebih tangguh? Lantas, siapa saja yang semestinya bertanggungjawab dalam soal pengelolaan dan pertanggungjawaban di situ gintung? Kemana saja larinya bujet yang selama ini ditarik dari berbagai pungutan pajak rakyat itu digunakan?

Mari sejenak menoleh ke belakang. Setelah bangsa ini mampu melaksanakan Pemilu yang tercatat dalam seajrah sebagai Pemilu yang paling jurdil pada Pemilu 1955, bahkan para petugasnya pun masih banyak yang buta huruf! Tetapi, hebatnya, para pakar sejarah politik mengatakan baru pada pemilu itulah kali pertama, bangsa kita sanggup menyelenggarakan Pemilu dengan asas: Jujur dan Adil.

Setelah serangkaian Pemilu berikutnya, hingga kini tak seorangpun lahir figur negarawan yang muncul hingga menjelang Pemilu tanggal 09 April 2009 mendatang (kalau pun ada, ia dengan mudah dikalahkan kepentingan kelompok dan golongan yang bernama aturan dan mesin parpol atau bisa jadi karena dia memang tidak ada yang melamar atau mau mencalonkan diri).

Para Pemimpin dari 38 parpol itu, kini tampak berlomba berebut simpati, mengecam sana-sini, mengobral janji-janji manis, dan melontarkan jurus-jurus membasmi korupsi dan memerangi kemiskinan secara instant. Malah tidak sedikit figur yang menyatakan sangat siap menjadi orang nomor satu di negeri ini. Anehnya, tak tampak seorangpun yang berani muncul dan menyatakan sanggup bertanggungjawab pada setiap bencana yang jelas-jelas terjadi akibat dari kelalaian manusia! Bukankah seseorang baru bisa disebut 'pahlawan' setelah ia terbukti berani melawan tirani, setidaknya menolak bencana akibat keserakahan dan sikap buruk manusia sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya sendiri?

Benarkah istilah law enforcement di negeri ini cuma ada di dalam buku-buku teori dan bangku-bangku kuliah sehingga keluar dari kampus kita menjadi mati suri bak menegakkan benang basah? Padahal, para filosof dulu mengatakan kita harus menegakkan hukum sekalipun langit mau runtuh! Mengapa seorang manusia bernama Eddy Tansil (ET) yang sempat meraup trilyunan rupiah itu, kini bisa menghirup udara bebas? Setelah dia kabur dari penjara...sekarang tak jelas lagi di mana rimbanya. Bukankah ia turut andil dalam kebangkrutan Indonesia yang berujung pada krisis moneter berkepanjangan sejak akhir 1998 hingga kini?

Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang sanggup menunjukkan dimana 'The Notorious' itu berada, karena memang ia tidak kemana-mana, tidak tenggelam di luasnya daratan Cina atau konon kabarnya berada di sebuah negara di Eropa atau sibuk berbelanja di negeri tetangga Singapura. Tidak! ET justru berada di negerinya sendiri dan kini hidup dengan tenang...! Waduh....! padahal kita punya jaringan interpol di mancanegara, punya BIN atau intelijen canggih, punya Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian, Kamtibmas dan lainnya. Seolah menangkap ET ibarat mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Nyatanya, kita disuguhi berita-berita kriminal di Televisi yang cuma menayangkan prestasi polisi yang berhasil menangkap pencuri sandal jepit (atau HP) yang babak belur dihajar massa!

Eddy Tansil manusia biasa. Ia tak lebih dari pengusaha yang licin. Dan karena kepiawaiannya (termasuk mempersembahkan seorang wanita cantik kepada mantan Pangkopkamtib yang kini menjadi istrinya), ia berhasil memasuki kelompok Ring -1. Dan karena berbagai kedekatannya dengan elit penguasa ketika Pak Harto masih berjaya, ia dengan mudah memanfaatkan dana BLBI untuk keuntungan kelompoknya. Jelas, ET bukan manusia monosoliter (ia punya teman, keluarga, kerabat atau kelompoknya dan karena itu mudah dilacak!).

Era reformasi lahir. Soeharto jatuh. Dan serangkaian persidangan digelar, termasuk ET yang diseret dan setelah terbukti bersalah, ia pun dipenjarakan. Soalnya kemudian, mengapa para petugas sipir penjara begitu mudah 'membiarkannya' pergi hanya karena segepok uang? Ya, bisa jadi karena gaji sipir di negeri ini sangat rendah, sehingga mereka mudah tergiur selain karena sumpah jabatan dan moral etika yang meleleh...alasannya karena sekoper uang! Dan kini, setelah bertahun-tahun, kepergian sang maestro pengusaha kakap itu, bangsa kita sekarang sudah melupakan bahwa ET pernah ada dan bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan, yang (sebagian) menyebabkan bangsa ini terpuruk dalam lilitan utang luar negeri berkepanjangan.

Contoh lain, kasus lumpur Sidoarjo di Jawa Timur, yang belum lama ini membuncahkan lumpur panas, menenggelamkan sejumlah rumah dan menelan harta benda, akibat penggalian perut bumi yang diloloskan oleh petugas AMDAL. Hingga kini, sejumlah korban masih belum mendapat ganti rugi yang layak! apakah ini bencana alam atau kelalaian kita?

Kembali ke lapTop! Situ Gintung...yang jebol itu... ! Si Gintung kini cuma menyisakan lumpur-lumpur dan serakan material bangunan yang hancur, serta sebagian penghuninya yang masih meratap, pedih....atas kepergian mereka yang dicintai. Tetapi, kemana perginya orang-orang yang pantas bertanggungjawab dalam kasus itu?

Jelas bin jelas, banyak aparatur yang segera bertiarap menyembunyikan kepalanya di gundukan pasir! Tetapi kalau anda cukup jeli, Anda dengan mudah menemukan sebagian diantara mereka yang berani muncul ke permukaan. Bahkan tampak berkoar-koar di panggung kampanye dan tampak riang sambil berjoget dangdut, seraya melantunkan lagu: "Pi-lih-lah- Aku, ja-di pa-car-mu!"

*****