Senin, Agustus 08, 2016

Isu Panas Seputar Bongkar Pasang Kabinet, Ahok, Eksekusi Mati, Hingga Jessica

Media massa di tanah air, dalam beberapa pekan terakhir ini mengekspos beberapa isu panas. Sajian media (dominan Televisi dan Suratkabar Cetak serta media Online), kemudian menjadi agenda perbincangan publik. Banyak yang tidak mengacuhkan, tetapi sebaliknya tidak sedikit pula yang kemudian merangsang sejumlah perdebatan hingga mengundang aksi nyata.  


Presiden Joko Widodo (foto: Ist)
Dalam dua pekan ini, media massa mengangkat sejumlah isu-isu panas. Mulai dari reshuffle (bongkar pasang) kabinet Jokowi, yang menyisakan sejumlah pertanyaan di masyarakat, lalu isu Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang akan berlangsung tahun depan, terkait siapa lawan petahana Ahok, yang dianggap sepadan karena Ahok terlalu populer di kalangan pemilih warga Jakarta.

Isu lain terkait pelaksanaan eksekusi terhadap 4 dari 14 terpidana mati, kasus Narkoba, pada 26 Juli 2016 di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Kasusnya, tidak berhenti di situ, tetapi berbuntut panjang,  terkait pengakuan (alm) Freddy Budiman tentang keterlibatan aparat dalam bisnis haramnya itu. Isu menarik lainnya, adalah kasus kriminal pembunuhan Mirna Salihin yang diduga dilakukan oleh Jessica Kumala Wongso, temannya sendiri.



Reshuffle kabinet, merupakan perbincangan paling top karena berdampak luas terhadap kinerja kabinet dan kebijakannya terhadap masyarakat, tetapi yang terpenting bagi Jokowi adalah menjaga konstelasi politik nasional di parlemen. Mengapa? Sebab dia butuh kestabilan dan ketentraman dari 'gonggongan' para oposan wakil rakyat di parlemen, dalam mengambil segala kebijakan kabinetnya. 

Seorang Presiden baru yang terpilih, acapkali di pasangi 'speedometer' dengan ukuran kinerja sejak dia terpilih hingga 100 hari masa jabatan pertamanya. Maka, gampang saja penilaiannya, jika dalam 100 hari itu, tidak ada gebrakan yang sesuai dengan apa yang dikampanyekannya, maka para pemilih tidak perlu berharap banyak lagi untuk masa jabatan selanjutnya alias sudah tiba waktunya untuk mengubur semua harapan pemilih.

Lantas, kejutan dan beleid apa yang dilansir Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam 100 hari pertama mereka berkuasa? Hingga hampir dua tahun ini memang banyak hal telah dilakukannya. Namun belum dirasakan betul oleh rakyat, kecuali program penjaminan kesehatan masyarakat dengan dibentuknya BPJS, yang disambut hangat rakyat miskin, yang selama ini menghindari sakit karena mahalnya biaya Rumah Sakit.

Malaikat itu bernama be-pe-je-es (BPJS). Hingga kini, tak jelas betul, apakah badan ini sejenis korporasi asuransi rakyat yang dikelola negara yang tak lepas dari untung rugi dalam menjalankan bisnisnya atau memang bertindak sebagai Badan Usaha Milik Negara yang harus siap-siap merugi mengingat aspek sosialnya? sebagai perwujudan dari amanat Undang-Undang, bahwa negara berkewajiban menjamin rakyatnya agar tidak kelaparan dan menjaga kesehatan warganegara ketika membutuhkan pengobatan.

Susi Pujiastuti
Wacana lain yang ditagih para pemilih adalah gebrakan pembangunan "Tol Laut" dan menjadikan sektor Maritim sebagai ladang eksplorasi dalam mendongkrak kesejahteraan rakyat dengan dibentuknya Kementrian Kelautan sebagai leading sector nya. 

Namun hingga kini, belum ada hasil signifikan kecuali pengangkatan Susi Pujiastuti yang kontroversial itu saja dengan 'keberanian' menenggelamkan kapal-kapal kayu butut para pencuri ikan dari luar negeri. Bukan soal sosok nyentrik badannya yang bertato atau kegemarannya merokok, tetapi indikator kesehatan sektor laut harus terlihat jelas di Pelabuhan-pelabuhan. Apakah mafia di pelabuhan-pelabuhan laut sudah habis atau justru semakin menggila? 

Apakah harga ikan beserta hasil budidaya laut semakin murah atau sebaliknya? Sudahkan rakyat Indonesia terjamin akan ketersediaan harga ikan laut yang terjangkau?  Apakah lalu lintas pengiriman barang via laut semakin mudah dan murah? Sudahkan lalu lintas laut antar pulau menjadi pilihan rakyat setelah pesawat terbang?  Meski ini bukan porsinya Susi, tetapi Kementrian Perhubungan dan Menko Maritim, namun laut adalah hamparan yang menyatu tanpa sekat birokrasi. Maka, sudahkan koordinasi diantara para abdi negara ketiga sektor ini memiliki persepsi yang sama? Jika tidak, akan terjadi tumpang tindih perijinan yang memberatkan masyarakat.

Satu contoh sederhana. Jika ada kapal asing masuk ke wilayah teritorial laut Indonesia, siapa petugas pertama yang berkompeten? Apakah pemegang otoritas pelabuhan, orang Pajak/Bea Cukai, Imigrasi, Polisi Air, atau TNI AL? Lantas bagaimana kerjasama diantara mereka, sehingga tamu yang datang ke rumah kita itu bisa merasa welcome? Jika belum apa-apa sudah diinterogasi lalu disodori berbagai biaya, saya menduga tidak akan banyak tamu yang akan datang melalui laut, kalau tidak terpaksa. 

Ini memang terkait dengan Kementrian Perhubungan, tetapi apakah Tol laut sudah bisa menghubungkan rakyat antar pulau dengan mudah dan cepat? Sehingga harga-harga barang, termasuk sembako dan semen, tidak jomplang antara Jawa dan Luar Jawa, khususnya wilayah Timur Indonesia. Rakyat tidak butuh banyak wacana teori, tetapi lebih suka dengan bukti nyata! Berapa harga semen atau bensin di Sentani, Papua, Sentarum Kalimantan Barat atau di Kalabahi, Alor, NTT jika dibandingkan dengan harga-harga di pulau Jawa?

Pergantian beberapa Menteri Kabinet, ada yang disambut positif, ada juga yang masih menimbulkan tanda tanya. Seperti Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang dinilai berprestasi mengubah wajah PT. Kereta Api, menjadi moda angkutan terjadwal yang menjadi alternatif di tengah kemacetan parah di Jakarta, apalagi dengan adanya WC yang bersih. Sayangnya, Jonan dicopot tanpa banyak yang tahu alasannya. 

Begitu juga,   kehadiran Sri Mulyani, yang rela melepaskan jabatan bergengsi sebagai Direktur Eksekutif Bank Dunia untuk mengabdi menjadi Menteri Keuangan, yang dinilai turun pangkat. Kehadiran Sri Mulyani disambut positif, menggantikan Bambang Brojonegoro. Tetapi penggantian Menteri Pendidikan Anies Baswedan oleh tokoh Muhammadyah dipertanyakan, karena Anies dinilai cukup populer dengan gayanya yang flamboyan. 

Terlepas dari semua itu, Presiden memang didesak untuk segera bisa memberikan bukti nyata dalam bahasa yang dimengerti dan langsung bisa dirasakan rakyat, jika tidak ingin dituding tidak becus! Maka, tiada lainnya jawabannya, Pemerintah sekarang harus meningkatkan akselerasi pembangunan 5 kali lebih cepat dari sebelumnya. Jika Jokowi mau maju lagi pada Pilpres mendatang (2019). Maka, bongkar pasang kabinet, adalah hak prerogatif Presiden yang menjadi pilihan tak terhindarkan. 

Pilgub DKI Jakarta

Ahok, Gubernur DKI Jakarta
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta masih setahun lagi. Namun 'pergulatan' sudah berlangsung jauh hari hingga sekarang. Apalagi setelah calon petahana (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memastikan untuk maju pada Pilkada 2017. 

Ahok dengan gaya dan karakternya yang meledak-ledak dinilai figur paling pas untuk membenahi Jakarta, hingga banyak media mainstream yang mengekspos dan membuatnya terlalu populer bagi siapapun yang akan melawannya. Meski semula Ahok akan maju sebagai dari calon independen tetapi kemudian memilih untuk diusung parpol, dinilai mencederai 'Teman Ahok' yang berhasil mengumpulkan 1 juta tanda tangan. Itu pun tetap bisa diterima 'Teman Ahok' 


Maka, sejumlah parpol kini beramai-ramai menentangnya. Parpol (non Ahok) hari ini akan berkumpul di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serentak bersekutu, membahas strategi mencari lawan yang sepadan, setelah Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, dinilai tidak sepadan.

Ternyata, PDIP yang ditinggalkan Ahok, masih punya kandidat kuat, yakni Tri Risma Harini, akrab dipanggil Risma, kini menjabat Walikota Surabaya. Risma yang menjadi tokoh populis di Jawa Timur, sama kuatnya dengan Ridwan Kamil, Walikota Bandung, disebut-sebut sebagai lawan yang sepadan untuk bersaing dengan Ahok.


Ahok memang sedang naik daun, meski kinerjanya boleh dibilang memble. Bayangkan saja, tingkat penyerapan anggaran (APBD) DKI Jakarta adalah yang terendah jika dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia, disusul daerah kaya lainnya seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Setidaknya, terdapat dana sebesar Rp 13 Triliun mengendap di Bank DKI yang menganggur karena tidak terserap dalam kegiatan pembangunan. 

Dengan kata lain, tidak banyak pembangunan yang dilakukan Gubernur DKI  bagi warganya. Pada sisi lain, tampak Pemda DKI tengah memamerkan suatu 'kemewahan' yang sia-sia ditengah banyaknya daerah  miskin yang kesulitan dana untuk membangun daerahnya. Sudah sepantasnya Sri Mulyani menyenggol Jokowi agar menjewer Ahok.

Namun Ahok bergeming. Dan tetap tak tergoyahkan dari rating survey popularitas figur calon kuat DKI-1. Berbagai manuver kampanye terselubung sudah beredar luas di media sosial, termasuk jejaring sosial facebook dan WhatsApp. Tidak hanya sisi baik dan positif tetapi juga aspek negatif dan stigmatisasi pun menjalar, termasuk isu-isu SARA anti Cina dan larangan pemilih Muslim untuk memilih pemimpin non muslim. 

Namun agenda perebutan kekuasaan dibalik isu Pilgub DKI Jakarta, tampak semakin seksi dan mendominir kuat, dalam benak para politisi. Apalagi jika mengingat DKI Jakarta sebagai barometer politik nasional, yang menjadi acuan Pilkada bagi daerah-daerah lain di Indonesia.

Eksekusi Mati

Pelaksanaan hukuman mati terhadap 4 dari 14 terpidana mati gembong Narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 26 Juli 2016 silam, juga berbuntut panjang. pasalnya, satu dari empat yang dieksekusi itu, adalah Freddy Budiman, warganegara Indonesia asal Surabaya yang sempat menumpahkan kekesalannya kepada Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Penculikan serta Tindakan Kekerasan (Kontras), LSM kondang yang pernah dipimpin pejuang HAM Munir (alm).


Freddy Budiman
Dua tahun silam, Haris Azhar berkesempatan mengunjungi Freddy di Lapas Nusakambangan. Gembong Narkoba yang konon ketika itu sudah 'bertobat' itu pun berkicau tentang keterlibatan aparat Polisi, BNN dan Bea Cukai, yang 'meninggalkannya' setelah dia divonnis mati, padahal mereka telah menerima sejumlah uang darinya (baca:suap). Kabarnya, kepada pihak Kepolisian senilai Rp 90 Milyar dan kepada BNN senilai Rp 450 Milyar, lihat tulisan Haris Azhar: Kesaksian Bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusakambangan).


Budi Waseso
Beredarnya pernyataan Haris di med!ia sosial, membuat kedua institusi penegak hukum ini bak kebakaran jenggot. Dengan respon cepat, pihak yang mewakili lembaga-lembaga yang disebut Haris itu, kontan merespon agar Haris membuktikan ucapannya. Sementara, Haris balik menjawab bahwa bukan tugasnya untuk membuktikan adanya suap kepada pihak Kepolisian dan BNN, sebab hal itu adalah kewenangan aparat. Dengan tambahan, jangan sampai publik yang semula berniat baik melaporkan adanya suatu kejahatan menjadi terancam oleh ketakutan.

Bola liar terus bergulir, namun segera meredup setelah Wapres Jusuf Kalla (JK), mendukung pernyataan Haris Azhar, yang menanggapi agar soal itu dinilai sebagai momentum introspeksi diri bagi kedua institusi penegak hukum itu. JK menilai ada baiknya Haris dimintai klarifikasi atas tulisannya, (bisa saja diinterpretasikan: dimintai keterangan oleh pihak berwajib dengan menjadikannya sebagai  tersangka), agar tersingkap jelas kasus ini.

Terlebih lagi, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian, adalah garda terdepan yang diharapkan mampu membendung  kejahatan penyalahgunaan dan peredaran obat-obat terlarang (Narkoba) di Indonesia, yang dewasa ini sudah berada pada tahapan ancaman KRITIS.  Maka, celotehan Freddy tentunya menampar wajah kedua institusi terhormat ini.  

Satu hal yang menguatkan Haris, untuk apa seseorang yang menghadapi hukuman mati menyatakan sesuatu kebohongan? Namun, karena pernyataan Freddy diberikan dua tahun sebelum eksekusi, dan baru diungkap Haris sehari menjelang eksekusi (tgl 25/7/16) boleh jadi memang ada motivasi untuk meringankan hukuman bagi Freddy selaku whistle blower atau setidaknya bisa menyeret orang lain untuk sama-sama dihukum! 

Tetapi bisa juga memang hanya ungkapan kekesalan Freddy semata, setelah ia tahu persis tidak ada lagi orang yang bisa menghindarkannya dari  eksekusi regu tembak di Nusakambangan setelah dia tahu persis kapan dirinya akan mati, dan dengan cara bagaimana kematian itu harus dijalaninya serta dimana tempat kematian itu akan menjemputnya. 

Beruntunglah dia, yang masih bisa mengetahui tentang waktu, cara bagaimana dan dimana, kematian akan menjemputnya, ketimbang mereka yang tidak mengetahui, bahkan pertandanya sekalipun. Setidaknya, dia memiliki kesempatan untuk bertobat dengan total sepenuh dirinya. 

Pembunuhan Mirna

Peristiwa pembunuhan seorang gadis bernama Mirna Salihin yang diduga dilakukan oleh Jessica Wongso, yang pernah sama-sama belajar di Australia, menjadi pusat perhatian publik. Pasalnya, kematian Mirna terjadi di sebuah cafe di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, setelah minum kopi Vietnam bersama dua rekannya, Jessica dan Hani.

Persidangan kasus terbunuhnya Mirna setelah menenggak kopi yang terlebih dulu ditaburi racun Sianida, hingga kini masih berlangsung dengan menghadirkan sejumlah saksi ahli.
Jessica Kumala Wongso
Persidangan menjadi alot, pasalnya, Jessica membantah jika ia dituduh Jaksa sebagai pelaku pembunuh Mirna.  Satu hal yang menarik, mengapa Jessica menggunakan racun sianida untuk menghabisi Mirna, sementara dirinya turut berada di lokasi tersebut? 


Dalam banyak kasus, penggunaan racun sianida biasanya untuk menghilangkan jejak. Sianida adalah sejenis zat kimia yang dapat larut dengan air, dengan reaksi cepat menimbulkan daya rusak yang luar biasa terhadap organ tubuh vital seperti usus dan jantung, hingga bisa mengundang kematian dalam waktu singkat bahkan hanya dalam hitungan detik!

Jika pelakunya sudah mempersiapkan skenario pembunuhan itu, tentu dia sudah tahu akibatnya, bahwa dirinya akan kehilangan waktu untuk 'menghilang' atau melarikan diri dari lokasi pembunuhan. Dan ia tidak mempunyai alibi. 

Jika pelaku dengan skenario itu adalah orang yang sama yang duduk dan memesankan minuman, tentunya ini suatu tindakan ceroboh dan boleh dibilang bodoh. Maka, tak heran jika Polisi tetap mengajukan berita acara pemeriksaan -- yang menjadi dasar tuduhan jaksa-- dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso sebagai pelakunya. Pada titik inilah, publik diajak berdebat dan berspekulasi.   

Beberapa isu panas ini, memang menjadi agenda perbincangan publik yang tiada habisnya. Namun, satu hal yang jelas: apapun yang terjadi di luar sana, baik isu politik, pilgub DKI Jakarta dengan tokoh Ahok yang kontroversial, maupun kesaksian Haris terkait kicauan suap oleh (alm) Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba yang menyeret sejumlah aparat dari Kepolisian dan BNN, semuanya tidaklah terlalu penting! 

Yang terpenting adalah bagaimana respon Anda terhadap apa yang terjadi di luar sana. Keadaan menjadi lebih baik atau sebaliknya, tergantung dari reaksi Anda! Anda adalah pemegang kendali atas segala informasi yang terbentang di depan mata. Anda adalah raja yang berkuasa penuh atas segala reaksi yang akan Anda lakukan! Respon Anda hari ini, menentukan keadaan Anda esok hari.  

Tidak ada komentar: