Selasa, Januari 20, 2015

Mari Duduk Bersama, Bicara Laut!

Salah salah visi utama yang diusung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, adalah membuka kembali wacana kelautan untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa maritim.  

Laksamana Ceng Ho atau Zheng He
Gagasan mengembalikan kejayaan Indonesia dengan membangun POROS MARITIM DUNIA dan TOL LAUT, menurut catatan masa silam, pernah dilaksanakan pada era dinasti Ming di bawah pimpinan Laksamana Zheng He, seorang keturunan Persia-China. Pada kurun 600 tahun lampau, selama 28 tahun (pada 1405-1433), Zheng He memimpin sebanyak 317 armada kapal beserta 27000 awaknya, terbukti berhasil mengamankan jaur perniagaan yang harmonis sepanjang poros China - Asia - Afrika. 

Zheng He yang lahir di desa Hedai propinsi Yunan tahun 1371 adalah cucu buyut dari Sayyid Adzal Syamsuddin (1070), kemudian menetap di Indonesia dan dikenal sebagai Laksamana Cheng Ho. Jejaknya hingga kini masih bisa ditelusuri  dengan hadirnya Klenteng Sam Po Kong di Semarang.  

Namun kejayaan penguasaan jalur perniagaan itu secara cepat kemudian menyurut karena berbagai sebab. Selain pengaruh hadirnya kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang dengan segala dampaknya, hingga memasuki era kemerdekaan sampai masa Orde pembangunan Indonesia, yang paling memprihatinkan adalah  telah terjadinya pergeseran dalam memandang laut sebagai pemisah antar pulau, menjadi kendala penyekat antar wilayah. Seiring dengan itu, terjadi perubahan paradigma pembangunan yang dominan berorientasi daratan.

Laut dan Perairan Indonesia
Maka ketika Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih periode 2014-2019 melontarkan gagasan membangun Tol Laut dan Poros Maritim Dunia, banyak pihak yang memberikan pujian dan apresiasi meski belum jelas benar dari mana titik gagasan itu beranjak sehingga bisa terwujud di dalam pelaksanaan.

Namun demikian, gagasan menghidupkan motto Jalesveva Jaya Mahe (Justru di Laut Kita Jaya) atau pembangunan yang berwawasan maritim, dengan tujuan  menciptakan kesejahteraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat dan bangsa  Indonesia, meski masih sebatas wacana dan slogan,  hendaknya dapat dimaknai sebagai upaya mengembalikan ‘Kedaulatan Laut’ yang telah lama dilupakan.

Teluk Bayur
Langkah awal  dalam mewujudkan impinan kedaulatan di bidang kelautan, adalah terbentuknya Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Kementerian Kelautan dan Perikanan di dalam ‘Kabinet Kerja’  sebagai fasilitator dan dinamisator di jajaran birokrasi yang menunjukkan tekad keseriusan  Pemerintah, yang  menghendaki kawasan maritim Indonesia sebagai sumber peradaban masa depan. Langkah terobosan inilah yang telah  mengubah retorika politik ke dalam tindakan nyata.

Namun itu belum cukup. Gagasan besar mengembalikan kejayaan di bidang bahari, tidak serta merta akan terwujud dengan sendirinya, tanpa melibatkan seluruh stakeholders insan maritim Indonesia. Lebih khusus lagi tanpa peran aktif seluruh administrator otoritas pelabuhan, petugas perhubungan lalu lintas laut, bea cukai, imigrasi,

TNI-AL selaku pengawal gugus keamanan laut, kalangan pengguna jasa pelabuhan, pengusaha industri perkapalan, para pelaku bisnis dan perdagangan, jasa angkutan, barang/kargo laut, serta  kaum buruh dan nelayan, serta pihak dan instansi lain terkait yang selama ini berkiprah di sektor kelautan.

Garis Pantai
Mengingat demikian luasnya bentangan area wilayah laut dan besarnya potensi yang terkandung di dalamnya, serta semakin beragamnya aneka kegiatan di sector kelautan, serta kompleksnya berbagai permasalahan yang dihadapi insan maritim Indonesia, maka semakin dirasakan penting dan perlu adanya kebijakan yang bersifat reformis dan regulasi yang mudah, murah, cepat, tepat dan efisien. 

Kebijakan dan regulasi ini hendaknya dibingkai dalam tata kelola menajemen maritim Indonesia, yang kelak dapat menjadi rujukan bersama dalam upaya meraih manfaat yang optimal bagi kesejahteraan bangsa. 

Terciptanya kebijakan yang reformis dan regulasi yang tidak berbuntut ‘ekonomi biaya tinggi’  tanpa mengabaikan unsur kewaspadaan (baik preventif maupun kuratif dari aspek keamanan) pada gilirannya akan menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat dan bangsa Indonesia. 

Untuk itulah, mari kita duduk bersama membicarakan pengelolaan laut, ketimbang menangkapi kapal-kapal asing kumal kemudian membakarnya, yang lama-lama bisa mengundang antipati negara-negara sahabat dan menimbulkan efek kontra produktif.


Tidak ada komentar: