Kamis, Mei 01, 2014

Appreciative Inquiry, Metode Alternatif Untuk Kegagalan Pembangunan Daerah

menggali kekuatan,
bukan mencari kesalahan
SERING  terjadi proyek pembangunan yang digagas suatu Pemerintah Daerah harus berakhir sia-sia. Padahal, sudah dirancang bagus serta menelan biaya cukup besar. Dan hasilnya? Tidak sesuai harapan. Paling banter masuk kategori: ‘biasa-biasa saja’ tidak memberikan dampak signifikan terhadap perubahan yang diinginkan. 

Pada setiap tahun anggaran, bisa kita saksikan bagaimana undangan pekerjaan (proyek) terpampang memenuhi halaman koran-koran. Tender digelar dengan judul yang sama dengan kegiatan tahun-tahun sebelumnya (boleh jadi dengan penekanan dan fokus yang berbeda).

Maka, terjadi kesibukan sesaat. Berbagai ‘manuver’ hubungan relasional berlangsung sangat intensif diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Dan agenda paling hot adalah perbincangan soal share dan fee, yang dibahas terang-terangan, nyaris tanpa rasa malu (bermain-main dengan uang rakyat yang dipungut dari pajak).
 
Begitu seterusnya, dari tahun ke tahun kesibukan yang sama berulang. Di luar arena, masyarakat --kepada siapa proyek-proyek itu diperuntukan— hanya menjadi penonton. Kehidupan mereka tak banyak berubah. Tetap marjinal dan berkutat di lingkaran kemiskinan. Inilah perkara yang dianggap lumrah di lingkungan Pemerintah Daerah karena intervensi pembangunan selama ini, tidak memiliki elan vital yang berakar dari envision seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Tidak hanya pada proyek-proyek non fisik, seperti program-program ketahanan pangan, pemberdayaan usaha kecil, tetapi juga terjadi pada proyek vital, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.

Tak heran jika kemudian muncul banyak kritik dan skeptisisme terhadap hasil-hasil pembangunan yang selama ini telah dicapai. Hasil survey UNDP menunjukkan: Human Development Index Indonesia berada pada urutan ke-121 dari 186 negara (hampir sama dengan Vanuatu, Nicaragua, Honduras) sementara Corruption Index berada pada tingkat 114 (mendekati Vietnam). Sedemikian terpuruknya kualitas hidup kita dibandingkan dengan negara-negara lain....


Sudah terlalu banyak perbincangan, yang mengupas sebab-sebab keterpurukan. Tetapi terlalu sedikit yang sampai pada tahap implementasi. Kini saatnya kita mengubah cara-cara lama dengan sesuatu yang lebih kuat dampaknya dalam membangun komunitas.

Pendekatan Berbasis Aset
ACCES (The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) , sebuah lembaga yang diprakarsai atas kerjasama pemerintah Australia dan Indonesia melalui Australian Agency for International Development (AusAID), belum lama ini, menawarkan gagasan yang menarik dalam upaya pengembangan komunitas di tingkat kabupaten. 

ACCESS yang sudah berkiprah sejak 2002 di sejumlah kabupaten termiskin di Indonesia itu (khususnya Indonesia Timur), memperkenalkan model Asset Based Community Development (ABCD) melalui pendekatan Appreciative Inquiry.

Meskipun skala kegiatannya masih terbatas, tetapi pengenalan metode appreciative Inquiry telah menanamkan kesadaran baru terhadap segala kemungkinan, yang belum terbayangkan. Ia menumbuhkan tunas-tunas gagasan perubahan di tingkat  kabupaten. 

lingkaran spiral proses AI
ABCD adalah proses mobilisasi dan pengorganisasian suatu komunitas untuk menciptakan perubahan yang diinginkan. Gord Cunningham dan Alison Mathie dari Coady International Institute dalam seminar di Bangkok, belum lama ini, mengungkapkan: ABCD didasarkan pada prinsip-prinsip menghargai (appreciating) dan memobilisasi seluruh talenta, kecakapan, keterampilan individu dan komunitas sebagai aset yang paling berharga.  Dan itu,  menjadi landasan berpijak dalam menciptakan masa depan impian.

Pendekatan ini melihat pentingnya modal sosial sebagai sebuah aset. Itulah mengapa ABCD memberikan perhatian kepada kekuatan asosiasi dan jaringan informal di masyarakat. Dan hubungan yang terbina diantara asosiasi-asosiasi dengan institusi-institusi atau kelembagaan eksternal lainnya. ABCD menggunakan pilihan-pilihan terbaik yang berbasis sumberdaya masyarakat itu sendiri. Pendekatan partisipatif terhadap pembangunan didasarkan pada pemberdayaan dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembangunan.

Di  dalam proses ABCD juga terjadi penguatan masyarakat madani (civil society), yang melibatkan penduduk sebagai warganegara yang mempunyai hak dan tanggungjawab. Tidak hanya semata sebagai objek dalam pembangunan. ABCD juga membantu kinerja Pemerintah Daerah menjadi lebih efektif dan responsif terhadap perubahan.

Appreciative Inquiry (AI)

generic AI process
Pendekatan yang digunakan dalam ABCD adalah Appreciative inquiry. Suatu metoda tentang tangga perubahan bertahap menyerupai gerak melingkar spiral, mulai dari: tahap pencarian, membangun impian, merancang dan implementasi atau dikenal dengan rumus 4 D (discover, dream, design and deliver).


Istilah appreciative menurut World English Dictionary (1999) adalah: suatu perasaan atau ekspresi penghormatan; suatu opini menyenangkan mengenai sesuatu; menyukai dan mengakui kualitas sesuatu; pemahaman sepenuhnya terhadap arti penting sesuatu; dan suatu peningkatan nilai, khususnya yang sudah terjadi. Sedangkan Inquiry diartikan sebagai: penjelajahan dan pencarian; mengajukan pertanyaan-pertanyaan; terbuka pada kemungkinan potensi-potensi baru. Persamaan katanya adalah discovery, search  dan systematic exploration, study.
Apprecitaive Inquiry (AI) adalah tentang: mencari, mengakui dan memberi makna pada apa yang terbaik di masa lalu serta apa saja yang sekarang sudah/sedang ‘berjalan’ dengan baik (discover).

‘’Keberhasilan masa lalu digunakan sebagai
titik beranjak dalam menggambarkan suatu
kondisi ideal yang dikehendaki terjadi
di masa depan (dream)’’.


Tentu saja, masa depan yang diinginkan harus dirancang secara visioner melalui rencana tindak dan tahapan kerja bersama dengan cara-cara yang lebih bernas, segar dan jitu (design). Selanjutnya diimplementasikan ke dalam tindakan nyata (deliver) yang merujuk pada kompetensi dan pengalaman yang pernah dilakukan.

Pandangan logis menunjukkan, jika sesuatu beranjak dari eksisting pengalaman yang dimiliki, akan membangkitkan rasa percaya diri komunitas tersebut. Maka, kabupaten impian pun menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi (destiny).

Apresiasi Bukan Kritik

apresiasi, bukan kritik
Apresiasi adalah proses penguatan. Tidak sama dengan kritik, yang mendasarkan pada skeptisisme dan keraguan. Apresiasi lahir dari pemahaman dan empati (terhadap rakyat) mengenai pendirian, kepercayaan dan keyakinan mereka. Dari proses penguatan itulah kemudian mengalir kekayaan pengalaman dan keseluruhan kekuatan yang dimiliki.

 Appreciative Inquiry bekerja dengan asumsi bahwa lingkungan ini tercipta untuk mendukung sistem kehidupan. Dan selalu tersedia kapasitas yang sedang berjalan dengan baik. Untuk itu, proses AI menggunakan 4  penyelidikan dan penajaman dari pentahapan yang saling mengait.

Gambaran sederhananya: Pertama, tahap DISCOVER: melihat dan mengidentifikasi suatu
proses yang sudah dan sedang berjalan dengan baik. Kedua DREAM: melihat gambaran ke masa depan dari proses tersebut yang mungkin bekerja dengan baik di masa yang akan datang. Ketiga, DESIGN: merencanakan dan memprioritaskan proses-proses apa yang mungkin bekerja dengan baik tersebut dan terakhir adalah tahap DESTINY (or DELIVER): adalah implementasi (eksekusi) dari rancangan (design) tersebut.


Gagasan penting yang ditawarkan AI adalah lebih baik mengembangkan apa yang sudah berjalan dengan baik di dalam suatu masyarakat, komunitas /organisasi, ketimbang mencoba memperbaiki masalah. Ini berlawanan dengan cara lama yang cenderung mencari penyelesaian masalah (problem solving).

AI memusatkan pada keberhasilan apa yang pernah terjadi.  Dan apa yang sekarang berjalan dengan baik, kemudian memperkuatnya. Hasilnya, ternyata memberikan dampak yang melebihi dari penyelesaian masalah itu sendiri.

Joe Hall dan Sue Hammond (dari Universitas Columbia dan konsultan pada Kodiak Consulting), menegaskan perbedaan cara pandang proses tradisional dengan Appreciative Inquiry: 


Traditional Process

Appreciative Inquiry
Mendefinisikan masalah
Mencari solusi yang telah ada
Memperbaiki apa yang salah
Memperkuat apa yang bekerja
Fokus pada apa yang kurang
Fokus pada tenaga yang menjadikan hidup
Apa masalah anda?
Apa yang terbaik di sini?

Meskipun pada mulanya metode AI yang dikembangkan Dr. David L. Cooperrider dari Case Western Reserve University dimaksudkan untuk pengembangan organisasi, tetapi kini metode AI telah banyak digunakan oleh berbagai organisasi. Dan telah banyak dipraktikan di negara maju, dengan perkembangan yang semakin jelas, bahwa metode praktis AI menawarkan suatu cara pandang yang berbeda dalam melihat dunia (lingkungan sekitar). Ia membuka sisi lain dalam cara berpikir, bertindak dan menjadikan apa yang dikehendaki.

Seorang rekan yang baru-baru ini memperoleh penghargaan dari Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai The Best Practitioner of Change, mengungkapkan keunggulan Appreciative Inquiry dengan sebutan ‘Menggali Kekuatan Kita’ (MKK). Dia berkesimpulan bahwa ‘’MKK selalu bertujuan menggali apa yang membuat kita lebih hidup bagi anak-anak kita, keluarga kita, organisasi kita maupun masyarakat kita. MKK pasti bekerja karena dunia ini dirancang untuk mendukung kehidupan kita’’ ***

Tidak ada komentar: