Selasa, Maret 15, 2011

Pengalaman Berada di Lokasi (Terdekat) Pusat Gempa Bumi

Tahukah Anda seperti apa gempa bumi berkekuatan 8,9 Skala Richter yang melanda negeri Sakura, Jepang belum lama ini?

Saya tidak tahu. Tetapi, saya pernah mengalami (melihat, merasakan dan berada di lokasi ) gempa terbesar berskala 7,9 SR ketika terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan, pada 12 September 2007.

"Bengkulu pernah dua kali diguncang gempa besar yaitu pada 2000 dengan kekuatan 7,3 SR dan pada 2007 hingga 7,9 SR yang merobohkan ribuan rumah penduduk, menelan puluhan korban jiwa dan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah" (kompas.com).

Juga gempa-gempa kecil susulan pasca tsunami ketika saya bertugas di Banda Aceh. Sudah begitu banyak gambaran yang bisa kita saksikan bagaimana luluh lantak dan porak porandanya gedung-gedung, ataupun karya manusia yang berada di muka bumi ini yang hancur digoyang gempa. Namun, sedikit sekali gambaran psikologis yang benar-benar bisa kita rasakan dari mereka yang menjadi korban. Anda tidak akan pernah tahu, sampai Anda mengalaminya sendiri.


Mengapa Terjadi Gempa di Indonesia? 
Para ahli kebumian telah mengetahui bahwa bumi ini terbagi menjadi lempeng-lempeng (plate) tektonik yang saling bergerak dengan kecepatan 5-10 cm per tahun. Di Indonesia, terdapat 3 lempeng besar yang saling berinteraksi, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Interaksi ini menghasilkan serangkaian gunung api aktif yang dikenal dengan “Ring of Fire” (cincin api).


Pergesekan atau tumbukan antar lempeng tersebutlah yang menghasilkan gempa. Jalur gempa bumi di Indonesia pun selaras dengan cincin api ini. Jalur gempa melingkari sebelah selatan Indonesia sejajar dengan Kepulauan Mentawai dan Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, kemudian berbelok di Laut Banda hingga Halmahera.

Kondisi tektonik Indonesia tersebut, terbentuk melalui proses evolusi panjang sejak 150 juta tahun yang lalu. Cincin api itu terbentuk jauh sebelum manusia ada. (salmanitb.com)
Gempa Bumi Bengkulu 2007, menurut id.wikipeia.org adalah rangkaian gempa yang terjadi di Palung Jawa, di lepas pantai Bengkulu, Sumatra, Indonesia. Gempa ini menimbulkan peringatan tsunami di pantai-pantai Samudra Hindia, yang kemudian dicabut. 
Lokasi dan getaran gempa
Bengkulu (12/9/2007)
Gempa awal memiliki kekuatan 7.9 SR, terjadi pada tanggal 12 September 2007 pukul 18.10 WIB. Pusat gempa terletak kira-kira 10 km di bawah tanah, sekitar 105 km lepas pantai Sumatra, atau sekitar 600 km dari ibukota Jakarta
Gempa utama ini diikuti oleh serangkaian gempa susulan, pada patahan yang sama. Gempa utama tersebut juga disusul dengan gelombang pasang yang kemudian membanjiri sedikitnya 300 rumah penduduk dan bangunan publik di Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai sampai setinggi 1 meter.

Jadi, seperti apa rasanya gempa bumi 7,9 SR itu? 
Sekedar ilustrasi: Bayangkan, pada suatu kesempatan Anda sedang mengendarai sebuah mobil di jalan bebas hambatan, dengan kecepatan 100 km/jam. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja, salah satu ban depan kendaraan Anda meletus! 


Kendaraan langsung oleng, meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi. Belum hilang rasa kaget Anda, tiba-tiba saja mobil Anda terasa melonjak-lonjak melalui gundukan jalan melambung-labung seperti 'polisi tidur' yang dilalui beruntun. Anda bisa terlonjak dari jok mobil tempat duduk anda,  hingga kepala menyundul atap mobil kendaraan.

Seluruh pengendara, secara refleks ingin segera menghentikan kendaraan yang melaju tak terkendali itu. Kemudian, kita berusaha keluar dari kendaraan untuk melihat apa yang terjadi dengan mobil kita dan jalanan seperti apa yang kita lalui. Itulah sebagian fragmen yang saya alami ketika berada di Bengkulu, selepas maghrib, di suatu hari pada 2007 silam, ketika terjadi gempa berkekuatan 7,9 SR.


jalan terbelah, tanpa dasar,
gempa Bengkulu 2007
Setelah mobil bisa berhenti, kami (bertiga) langsung turun berusaha membuka pintu dan keluar dari kendaraan. Tetapi, begitu pintu terbuka, kami terkulai. Kaki lemas. Tak mampu berdiri. 
Berkali-kali mencoba bangkit, tetapi langsung terkulai di jalanan sambil berjongkok, karena memang bumi tempat kita berpijak sedang bergoyang-goyang! Bahkan, mulai meretak...terbelah! Dan jika Anda mencoba melongok ke bawah...tak tampak lagi dasarnya.

Saya sempat iseng menjatuhkan kerikil sampai batu sebesar kepalan tangan, ke dalam rekahan rongga tanah yang terbelah itu, kemudian mendekatkan telinga ...hasilnya nihil, tak terdengar apa-apa! 

Tak berapa lama, perut serasa dikocok, mual  dan kepala pusing-pusing. Apa yang terjadi? Ternyata, kita lihat ban mobil utuh, tidak bocor. Begitu pula dengan jalanan yang kita lalui, ternyata mulus rata tiada satupun gundukan 'polisi tidur'. 

Sekelebatan muncul ingatan: wajah orang-orang yang kita cintai dan rasanya akan segera kita tinggalkan..karena bayangan yang hadir adalah: "Oh...inikah yang disebut-sebut sebagai the end of the world itu?"   


Kami  merebah di tengah jalan raya, dalam keadaan tergeletak. Tak mampu berdiri. Ketika saya menoleh ke belakang, ya Tuhan... ternyata banyak kendaraan lain yang saling bersilang arah dan terjungkir balik! 

Orang-orang pun bergeletakan beralaskan aspal jalan. Saya perhatikan kabel-kabel tiang listrik bergoyang-goyang kencang dengan siulan suara menggelepar mengerikan! Tampak percikan bunga api listrik akibat pergesekan kabel. ''Beberapa saat lagi, pasti terputus,'' saya berguman. Dan aliran listrik ribuan volt bisa menghanguskan apa saja yang berada di dekatnya. Karena itu, tatapan mata tidak ingin lepas dari kabel listrik berbahaya itu, sambil merebah di tengah jalan.

Tiga Reaksi Manusia
rongga patahan tanah tak berujung 
Bagaimana reaksi orang-orang ketika itu? Ada tiga kelompok manusia yang memberikan respon berbeda ketika dihadapkan pada situasi yang sama, yang dirasakan genting. (Kenyataan ini baru saya sadari jauh hari setelah keadaan tenang).

Kelompok Pertama: Histeria. Saya sempat melihat seorang Ibu  separuh baya berlari meraung-raung kemudian berteriak-teriak histeris seraya merobek dan melepaskan  pakaiannya satu-persatu! 

Entah apa yang ia teriakkan, tetapi anehnya tak seorang pun yang peduli meski jelas sudah tak selembar kain pun menutupi tubuhnya! Perbuatannya, diikuti dengan keganjilan yang sama oleh sejumlah perempuan lain yang berada di dekatnya, ada yang memukul-mukul badan dan dadanya sendiri sambil meraung histeris.  Tetapi sekali lagi, tidak ada yang perduli!

Kelompok Kedua: Bingung. Sejumlah orang tampak berkerumun di sebuah sudut jalan dengan tatapan mata nanar, tampak terbengong-bengong melongo. Mereka seperti saling berbicara tetapi sebenarnya saling bertanya, keheranan. Terpancar wajah-wajah bingung, karena kesulitan memahami  apa yang sedang terjadi. Pikiran hampa dan pandangan kosong. Mereka bahkan,  tidak tahu harus berbuat apa dalam merespon situasi.


sebuah pojok bangunan yang hancur
Kelompok Ketiga: Memanggil Tuhan. Pada kelompok ini, saya melihat  sejumlah orang yang mengangkat kedua belah tangannya lalu menadahkannya  ke langit! "Nah, barangkali mereka ini, sedikit lebih bagus," Pikir saya.  

Tetapi, apa yang mereka ucapkan? Saya tidak tahu. Mana Bismillah itu? Mana istighfar? Jangan tanyakan surat atau bacaan apa yang bisa mereka ucapkan. Kemana ayat-ayat Tuhan yang kita hafal sejak kecil itu perginya? 

Semuanya mendadak hilang. Kosong melompong seluruh ingatan di kepala, ketika Anda berhadapan dengan suatu keadaan yang menggetarkan seluruh pusat kehidupan Anda!. Dan yang terucap  di bibir hanyalah yang benar-benar secara refleks terbiasa kita lafalkan berulang-ulang hingga tanpa disadari, ya hanya itulah yang bisa keluar dari mulut kita untuk memohon perlindungan. 

Setelah jauh dari lokasi dan waktu berselang, pikiran baru bisa bekerja untuk memutar ulang seluruh ingatan dari peristiwa  yang dirasakan (seakan-akan) menghadapi akhir dunia. Dan itu, tidak berlangsung lama. Barangkali hanya empat menit saja. Ya, hanya 4 x 60 detik saja, dari sekian puluh tahun waktu hidup yang telah Tuhan berikan, hingga tulisan ini dibuat. 


Sungguh, saya baru benar-benar merasakan bahwa dunia ini seakan segera berakhir, hanya dalam beberapa menit! Padahal, faktanya adalah: saya  berada di sebuah daratan yang sangat dekat dengan pusat gempa bumi berkekuatan 7,9 skala richter. 


Beruntung, kota Bengkulu masih banyak menyisakan ruang terbuka hijau, di mana jarak antar bangunan tidak terlalu rapat. Di sana  tidak ada bangunan-bangunan pencakar langit bertulang beton yang saling berhimpitan, dengan jarak rapat berdekatan, sepadat Jakarta atau Tokyo. Karena bangunan-bangunan itulah yang kelak menjadi kuburan bagi penghuninya ketika gempa bumi keras mengguncang! 


Continue Reading>>Gempa Bumi dan Tsunami, Pengalaman Dari Bengkulu (2) 
                                                               

Tidak ada komentar: