Salah
salah visi utama yang diusung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia, adalah membuka kembali wacana kelautan untuk mengembalikan kejayaan
bangsa Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa maritim.
Laksamana Ceng Ho atau Zheng He |
Gagasan
mengembalikan kejayaan Indonesia dengan membangun POROS MARITIM DUNIA dan TOL
LAUT, menurut catatan masa silam, pernah dilaksanakan pada era dinasti Ming di
bawah pimpinan Laksamana Zheng He, seorang keturunan Persia-China. Pada kurun
600 tahun lampau, selama 28 tahun (pada 1405-1433), Zheng He memimpin sebanyak
317 armada kapal beserta 27000 awaknya, terbukti berhasil mengamankan jaur
perniagaan yang harmonis sepanjang poros China - Asia - Afrika.
Zheng He yang
lahir di desa Hedai propinsi Yunan tahun 1371 adalah cucu buyut dari Sayyid
Adzal Syamsuddin (1070), kemudian menetap di Indonesia dan dikenal sebagai
Laksamana Cheng Ho. Jejaknya hingga kini masih bisa ditelusuri dengan hadirnya Klenteng Sam Po Kong di
Semarang.
Namun
kejayaan penguasaan jalur perniagaan itu secara cepat kemudian menyurut karena berbagai
sebab. Selain pengaruh hadirnya kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang
dengan segala dampaknya, hingga memasuki era kemerdekaan sampai masa Orde pembangunan
Indonesia, yang paling memprihatinkan adalah telah terjadinya pergeseran dalam memandang
laut sebagai pemisah antar pulau, menjadi kendala penyekat antar wilayah.
Seiring dengan itu, terjadi perubahan paradigma pembangunan yang dominan berorientasi
daratan.
Laut dan Perairan Indonesia |
Namun
demikian, gagasan menghidupkan motto Jalesveva Jaya Mahe (Justru di Laut Kita
Jaya) atau pembangunan yang berwawasan maritim, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, meski masih sebatas wacana dan
slogan, hendaknya dapat dimaknai sebagai
upaya mengembalikan ‘Kedaulatan Laut’ yang telah lama dilupakan.
Teluk Bayur |
Namun
itu belum cukup. Gagasan besar mengembalikan kejayaan di bidang bahari, tidak serta
merta akan terwujud dengan sendirinya, tanpa melibatkan seluruh stakeholders insan maritim Indonesia. Lebih
khusus lagi tanpa peran aktif seluruh administrator otoritas pelabuhan, petugas
perhubungan lalu lintas laut, bea cukai, imigrasi,
TNI-AL selaku pengawal gugus keamanan laut, kalangan pengguna jasa pelabuhan, pengusaha industri perkapalan, para pelaku bisnis dan perdagangan, jasa angkutan, barang/kargo laut, serta kaum buruh dan nelayan, serta pihak dan instansi lain terkait yang selama ini berkiprah di sektor kelautan.
TNI-AL selaku pengawal gugus keamanan laut, kalangan pengguna jasa pelabuhan, pengusaha industri perkapalan, para pelaku bisnis dan perdagangan, jasa angkutan, barang/kargo laut, serta kaum buruh dan nelayan, serta pihak dan instansi lain terkait yang selama ini berkiprah di sektor kelautan.
Garis Pantai |
Kebijakan dan regulasi ini hendaknya dibingkai dalam
tata kelola menajemen maritim Indonesia, yang kelak dapat menjadi rujukan bersama
dalam upaya meraih manfaat yang optimal bagi kesejahteraan bangsa.
Terciptanya kebijakan yang reformis
dan regulasi yang tidak berbuntut ‘ekonomi biaya tinggi’ tanpa mengabaikan unsur kewaspadaan (baik
preventif maupun kuratif dari aspek keamanan) pada gilirannya akan menciptakan
iklim yang kondusif bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat
dan bangsa Indonesia.
Untuk itulah, mari kita duduk bersama membicarakan pengelolaan laut, ketimbang menangkapi kapal-kapal asing kumal kemudian membakarnya, yang lama-lama bisa mengundang antipati negara-negara sahabat dan menimbulkan efek kontra produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar