Senin, Mei 18, 2009

Kisah Pelayaran Legendaris Phinisi Nusantara (1)


Capt. Gita Arjakusuma adalah pelaut Indonesia yang berhasil melayarkan kapal tradisional Phinisi Nusantara dari Indonesia ke pantai barat Amerika sejauh 11.000 mil selama 67 hari. Tekadnya menghadapi gelombang dan menerjang badai, sungguh luar biasa. Hingga ia berhasil mendaratkan Phinisi dengan selamat dan turut mengharumkan nama dan bangsa Indonesia di pameran internasional Vancouver Expo 1986.
Gita sebenarnya 'anak gunung' yang dibesarkan di tanah priangan, Jawa Barat. Bersama para pelaut Bugis, Makassar, kembali membuktikan kepada dunia kalau nenek moyang kita memang orang pelaut!
Siapa sebenarnya dia? Bagaimana kisah dibalik kesuksesannya itu? Ternyata, tekadnya lahir setelah ia di cap sebagai anak dari keluarga 'tidak bersih lingkungan' karena ayahnya,  mayor penerbang TNI-AU dianggap berada pada 'tempat dan waktu yang salah' menyusul kudeta terselubung pada gerakan 30 September 1965.

Ayahnya ditahan selama 9,5 tahun, hingga akhirnya dibebaskan begitu saja tanpa melalui proses persidangan. Dan Gita, yang kebetulan berdinas di TNI-AL kariernya mentok sampai pangkat Kapten.

Ia memutuskan keluar dari TNI-AL karena tekanan batin dan beban moral dari lingkungannya. Sejak ayahnya di tahan, praktis hidupnya tersaruk-saruk dan melata di tanah airnya sendiri. Ia pun lantas bertekad membersihkan nama baik keluarganya dengan melayarkan kapal tradisional Phinisi Nusantara hanya untuk mencari kesempatan bisa berbicara dengan para petinggi di negerinya untuk mencari kejelasan status ayahnya. 'Indonesia Waters' menurunkan penuturan Gita.

Tiga Alasan Melayarkan Phinisi Nusantara

Hanya tiga alasan yang mendorong saya melayarkan Phinisi Nusantara dari Indonesia ke pantai barat Amerika, sejauh 11.000 mil.
Pertama, pelayaran itu dikehendaki oleh almarhum ayah. Kedua, kami tidak rela jika Phinisi Nusantara dilayarkan oleh nakhoda Orang asing. Dan terakhir, keinginan untuk membuktikan bahwa perahu tradisional Bugis bisa menempuh pelayaran samudera sebagai bukti sejarah! Namun di atas segalanya, adalah sebagai upaya seorang anak untuk merehabilitasi ayahnya: almarhum Sueb Ardjakusuma, yang telah mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai perwira TNI-AU, tetapi harus tercampakkan oleh sesuatu yang tak pernah bisa dipahaminya. Bahkan, tidak juga ia mampu sekedar membela dirinya. Maka, pelayaran Phinisi Nusantara merupakan voyage yang harus saya lakukan, setelah lama kami membisu.
Bekerja sebagai Port Captain
Kisah ini bermula pada tahun 1985. Pada saat itu, kami sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertama laki-laki, lahir pada 12 Februari 1979, kami namai Genardi Pratama. Menyusul anak kedua seorang wanita, lahir pada 8 Mei 1983, kami beri nama Nitya Ayudhita. Artinya adalah buah cinta. Sedangkan dhita adalah singkatan dari Dodi nama panggilan istri saya dan ta adalah Gita.
Tahun demi tahun berjalan dengan tenang, setelah saya secara resmi memutuskan untuk meninggalkan tugas operasional di Angkatan Laut -- yang juga berarti saya mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh jajaran di TNI-AL. Dan saya pun mencari pekerjaan di luar pemerintahan.
Sesuai dengan perkembangan armada di tanah air, pada saat itu sebuah perusahaan pelayaran bernama Andhika Lines, saya dengar membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi Port Captain. Dan rupanya, diantara para nakhoda, saya terpilih menjadi Port Captain, yang bertugas mengatur keselamatan, operasi kapal maupun barang.
Hingga awal tahun 1986, tugas-tugas yang kami lakukan sebagai port captain, dapat dilaksanakan dengan baik. Karena saya mempunyai suatu keuntungan atau kelebihan, yang kami kira juga ini merupakan rahmat dari Allah SWT bahwa selama saya menjadi nakhoda di atas kapal, kami bersyukur dan merasa beruntung karena tidak mengalami musibah-musibah, yang bisa mengurangi rasa percaya diri kami.
Kami tidak pernah mengandaskan kapal, bertabrakan atau berurusan dengan pihak Imigrasi dan Bea Cukai, maupun berbenturan dengan para anak buah kapal. Jadi, selama bertugas sebagai nakhoda kapal, tugas-tugas dapat saya laksanakan dengan lancar dan aman. Ini tentunya berkat kerja sama dengan para awak kapal semuanya. Bagaimana kami berusaha bekerja keras di atas sebuah kapal bak sebuah rumah terapung, di mana kita hidup sebagaimana dalam sebuah keluarga, yang senantiasa harus saling mengasihi.
Keluarga Nasional
Sementara itu, adik-adik saya sudah menyelesaikan pendidikannya di Universitas. Dan satu-persatu kemudian membangun keluarga masing-masing. Memang unik keluarga kami ini. Mungkin bisa dikatakan, inilah ‘’Keluarga Nasional Indonesia’’. Sebab ternyata, akhirnya keluarga kami bercampur membentuk satu keluarga besar yang terdiri dari beberapa suku, yang ada di Indonesia. Seperti, saya sendiri seorang Sunda yang mengawini wanita Jawa. Adik saya menikah dengan orang Batak, kemudian adik-adik ipar kami berasal dari Aceh, Manado, Bali. Sisanya, menikah dengan orang Sunda.
Para tetangga yang tinggal berdekatan dan kebetulan turut menyaksikan perjalanan hidup kami, sering menyampaikan kepada Ibu, betapa mereka merasa turut bergembira dan merasa bersyukur, sebab pada akhirnya kami bisa menjadi seperti sekarang ini.

Padahal, mereka yang menjadi saksi-saksi hidup itu, dulu turut menyaksikan bagaimana kami, ke delapan anak yang masih kecil-kecil itu berangkat sekolah, pulang sekolah dan bermain bersama anak-anak mereka. Seolah mereka melihat film kehidupan dari sebuah keluarga yang didera cobaan hidup. Tahun demi tahun, hingga sembilan tahun yang berat itu berlalu, kami benar-benar berjuang untuk sekadar bisa melanjutkan kehidupan dengan segala kesulitan dan tantangannya.

Setelah ayah keluar dari tahanan, penderitaan pun tidak berlalu begitu saja. Dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada waktu itu, memang banyak sekali hambatan-hambatan yang harus dialami oleh sebagian rakyatnya, terutama mereka yang telah divonis sebagai anak-anak 'tidak bersih lingkungan'.

Kenyataan itu, dirasakan oleh adik-adik saya. Mereka tidak bisa bekerja di tempat-tempat yang memang (sesuai peraturan waktu itu) tidak diperbolehkan, bagi keluarga yang dikategorikan tidak bersih lingkungan.

Kami, sembilan bersaudara. Diantara adik-adik saya: tiga perempuan menjadi dokter dan kemudian bekerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Dua orang lulusan Ekonomi, satu orang lulus Sarjana Hukum dan seorang adik saya satu-satunya yang laki-laki telah menjadi insinyur, lulusan dari ITB. Tentunya mereka harus berupaya mencari pekerjaan-pekerjaan yang memang hanya diperbolehkan bagi mereka.

Kami berupaya, sejak dini untuk hidup merendah, tetap hidup low profile. Jangan sampai menimbulkan rasa iri hati kepada orang lain atau teman sejawat mereka. Sebab, jika hal demikian terjadi, mereka akan sangat mudah mendiskreditkan kami dengan dalih sebagai anak Tapol, anak lingkungan tidak bersih, sehingga jenjang karier akan sangat terhambat.
the british columbia
Phinisi Nusantara
Suatu hari, pada tahun 1986, ayah menunjukkan sebuah berita di koran yang mengabarkan tentang suatu proyek pelayaran. ‘’Git, coba nih baca,’’ katanya. Saya raih koran itu. Berita itu, intinya menyebutkan tentang rencana Pemerintah yang akan melayarkan sebuah kapal tradisional Bugis dalam rangka turut memeriahkan Vancouver Expo’86 di Kanada, Amerika.
Vancouver adalah negara bagian British Columbia, yang posisinya terletak di pantai barat Amerika, menghadap ke Samudera Pasifik. Masyarakat di sana sangat menghargai budaya bahari. Nama Vancouver sendiri berasal dari seorang navigator Inggris Captain Sir George Vancouver, yang menemukan koloni baru itu, pada tahun 1792.
Pameran akbar internasional semacam Vancouver Expo, memang menjadi ajang setiap negara untuk memamerkan beragam hasil produksi dan keunggulan karya bangsa yang mencerminkan ketinggian peradaban budaya masing-masing.
Bagi pemerintah Indonesia sendiri, Vancouver Expo bukanlah pameran internasional pertama yang diikuti. Sebelumnya, pada 1963 kita pernah mengikuti New York World Fair yang bertema ‘’Progress And Harmony In Mankind’’. Kemudian pada 1970, pemerintah kita juga pernah mengikuti pameran serupa bertema Komunikasi dan Transportasi di Osaka, Jepang. Setahun sebelum Expo di Vancouver atau pada 1985, kita turut pula menjadi peserta pada pameran bertema kemajuan Teknologi dan Pariwisata, yang berlangsung di Tsukuba, Jepang.
Vancouver Expo’86 yang berlangsung pada 2 Mei – 12 Oktober 1986 itu, bertema ‘’World In Motion, World In Touch’’, dimanfaatkan oleh seluruh negara peserta untuk menunjukkan perkembangan kemajuan teknologi di bidang Komunikasi dan Transportasi.
Begitulah, pavilyun Indonesia pun tidak ingin ketinggalan. Terjadi kesibukan, baik di kantor Kedutaan Besar RI di Kanada, yang bertugas mengkoordinir persiapan penyelenggaraan anjungan Indonesia, maupun panitia di Jakarta. JB. Sumarlin sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ditunjuk Presiden Soeharto sebagai penanggungjawab.

Suasana Vancouver Expo'86 
Karena keunggulan kita di bidang teknologi komunikasi dan transportasi belum bisa dibanggakan, maka Pemerintah Indonesia menekankan pada aspek kekayaan budaya dan spirit bahari. Karena itu, Pavilyun Indonesia justru memamerkan perahu tradisional Asmat dari Irian Jaya, dari Kalimantan, Madura dan Bali sebagai kekuatan dan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bahkan, di dermaga, ditampilkan sebuah perahu phinisi bernama Phinisi Antar Bangsa.
Phinisi Antar Bangsa bukanlah kapal yang disiapkan untuk berlayar, tetapi hanya dipamerkan. Kapal itu, semula dibuat di Tanah Beru, Makassar, secara utuh, kemudian dibongkar terurai, dimasukkan peti kemas dan dirakit lagi di Vancouver.
Kegiatan merakit kapal itu sendiri, sudah sangat menarik perhatian para pengunjung pameran dan tentunya turut mengangkat pamor Pavilyun Indonesia di mata pengunjung Vancouver Expo, yang sebelumnya, selama bulan Mei, dirasakan sepi pengunjung.
Di kemudian hari, Anjungan Indonesia pada Expo’86 Vancouver dinilai sukses. Hal itu ditunjukkan oleh penilaian lebih kurang 100 suratkabar di negara Kanada yang memasukkan Indonesia ke dalam kelompok ‘’Top Twelve’’ berbintang empat di topik ‘’A Must See’’ .
Namun, seperti dikatakan JB. Sumarlin ‘’Dibalik (kesuksesan) itu, kehadiran perahu tradisional ‘Phinisi Nusantara’ melalui ekspedisi lintas Samudra Pasifik dalam Operasi Patih Gajah Mada, membawa makna tersendiri. Pelayaran ekspedisi yang lebih banyak bersifat demonstrasi berlayar dengan perahu tradisional itu, telah mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari,’’ katanya.

Keberhasilan melayarkan Phinisi itu sendiri, tidak terlepas dari orang-orang yang turut berjasa baik pada awal perencanaan, pada saat pembuatan, maupun orang-orang yang turut mendukung pelaksanaan pelayaran Phinisi Nusantara, yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Termasuk kalangan pers dan sebagian pembacanya, yang sempat meragukan keberhasilan pelayaran ini.
Pada awalnya, gagasan melayarkan sebuah phinisi dari Indonesia ke benua Amerika itu, bermula dari cetusan ide seorang anggota DPA yaitu Mayjen RM. Slamet Danusudirjo. Pada suatu pertemuan persiapan panitia inti Expo’86 di Jakarta, ia sempat melontarkan pertanyaan yang menantang: ‘’Mengapa kita tidak melayarkan sebuah phinisi yang lain dari Jakarta ke Vancouver?’’
Opening Ceremony Vancouver Expo 86
Para putera bangsa bahari Indonesia, yang hadir saat itu, sebagaimana dilukiskan Pius Caro, dibuat terhenyak mendengar tantangan itu. Mereka semua berpikir keras, sebab ini benar-benar tantangan yang nyata. Gagasan untuk melayarkan kapal phinisi dari Indonesia ke pantai barat Amerika, memang merupakan ide gila! Meskipun bukan sesuatu yang mustahil.
Komite persiapan pelayaran dibentuk pada awal Maret 1985 dengan anggotanya antara lain: Laksamana Urip Santoso dan Ir. Robi Sularto. Ide gila itu kemudian semakin mendekati kenyataan, meskipun sempat tersendat-sendat, karena memang tidak ada anggaran yang cukup guna membiaya; ongkos pembuatan, bahan baku, perlengkapan navigasi, permesinan, yang semuanya diperkirakan menelan biaya sebesar Rp 505 juta.
Maka Panita kemudian merancang kapal yang memenuhi beberapa tuntutan seperti kemampuan jelajah Samudera, keamanan dan kenyamanan yang cukup tinggi, serta bernilai komersial untuk dijual. Sebagai ketua harian dipilih Laksamana Urip Santoso, sedang untuk desain dan konstruksi ditunjuk DR. Ing. Sularto Hadisuwarno SE, Ketua Bappeda Tingkat I Sulawesi Selatan, yang juga dosen teknik perkapalan pada Universitas Hasanuddin.
Setelah semua dipersiapkan, termasuk pembuatannya di galangan kapal IKI, Makassar, maka pertanyaannya: lantas siapa yang akan melayarkan kapal itu?
Memang, lebih kurang tiga minggu setelah kegiatan pembuatan kapal itu dimulai, datanglah ke galangan itu seorang pria berkebangsaan Perancis bernama Phillipe Petiniaud bersama istrinya dengan perahu (yacht) mereka sendiri Srinoanoa. Kabarnya, Petiniaud adalah wakil pemilik – dalam hal ini komite ekspedisi – untuk mengawasi pembangunan perahu itu (owner supervisor). Dan ternyata, justru kemudian Phillipe lah yang katanya akan melayarkan kapal itu, dibantu beberapa anak buah kapal (ABK) asal Bugis.
Berita-berita di koran pun menyebutkan bahwa Phinisi akan dilayarkan oleh nakhoda asing. ‘’Masa’ kapal kita dilayarkan oleh nakhoda orang asing, Git!’’ kata ayah saya, sambil menunjuk berita di koran.

Tampaknya, ayah sangat berkeinginan kapal itu dilayarkan oleh bangsa Indonesia sendiri, sebab pelayaran itu sudah menyangkut kebanggaan nasional. Dan orang yang diinginkan ayah, justru saya sendiri sebagai seorang perwira TNI Angkatan Laut. ‘’Kenapa bukan kamu saja?’’ katanya seraya memandang tajam. Sepertinya, ayah memang menghendaki saya berbuat sesuatu. Bagaimanapun, beliau cukup memahami kehidupan kami jauh ke belakang dan melihat kemungkinan hari depan untuk memperbaikinya.
Saya merenung dan merenung kembali. Mungkin inilah jalan bagi saya untuk kembali mengangkat dan merehabilitasi keluarga kami? Maka bulatlah sudah, bahwa saya harus berusaha mengangkat kembali nama keluarga ARDJAKUSUMA di masyarakat.
Membaca berita di koran itu, entah bagaimana, seakan timbul semacam desakan yang meronta di dalam diri saya. Jiwa dan semangat hidup saya kembali terpanggil, karena ayah lah yang meminta, karena ayah pula yang menghendaki. ‘’Baiklah, mungkin inilah jalan bagi kami untuk dapat mengangkat nama baik keluarga Ardjakusuma,’’ saya bergumam. Tetapi, sedikitpun saya tidak bermaksud ingin menjadi jagoan atau menjadi pahlawan. Terlebih lagi, yang melecut diri saya adalah kenyaataan bahwa kapal itu akan dilayarkan oleh orang asing!
Bila kami bertemu dengan adik-adik di rumah, sering kami bertukar pikiran, bagaimana susahnya kehidupan dengan kategori sebagai anak ‘tidak bersih lingkungan’. Memang jenjang karier adik-adik saya, mau pun ipar-ipar, juga sangat terganggu. Seorang ipar saya, dokter yang berdinas di Angkatan Darat pun tersaruk-saruk dalam meniti jenjang kariernya. Bekerja sebagai dokter di kota Bandung, setelah bertahun-tahun mengabdi baru belakangan ini saja, dia bisa mencapai pangkat Kolonel, yang mestinya secara wajar bisa lebih tinggi dari itu. Hal yang sama, juga dialami adik-adik saya yang lain.
Dengan adanya ganjalan-ganjalan itu, kami mulai berpikir: memang harus ada upaya untuk mengangkat nama baik keluarga. Diantara sembilan bersaudara, akhirnya saya lah satu-satunya anak yang tidak lulus universitas. Pendidikan saya hanya lulusan Perwira Akademi Angkatan Laut. Dan hanya pengetahuan-pengetahuan mengenai kelautan lah yang saya miliki. Dan itulah, yang bisa saya lakukan. Saya berpikir, mudah-mudahan inilah jalan yang bisa mengangkat kembali nama keluarga Ardjakusuma di masyarakat.
Hanya dengan keberhasilan proyek inilah nantinya, mungkin orang akan mengenal siapa Ardjakusuma yang sebenarnya, setelah dicampakkan sedemikian rupa.Sengaja, saya tidak melepaskan nama belakang Ardjakusuma. Saya tidak gentar, bahwa nama itu akan dikait-kaitkan dengan masa lalu ayah, karena saya betul-betul sangat mencintai kedua orang tua. Dan keyakinan saya, orang tua kami bukanlah dari golongan Komunis. Itu yang menjadi tekad saya. 
                                                                                Continue Reading>>




4 komentar:

Anonim mengatakan...

saya dudi achadiat, saudara sepupu capt. Gita Ardjakusuma, yang kebetulan pada saat membaca artikel ini sedang berada di rumah capt. Gita, dan beliau juga yang tadi meminta saya membuka blog site ini.

Cukup banyak album foto yang dimiliki capt. Gita, satu diantaranya foto-foto waktu pelayaran jakarta vancouver

Pernah terfikir oleh saya untuk mengembangakan buku MENYISIR BADAI menjadi blog, dimana buku tersebut dipecah menjadi berapa artikel pendek dengan judul yang menarik , yang dapat dibuat lebih menarik dengan menambahkan foto2 terkait.

Sejak 5 april 2009, ada satu kolaborasi yang tengah saya jalankan dengan capt. gita -- banyak cerita yang menarik dari beliau, ada sisi sisi dari terkait beliau yang tampak potensial dikembangkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi IT

Dalam kaitan dengan kolaborasi yang tengah berjalan dengan capt. Gita, pernah terlintas keinginan untuk dapat berkomunikasi dengan penulis MENYISIR BADAI.. namun belum kesampaian --- ..

I wish this is the first stepping stone untuk berkomunikasi lebih lanjut ..

Salam

dudi@telkom.net.id

Anonim mengatakan...

saya dudi achadiat, saudara sepupu capt. Gita Ardjakusuma, yang kebetulan pada saat membaca artikel ini sedang berada di rumah capt. Gita, dan beliau juga yang tadi meminta saya membuka blog site ini.

Cukup banyak album foto yang dimiliki capt. Gita, satu diantaranya foto-foto waktu pelayaran jakarta vancouver

Pernah terfikir oleh saya untuk mengembangakan buku MENYISIR BADAI menjadi blog, dimana buku tersebut dipecah menjadi berapa artikel pendek dengan judul yang menarik , yang dapat dibuat lebih menarik dengan menambahkan foto2 terkait.

Sejak 5 april 2009, ada satu kolaborasi yang tengah saya jalankan dengan capt. gita -- banyak cerita yang menarik dari beliau, ada sisi sisi dari terkait beliau yang tampak potensial dikembangkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi IT

Dalam kaitan dengan kolaborasi yang tengah berjalan dengan capt. Gita, pernah terlintas keinginan untuk dapat berkomunikasi dengan penulis MENYISIR BADAI.. namun belum kesampaian --- ..

I wish this is the first stepping stone untuk berkomunikasi lebih lanjut ..

Salam

dudi@telkom.net.id

Semy Havid mengatakan...

Terimakasih sudah berkunjung ke blog Inside Story.

Senang mengenal Anda, pak Dudi Achadiat! Saya terkesan dengan gagasan Anda untuk mengembangkan buku MENYISIR BADAI dalam bentuk blog, dengan artikel pendek-pendek.

Itulah yang saya coba lakukan, seperti: tentang pelayaran Java Doll, perjalanan Jakarta - Vancouver dan kisah Penyelamatan Pengungsi Vietnam. Insya Allah saya akan tulis yang lainnya pada waktu-waktu luang mendatang.

Hanya memang, saya agak kesulitan dengan dokumentasi foto yang tidak saya miliki. Dan belum terlalu mahir (familiar) dengan blog (sedang belajar mencoba-coba).

Jika diperlukan info lebih lanjut, silahkan kontak via email (semyhavid@gmail.com) atau telephone (0819-3281-6464).

Terimakasih,
Salam.

Unknown mengatakan...

pak saya alfiandri , saya bekerja di sebuah perusahaan swata pelayaran, saya di tunjuk oleh bos saya untuk menjadi portcaptai tp saya masih nol tebntang itu , untuk itu saya mohon bantuan dari bapak apa saja tugas dari port captain tersebut.atas kesedian bapak saya ucapkan terimakasih , tolong balas ke email saya dedetabot@gmail.com trimakasih