Jumat, April 25, 2014

Patgulipat Di Balik Kasus Hadi Poernomo: Benarkah Upaya Gembosi Sumber Dana Jokowi?

Gedung KPK
(foto:hukumonline.com)
Sebuah drama yang kental bernuansa politik, kembali di gelar di Jakarta. Berbagai peristiwa besar, selalu dimaknai dengan aroma yang terkait dengan perebutan kekuasaan menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli  2014 mendatang.

Penetapan Hadi Poernomo (HP), mantan Kepala Badan Pengawas Keuangan (BPK) ibarat tragedi. Betapa tidak, tanggal 21 April 2014 adalah hari ulang tahunnya yang ke-67 tahun. Di hari yang sama, dia mengakhiri tugasnya sebagai ketua BPK-RI. Pukul 11.00 siang  ia melakukan prosesi perpisahan sederhana di kantor BPK. Sore harinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dia  sebagai tersangka dalam kasus pajak. 

Penetapan HP  sebagai tersangka, sangat mengejutkan. Dan mengundang pertanyaan dari berbagai kalangan. Mengapa HP jadi tersangka? Apakah karena BPK sebelumnya melakukan audit terhadap kinerja KPK, yang dari sisi keuangan terbilang mengecewakan? Muncul pula beragam telisik dan analisis, apa sebenarnya skenario besar yang terjadi dibalik kasus ini?   

Spekulasi pun merebak ke berbagai arah. Berikut info telisik dari berbagai sumber terpercaya. Bahwa tak dipungkiri, kasus ini menjurus ke pertarungan perebutan kekuasaan menjelang Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Benarkah? 

Hadi Poernomo
Bahwa menurut Abraham Samad (ia baru saja dieliminasi         dari bakal Cawapres Jokowi),       Hadi Poernomo diduga          kuat  melakukan korupsi pajak BCA.
 
Pasalnya, pada 12 Juli 2003, bank BCA -- perusahaan  milik    grup Djarum dan Salim itu-- mengajukan keberatan atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun. Keberatan pajak BCA diajukan kepada           Direktorat Pajak Penghasilan (PPH), yang kemudian ditelaah   dan didalami selama setahun.....

Direktorat PPH kemudian memutuskan menolak pengajuan keberatan pajak BCA Rp 375      miliar itu. Namun tiba-tiba, pada 15 Juli 2004, Hadi Purnomo yang ketika itu menjabat Dirjen     Pajak, memerintahkan agar menerima keberatan pajak BCA.

Hadi Purnomo memerintahkan Dirjen PPH melalui suatu Nota Dinas agar menerima pengajuan keberatan pajak BCA. Nota Dinas itulah, yang kemudian menjadi bukti KPK untuk                 menjadikan Hadi Purnomo sebagai tersangka. KPK lalu menyatakan, dengan diterimanya       keberatan      pajak BCA itu, maka negara dirugikan sebesar Rp 375 miliar (potensi pajak        yang hilang). KPK lantas menyebut ada petinggi BCA yang juga akan diseret terkait kasus ini.

Imbas ke Jokowi

Apabila nanti terbukti bahwa BCA punya utang pajak Rp 375 miliar yang belum dibayarkan,    maka total utang pajaknya maksimal Rp 1,875 triliun. Cara menghitungnya sederhana, utang   pokok pajak Rp 375 miliar + denda maksimal 4 kali utang pokok Rp 1,5 triliun = Rp 1,875         triliun.

Angka Rp 1,875 triliun itu cukup besar untuk menggembosi arus kas BCA yang labanya Rp 14 triliun di tahun 2013. Maka pihak-pihak yang akan terkena imbasnya adalah Jokowi dan PDIP, mengapa?

Grup Djarum dan Salim memang menjadi pihak yang menjadi donatur Jokowi untuk Pilpres 2014. Dan kalau melihat Abraham Samad yang bergerak membuka kasus BCA ini, tentu ada    motif, mengingat Samad kandas jadi Cawapres Jokowi.

Namun, melihat kasus pajak BCA ini terjadi pada tahun 2004 (pemerintahan Megawati), maka jelas, PDIP juga menjadi sasaran dari kasus ini. Pertanyaannya kemudian, siapa yang bermain dalam kasus BCA ini? Lalu kemana isu ini akan digiring? Siapa target KPK berikutnya?

Target  KPK Berikutnya

Target KPK berikutnya, disebut-sebut seorang petinggi BCA. Ia adalah Raden Pardede yang menjabat sebagai Komisaris BCA. Raden Pardede menjabat sebagai Komisaris BCA pada 6 Mei 2004, dua bulan sebelum Hadi Purnomo memuluskan keberatan pajak BCA.
Abraham Samad
(foto: tempo.co)

Ketika ditunjuk jadi Komisaris BCA, Raden Pardede juga menjabat sebagai Staf Khusus Menko Perekonomian (2004 - 2005). Bersamaan itu, Raden Pardede menjabat sebagai Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan (2002 - 2004). Raden Pardede juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PPA (2004 - sekarang).

Bisa dibayangkan, dengan masuk jadi Komisaris BCA per 6 Mei 2004, Raden Pardede juga menjabat beberapa posisi sekaligus. Nah, lalu kenapa BCA  memasukkan Raden Pardede sebagai Komisaris? Karena pemerintah memiliki saham di      BCA hingga akhir 2004.

Posisi saham Pemerintah di BCA melalui IBRA atau BPPN (Badan Penyehatan Perbankan    Nasional) sebesar 5,02%. Pada tahun 2004, BPPN dibubarkan, sehingga sisa saham             pemerintah dikelola di bawah PPA dimana Raden Pardede sebagai Wakil Dirutnya.

Dari sini, mulai terlihat konektivitasnya. Saham pemerintah di BCA yang belum berhasil dijual  oleh BPPN mesti dialihkan ke PPA untuk dikelola. Sayangnya, saat itu BCA masih punya         kredit macet (NPL/Non Performing Loan) sebesar Rp 5,7 triliun yang terkena pajak Rp 375      miliar.

Pada tahun 2004, setelah keberatan pajak Rp 375 Miliar dimuluskan, laba BCA Rp 3,196         triliun. Apabila tidak dimuluskan keberatan pajaknya, maka Laba 3,196 triliun dikurangi pajak Rp 375 miliar sebesar Rp 2,821 triliun.

Atas alasan itu, BCA kemudian menunjuk Raden Pardede sebagai Komisaris BCA pada 6    Mei 2004. Raden Pardede yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan, berada di atas Hadi Purnomo. Direktoran Jenderal Pajak memang         secara struktural berada di bawah Kementerian Keuangan.

Komisaris BCA

Raden Pardede
(foto:jpnn.com)
Dengan memasukkan Raden Pardede sebagai Komisaris   BCA, maka Kementerian Keuangan bisa melobi Dirjen Pajak Hadi Purnomo. Duet Raden Pardede dan HPkemudian         memangkas pajak BCA Rp 375 miliar untuk meningkatkan    harga   jual saham pemerintah di BCA.

Berapa keuntungan yang diterima Raden Pardede dan Hadi Purnomo dari BCA ini? Ini yang menarik. Tentu KPK yang       tahu. Tapi umumnya skema seperti ini dapat fee 10% dari     kanan (PPA) dan 10% dari kiri (BCA). 

Jika diasumsikan duet Raden Pardede dan Hadi Purnomo dapat 20%, berarti masing-masing kantongi Rp 37,5 miliar. Nah, jadi sudah jelas sekali konektivitas dan siapa para pemainnya.  Setelah Hadi Purnomo, target selanjutnya adalah Raden Pardede.

Pertanyaan lanjutannya, apa motif dari dilancarkannya kasus ini menjelang Pilpres 2014?        Seperti diketahui, Grup Djarum dan Salim, pemilik BCA adalah donatur Jokowi, sehingga       motifnya adalah menghajar sumber pendanaan Jokowi. Lalu, duet Raden Pardede dan Hadi   Poernomo terjadi pada akhir pemerintahan Megawati, tentu PDIP juga menjadi sasaran.

Apalagi, Raden Pardede memang anggota PDIP, sehingga upaya mengangkat korupsi            ‘Merah’ jelas terlihat disini. Raden Pardede juga menjabat sebagai Sekretaris KKSK yang berarti ada motif kasus Century juga dalam kasus pajak BCA ini. Tentu saja, salah satu senjata     utama ‘Kuning’ dan ‘Merah’ untuk menghajar ‘Biru’, umumnya memakai kasus Century. Tapi itu dulu, ketika Biru masih berkuasa dimana kompetitornya adalah Kuning dan Merah menyerang Biru dengan Century.

Kini, peta berubah. Merah ada di atas, yang sudah pasti menjadi musuh bersama antara Biru  dan Kuning. Kasus pajak BCA (Grup Djarum dan Salim) digunakan untuk menghantam sumber pendanaan di belakang Jokowi. ****
 (diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: