Selasa, Desember 20, 2016

Ketika Media Dalam Genggaman Kita

Berita dan informasi, lebih tepatnya: postingan (tulisan, gambar dan film/video) dari beragam sumber, kini dengan mudah memasuki ruang-ruang pribadi kita yang hidup di era persaingan teknologi informasi yang ditandai dengan perebutan pasar gadget yang teramat sengit, bahkan semakin menggila. Persaingan yang sama, juga merambah wilayah konten, yang membuat 'mabuk' siapapun.  Di mana posisi Anda berdiri saat ini?

Terus terang, sebagian orang tua yang terlahir dari generasi The Beatles, Rolling Stone atau KoesPlus, ada yang mulai merasa miris, jengah, bahkan kuatir dan merisaukan, jika anak-anak mereka mulai asosial, individualistik, cenderung berasyik masyuk dengan game, hingga tak lagi kenal waktu siang-malam. 

Sementara mereka sendiri, juga mabuk dengan media sosial, yang menyebabkan dirinya merasa galau jika bepergian tanpa gadget, biar sebentar saja. Betapa tidak, media sosial memang bak sihir yang menghipnotis! 

Apalagi konten yang beredar akhir-akhir ini. Isu-isu politik menjadi perbincangan orang-orang di pinggir jalan. Sebut saja sikap Presiden yang ambigu menghadapi krisis politik dalam kasus penistaan agama oleh gubernur DKI (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.


Isu semakin kencang hingga memunculkan friksi di kalangan para kyai yang berada di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia terkait kiprah seorang taipan yang berambisi menjadi RI-1 pada Pilpres mendatang. Dan hebatnya, sudah sedemikian jauh melangkah hingga 'merangkul' dan  menyambangi pesantren, kemudian berhasil didaulat pula sebagai ketua Yayasan Pondok Pesantren (YPP) seluruh Indonesia. Tahukah Anda, bagaimana keterikatan relasi santri tradisional dengan para gurunya? Di sinilah titik krusialnya!


Hingar bingar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 yang tinggal hitungan bulan, juga terasa dengan hadirnya konten berbau kampanye di jejaring sosial. 

Pada saat yang sama, persoalan serius yang mendesak di atasi, juga menerpa: bahwa kita menghadapi persoalan masuknya investasi asing yang disertai persyaratan ribuan (ada yang mengatakan ratusan ribu bahkan jutaan--belum ada konfirmasi) Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China ke Indonesia yang mengundang 'kegaduhan' di sana-sini. 

Pasalnya, tenaga kerja asing yang masuk itu, bukanlah untuk mengisi pekerjaan spesifik yang memerlukan keahlian khusus, tetapi para buruh, klerk, administrator, teknisi, bahkan tukang dan buruh kasar, yang sebenarnya banyak tersedia di tanah air. 

Entah apa yang ada dibenak para pengambil keputusan negeri ini, sehingga terkesan tidak peka terhadap kenyataan ini. Apakah ini konsekuensi dari era pasar bebas, dimana Indonesia turut menandatangani persetujuan pasar bebas Asia. Termasuk dan tidak terbatas kepada barang, tetapi juga tenaga kerja (?) Atau semata kebijakan politik yang absurd? Sementara, negara yang paling liberal sekalipun, seperti Amerika Serikat, masih menempatkan prioritas utama untuk memproteksi warganegaranya sendiri.  

Syakir Wahiyib (tengah),
tergolong tidak biasa di kalangan
pemimpin ISIS yang  dengan
berani tampil di medsos tanpa topeng
Semua berita dan info itu, serta isu-isu dibaliknya, dengan mudah berseliweran di depan mata. Beragam posting dengan aneka bumbunya, keluar masuk ke dalam relung-relung pribadi, sehingga bukan aneh jika sebagian bisa mengganggu selera makan kita. 

Lihat saja, bagaimana peredaran tayangan mengerikan dari mereka yang  mengaku Islam (mengusung bendera ISIS), mengeksekusi tawanannya dengan cara yang diluar perikemanusiaan. Mereka sengaja mempertontonkan pemancungan tawanan bak menyembelih hewan ternak, seolah ingin menyampaikan pesan: "Jangan macam-macam dengan kami!"   

Demikian pula, tayangan pembantaian ratusan ribu Muslim Rohingya di Myanmar oleh tentara yang didukung para pemuka agama mayoritas, hingga kini sungguh sulit dicerna dengan kesadaran kita. 

Betapa mereka yang tampak bijak dan santun, yang mengenakan pakaian dengan simbol-simbol agama, pada situasi tertentu, ternyata bisa lebih rendah selera nafsunya dari binatang? 

Konten di media sosial, ibarat pedang bermata dua. Sisi sebelah bagus dan sangat bagus. Tetapi pada sisi lain, ada yang jelek bahkan boleh jadi hanya pantas dimuntahkan ke bak sampah. 

Yang bagus-bagus, tak perlulah dibahas lagi. Tetapi, yang masuk kategori jelek, ialah berita abu-abu yang dibuat berdasarkan sedikit fakta plus bumbu (artinya, penulis tidak mendapat langsung dari sumbernya),  kemudian ditambah stigmatisasi. Maka jadilah berita pelintiran yang cenderung menghasut, defamation dan bahkan fitnah. 

Info setengah benar, ditambah opini dan interpretasi bercampur aduk menjadi satu. Dipastikan membuat orang-orang awam (seperti saya) kelimpungan, karena tak menemukan arah dari semua simpul wacana ini.

Kontradiksi antar pernyataan, tak lagi membuat kita kaya dan bijak, sebaliknya menyeret kita pada kekerdilan pemihakan. 

Tidak hanya politik, perkara agama dan moral perilaku penganutnya, seolah melekat erat bak ritual yang tak lepas dari dogma. Ujungnya, bisa mengubah Cinta menjadi Benci. Atau sebaliknya, seolah kalau Anda tidak setuju, atau tidak berpendapat, atau tidak me-reposting, maka Anda kafir atau tidak termasuk bagian dari orang-orang yang beriman. Whaaat?? 

Pada kenyataannya, problematika manusia hidup, tidaklah melulu hitam-putih. Juga tidak hanya perkara baik dan buruk, benar dan salah, surga dan neraka. But, there is something in between. Diantara asin dan manis, ada juga yang pahit, kecut, dan hambar. Ketika Anda memposting atau me-reposting sesuatu, akan ada orang-orang di seberang sana yang kemudian merasa lega hati, tetapi bisa juga merasa sesak jantungnya!        

Pada dasarnya, saat ini kita berada di dalam pusaran deras keberlimpahan informasi ketika semua orang memiliki media dalam genggaman tangan. Disayangkan, tak semua orang memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.              

Tidak ada komentar: