Rabu, Desember 07, 2016

Sekolah Alam Anak Suku Bajo

Anak-anak Suku Bajo, tidak mengenal bangku sekolah dan pakaian seragam. ‘Sekolah Alam’ di ruang terbuka, lebih mereka sukai.

Laut adalah keseharian Anak-anak
Suku Bajo di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, secara kultur lebih akrab dengan laut. Di masa lalu mereka hidup berpindah-pindah. Tak heran, hingga kini suku Bajo bisa ditemukan di Malaysia dan Filipina Selatan. 

Di Bone, Sulawesi Selatan, mereka tinggal di kawasan pesisir, membangun rumah-rumah panggung di atas laut, dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Namun, mereka  cenderung mengisolasi diri.

Anak-anak Suku Bajo,
di atas sampan kayu.
Anak-anak suku Bajo, umumnya tidak bersekolah.Namun jangan ditanya lagi, kepiawaian mereka ketika berada di laut. Laut adalah bagian dari diri mereka, laut adalah keseharian mereka, mereka begitu akrab. 

Jika manusia normal rata-rata bisa menahan napas selama dua menit saja, anak-anak suku Bajo rata-rata bisa menyelam lebih dari lima menit ke dalam laut tanpa bantuan oksigen atau peralatan, cukup  bertelanjang dada langsung terjun!


Nah, tunggu beberapa lama, dia akan kembali muncul jauh dari tempat semula dia menyelam! Anak-anak belajar berenang dan menyelam, tanpa guru, mereka secara naluri sudah sangat paham bagaimana menggunakan napas secara efisien. Mereka tahu, menjaga lingkungan laut tanpa diajari. Setelah dewasa, mereka pun lekas memahami kearifan laut, yang telah memberi mereka hidup. 


Jadi, jika ada pendatang atau nelayan lain memperkenalkan 'Bom Ikan' atau jaring Trawl, mereka langsung menjauh! Sebab mereka tahu, tindakan itu memang memberikan kenikmatan sesaat tetapi menyengsarakan hidup bertahun-tahun, sampai biota laut dan jasad renik yang ada di dalamnya kembali pulih. 

Hidup bersahabat dengan laut. Memudahkan mereka mencari dan menangkap ikan, dari sejak kecil. Hasil tangkapan, bisa dijual langsung di pasar. Sehingga anak-anak dari sejak usia dini, lebih cepat mengenal uang ketimbang membaca dan menulis. 

“Untuk apa sekolah, jika setiap hari anak saya bisa berpenghasilan Rp 20.000 – Rp 30.000?” ujar seorang Ibu mengungkapkan alasan  mengapa anaknya tidak sekolah. Saya pun terdiam melongo, sambil menyeruput secangkir kopi, yang saya pesan di sebuah warung sambil pura-pura tak acuh dengan jawaban Ibu muda berkulit gelap dan berbedak sekenanya itu. 

Anak-anak di beranda Rumah Panggung
Dalam kehidupan sehari-hari, meski mereka bisa hidup dari hasil laut, tetapi di sisi lain, mereka kurang faham 'menjaga' lingkungan darat. kebersihan dan kesehatan, termasuk rumah panggung, masih jauh dari standar kesehatan minimal. 

Kini Pemerintah Daerah Bone dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Komunitas Peduli Anak, bahu membahu berupaya ‘merangkul’ mereka, dengan memperkenalkan anak-anak akan perlunya belajar dan bermain, yang penting bagi tumbuh kembang anak. 

Para petugas dan sukarelawan harus mendatangi mereka dan berkumpul di ruang terbuka atau di sebuah rumah tanpa sekat, di lingkungan pesisir tempat komunitas Bajo berkumpul. Mengajak mereka bergembira, menyanyi, menggambar, bahkan belajar membaca dan menulis.   

Mobil-mobil layanan Pemkab, dua kali dalam seminggu datang membawakan mereka buku-buku cerita.  Dan anak-anak pun menyambut dengan antusias. Sementara, petugas Kependudukan melayani langsung penerbitan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta Kelahiran. 

Ya, Pemerintah Daerah berkepentingan dengan pendataan dan legalisasi. Sementara, para orang tua suku Bajo juga mulai menyadari pentingnya berurusan dengan Dokter dan Puskesmas.


Tidak ada komentar: