Sidang
pembaca yang terhormat.
Salah satu
agenda besar bangsa kita sepanjang medio April --Juli tahun ini, adalah
Pemilihan Umum. Pemilu, diyakini sebagai cara yang paling beradab dalam proses
penggantian kekuasaan. Baik kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
|
Marhaban ya Ramadhan
(lintas.me) |
Kita baru
saja menuntaskan pemilu legislatif, di mana rakyat telah menentukan pilihannya.
Namun, ini baru tahap awal, karena puncaknya adalah agenda Pemilihan Presiden
RI (periode 2014-2019), yang akan ditentukan pada Pilpres 9
Juli 2014 mendatang.
Tak ayal
lagi, suhu politik yang semula tenang dan damai, kini semakin memanas. Bahkan
cenderung semakin menjurus kepada praktik-praktik politik yang tidak sehat.
Baik di tingkat elit partai, tim sukses dari kedua kubu calon presiden dan
calon wakil presiden, hingga para pendukung dan penggembira yang berada di
kantung-kantung basis suara. Tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, Ambon, Bali, Flores, Aceh, Riau dan lainnya sampai
ke pelosok desa-desa terpencil, terimbas dengan suhu politik Pilpres yang kian
meruncing.
Tidak
sedikit orang yang mengambil prakarsa menjadi penggembira dengan menari-nari
dari genderang yang ditabuh para elit politik di Jakarta. Tidak puas dengan
hanya menari, bahkan kemudian mereka melibatkan dirinya (baik secara sukarela
maupun dengan menerima bayaran) terjun lebih jauh ke dalam kancah ‘perang’ urat
syaraf yang merusak nilai, etika, norma-norma di dalam sendi-sendi kehidupan
kita bermasyarakat.