Rabu, Maret 16, 2011

Gempa Bumi dan Tsunami, Pengalaman Dari Bengkulu (2)

Earthquake devastated Bengkulu
Bagian ke-2 dari tulisan pertama: 
Pengalaman Berada di Lokasi (Terdekat) Pusat Gempa Bumi

Gempa terjadi pukul 18.10 WIB. 
Pukul 18.30. Keadaan mulai tenang. Meski gempa susulan masih kerap terjadi hampir setiap 15 menit, namun kekuatannya menurun. 


Sebenarnya, ketika itu, saya dalam perjalanan mencari tempat penginapan, setelah menghadiri suatu pertemuan di sebuah Kantor Badan Usaha Milik Daerah di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan. Rencananya, pertemuan akan dilanjutkan besok pagi.

Jadi, ketika keadaan mulai tenang, kami pun melanjutkan niat semula: mencari hotel. Tetapi apa yang terjadi?   Justru mereka yang menginap di hotel-hotel  berhamburan keluar meninggalkan hotel. Tidak terkecuali para pengelolanya. Maka, malam itu, terpaksa kami ‘menginap’ di pinggir jalan.

Rupanya kami tidak sendirian, tampak orang-orang bergerombol di pinggir-pinggir jalan. Mereka mengeluarkan kendaraan dan seluruh barang-barang berharga lainnya dari dalam rumah. Menghindar dari reruntuhan pilar, atap atau apa saja yang bisa roboh sewaktu-waktu.

Setelah matahari tenggelam, hari mulai gelap.Ya, benar-benar gelap gulita karena seluruh aliran listrik terputus. Sebuah mobil Kijang berplat merah, dengan suara sirene meraung-raung, membelah keriuhan kerumunan orang-orang di jalanan. 


sebuah sudut kota Bengkul
Terdengar suara peringatan dari sebuah speaker yang terpasang di atas kap mobil, yang mengabarkan bahwa telah terjadi Gempa Bumi yang menurut laporan resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, menimbulkan potensi tsunami. Agar seluruh masyarakat tenang dan tidak panik.

Tentu saja, informasi yang disampaikan dengan cara yang salah akan menimbulkan efek kontra produktif. Itulah kemudian yang terjadi, informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut tanpa diikuti dengan fakta objektif malah sebaliknya ditambahi dengan berbagai bumbu. Hasilnya? Terjadi kepanikan luar biasa! 
Korban dirawat di tenda darurat

Berlomba Cari Selamat
Warga berbondong-bondong keluar  dari kampung-kampung, dari mulut gang-gang kecil dari sudut-sudut kota tumpah ruah ke jalan protokol. Mereka berusaha meninggalkan rumah, segera keluar menggunakan beragam jenis kendaraan: mobil, motor, gerobak, sepeda, atau apa saja yang bisa dipakai sebagai alat angkut untuk menyelamatkan diri. 

Tidak ada yang marah atau mengeluh jika mobil mewah mengkilap Anda tiba-tiba ditabrak gerobak, karena semua pikiran orang dihantui ketakutan dan kengerian yang teramat sangat. Orang-orang berusaha keras untuk bisa lari secepat dan sejauh mungkin, meski harus sambil membopong anak-anak atau menggendong orang tua renta, bahkan ada yang sambil menyeret-nyeret kambing. Kerbau atau sapi yang tidak bisa diajak kompromi, terpaksa ditinggalkan pemiliknya. Begitu pula, barang-barang berharga yang berat lainnya. Setiap orang bergegas berlomba mencari selamat!

Lantas, kemana tujuan mereka?   Jika benar informasi bahwa setelah gempa 7,9 SR itu akan terjadi tsunami, maka semestinya lokasi yang dituju untuk menyelamatkan diri adalah ke tempat yang lebih tinggi, yaitu ke arah perbukitan. Anehnya, arus manusia dengan beragam kendaraan itu, justru menuju ke pusat kota di mana terletak sebuah titik yang menjadi tujuan akhir, yakni Masjid Raya di alun-alun, yang sebenarnya terletak justru di dataran rendah!

Sungguh aneh, keadaan kejiwaan manusia dalam suasana genting. Akal sehat, tidak lagi menjadi penentu arah tindakan. Ada anggapan yang menyelimuti sebagian besar pikiran orang-orang ketika itu: “Kalaupun kami harus mati, biarlah kami mati di tempat yang disukai Tuhan,”

Ternyata saya pun harus sepakat, meski nalar berbicara lain. Bahwa kalau mau selamat dari tsunami seharusnya kita menuju ke tempat yang lebih tinggi. Kesepakatan kami dengan massa yang panik karena satu hal: kami sulit membayangkan hal buruk lainnya, bahwa:  seandainya kami memilih pergi ke dataran yang lebih tinggi di tengah arus deras manusia yang bergerak ke satu arah, itu sama artinya kita menentang gelombang. 

Kami tidak ingin terus bertabrakan,  kemudian (bukan mustahil) bisa terjatuh, lalu terlindas ribuan pasang kaki orang-orang yang terus bergerak mencari selamat ke rumah Tuhan yang terletak di dataran rendah. Beruntung, tsunami yang diperingatkan mobil pemerintah itu, tidak benar-benar terjadi.

Menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.00, keadaan mulai tenang. Begitu kuat keinginan kami untuk bisa menghubungi keluarga di Pulau Jawa. Setidaknya, bisa mengontak atau memberikan isyarat bahwa kami selamat, masih hidup. Dan sebaliknya, kami sangat ingin mengetahui apa yang terjadi di Jakarta. Tetapi, saluran telepon terputus. Telepon genggam kami pun tidak bisa menangkap sinyal, meski berkali-kali dicoba. 

Baru menjelang dini hari, sekitar pukul 12.00 malam sebuah pesan singkat (SMS) berhasil masuk, dari seorang teman. Isinya biasa saja. Dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan saat itu, tetapi rasanya menjadi sesuatu yang teramat menggembirakan, walaupun  tetap belum bisa membalas. 

Terasa sarana komunikasi menjadi sesuatu yang vital tetapi sangat sulit kami dapatkan setelah kebutuhan terhadap ketersediaan air bersih. Sungguh ironis, jika dibayangkan dengan keadaan sekarang, dimana kita  dengan mudah dan murah bisa berkomunikasi dengan siapa saja di bagian belahan bumi yang mana saja. (Hm.., terimakasih Tuhan atas kenyamanan dan ketentraman yang kami dapatkan saat ini).

Malam itu, pada akhirnya kami mendapatkan sebuah hotel yang memiliki akses langsung ke jalan raya, dengan pintu selalu terbuka. Kami harus menghindari gedung bertingkat dan hunian gedung bertulang beton.  Karena rasa kantuk yang teramat sangat, sesekali bisa tertidur juga   meski harus sering terjaga karena kita harus segera meloncat dari atas ranjang ketika terjadi gempa susulan untuk segera berlari keluar dari ruangan sampai gempa mereda. Demikian terus berulang-ulang terjadi.  Jika semula gempa susulan terjadi hampir setiap 15 menit, kemudian intervalnya menjauh menjadi 30 menit, 2 jam dan 5 jam sampai menjelang pagi, gempa susulan itu  baru benar-benar terhenti. 

Pukul 08.00 pagi, keesokan harinya.

Kami bergegas menuju ke Bandara. Sampai pukul 10.00 pagi menunggu di bandara, tak ada satupun pesawat yang bisa melayani penerbangan ke Jakarta. Bandara seakan lumpuh. Kami menunggu tanpa kepastian di area Bandara, yang beberapa tiang pilar penyangga atapnya tampak mengalami keretakan, akibat gempa kemarin.

jenis pesawat piper navajo
Pandangan mata saya tertuju, pada sebuah pesawat capung kecil sekitar 10 penumpang, dengan cat putih. Di bagian ekornya hanya ada tulisan ‘UN’ yang baru saja mendarat. Sejurus kemudian turun beberapa orang asing, entah berasal dari mana tetapi beberapa orang diantaranya menenteng peralatan elektronik dan alat-alat medis. 

Rupanya, mereka orang-orang asing dari lembaga internasional yang sejak pagi tadi sudah mendarat. Mereka  terdiri dari sejumlah tenaga ahli yang melihat secara langsung, mempelajari kemudian melaporkan situasinya ke markas besar untuk kemudian laporan tersebut segera ditindaklanjuti dengan segala bantuan terkait dengan situasi tanggap darurat.

Siang hari menjelang sore, sekitar pukul 15.00 siang, sebuah pesawat Hercules milik Angkatan Udara (TNI-AU) mendarat. Selain beberapa petugas berseragam, tampak orang-orang berpakaian jas rapi dengan lencana simbol kenegaraan di dada dan bahunya, juga   diikuti segerombolan wartawan dan fotografer dari Jakarta, yang menenteng kamera. Mereka tampak menuruni tangga pesawat. 
Hercules TNI AU

Saya berguman dalam hati: "Inilah para pahlawan kesiangan itu!" Mengapa  orang-orang asing yang jauh nya ribuan mil dari Bengkulu bisa lebih cepat datang ke pusat bencana, ketimbang para pejabat dari Jakarta (termasuk kalian para kuli tinta) yang jaraknya hanya 600 km saja dari Ibukota? 


Kita memang belum mengenal apa itu manajemen bencana tanggap darurat, akibatnya begitu banyak korban yang kemudian berjatuhan bukan karena bencana itu sendiri tetapi lebih disebabkan karena kekurang tanggapan mereka yang hidup untuk memberikan respon cepat dan tepat terhadap para korban bencana. Begitu yang terjadi di Bengkulu. Begitu pula yang terjadi di Banda Aceh. Sungguh beruntung, saya berada di kedua tempat itu, baik pada saat maupun pasca  bencana besar itu terjadi.

Gempa dan tsunami di  Jepang:
Semua musnah kecuali harapan
Kalau kita tidak bisa menolak bencana, maka langkah terbaik adalah mengantisipasinya dengan sebaik mungkin, agar tidak terlalu banyak korban jiwa manusia yang berjatuhan. Terlebih lagi, dapat menyelamatkan mereka yang memang belum waktunya dipanggil Tuhan.

Saya teringat bencana yang sama di Jepang, yang baru-baru ini terjadi. Masyarakat Jepang umumnya tahu,  jika negaranya adalah suatu daratan yang rawan bencana. 

Untuk itu, sejak anak-anak duduk di bangku pra-sekolah, hingga Sekolah Dasar, mereka diajarkan tentang bagaimana caranya menyelamatkan diri jika suatu ketika terjadi gempa bumi, atau bahkan tsunami. Termasuk para arsitek dan insinyur yang merancang bangunan dan gedung-gedung bertingkat.

Seorang Ibu mencari anaknya 
di reruntuhan rumah...
Satu hal yang mereka lupakan: jika semua simulasi-simulasi selama ini hanya berpatokan kepada data kekuatan gempa historis, jelas mereka salah berhitung jika tidak menyertakan perilaku anomalinya! Sebab gempa bumi bisa saja benar-benar diluar dugaan! Baik waktu maupun skala kekuatannya. Hal ini pula yang perlu dipertimbangkan ketika harus membangun reaktor bertenaga nuklir.  

Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter di Jepang yang diikuti dengan badai tsunami memang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Tetapi, akibat yang ditimbulkannya sungguh tak akan pernah hilang di dalam ingatan mereka yang berhasil selamat. Ada luka  dalam jiwa yang tidak mudah dipulihkan kecuali hidup bersamanya dengan damai.


                                                                           * * * * *
Artikel terkait:  Gambaru Cermin Ketegaran Bangsa Jepang Menghadapi Tsunami

Tidak ada komentar: