Gedung KPK (foto:hukumonline.com) |
Penetapan Hadi Poernomo (HP), mantan Kepala Badan Pengawas Keuangan (BPK) ibarat tragedi. Betapa tidak, tanggal 21 April 2014 adalah hari ulang tahunnya yang ke-67 tahun. Di hari yang sama, dia mengakhiri tugasnya sebagai ketua BPK-RI. Pukul 11.00 siang ia melakukan prosesi perpisahan sederhana di kantor BPK. Sore harinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dia sebagai tersangka dalam kasus pajak.
Penetapan HP sebagai tersangka, sangat mengejutkan. Dan mengundang pertanyaan dari berbagai kalangan. Mengapa HP jadi tersangka? Apakah karena BPK sebelumnya melakukan audit terhadap kinerja KPK, yang dari sisi keuangan terbilang mengecewakan? Muncul pula beragam telisik dan analisis, apa sebenarnya skenario besar yang terjadi dibalik kasus ini?
Spekulasi pun merebak ke berbagai arah. Berikut info telisik dari berbagai sumber terpercaya. Bahwa tak dipungkiri, kasus ini menjurus ke pertarungan perebutan kekuasaan menjelang Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Benarkah?
Hadi Poernomo |
Pasalnya, pada
12 Juli 2003, bank BCA -- perusahaan milik grup Djarum dan Salim itu-- mengajukan keberatan atas pengenaan pajak sebesar
Rp 375 miliar pada NPL (kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun. Keberatan pajak
BCA diajukan kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPH), yang kemudian ditelaah dan didalami selama setahun.....
Direktorat
PPH kemudian memutuskan menolak pengajuan keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu.
Namun tiba-tiba, pada 15 Juli 2004, Hadi Purnomo yang ketika itu menjabat
Dirjen Pajak, memerintahkan agar menerima keberatan pajak BCA.
Hadi Purnomo
memerintahkan Dirjen PPH melalui suatu Nota Dinas agar menerima pengajuan keberatan
pajak BCA. Nota Dinas itulah, yang kemudian menjadi bukti KPK untuk menjadikan
Hadi Purnomo sebagai tersangka. KPK lalu menyatakan, dengan diterimanya keberatan pajak BCA itu, maka negara dirugikan sebesar Rp 375 miliar (potensi
pajak yang hilang). KPK lantas menyebut ada petinggi BCA yang juga akan diseret
terkait kasus ini.
Imbas ke Jokowi
Apabila
nanti terbukti bahwa BCA punya utang pajak Rp 375 miliar yang belum dibayarkan, maka total utang pajaknya maksimal Rp 1,875 triliun. Cara menghitungnya
sederhana, utang pokok pajak Rp 375 miliar + denda maksimal 4 kali utang pokok
Rp 1,5 triliun = Rp 1,875 triliun.
Angka Rp
1,875 triliun itu cukup besar untuk menggembosi arus kas BCA yang labanya Rp 14
triliun di tahun 2013. Maka pihak-pihak yang akan
terkena imbasnya adalah Jokowi dan PDIP, mengapa?
Grup Djarum dan Salim memang menjadi pihak yang menjadi donatur Jokowi
untuk Pilpres 2014. Dan kalau melihat Abraham Samad yang bergerak membuka kasus
BCA ini, tentu ada motif, mengingat Samad kandas jadi Cawapres Jokowi.
Namun, melihat kasus pajak BCA ini terjadi pada tahun 2004 (pemerintahan
Megawati), maka jelas, PDIP juga menjadi sasaran dari kasus ini. Pertanyaannya
kemudian, siapa yang bermain dalam kasus BCA ini? Lalu kemana isu ini akan
digiring? Siapa target KPK berikutnya?
Target KPK Berikutnya
Target KPK berikutnya, disebut-sebut seorang petinggi BCA. Ia adalah Raden
Pardede yang menjabat sebagai Komisaris BCA. Raden Pardede menjabat sebagai
Komisaris BCA pada 6 Mei 2004, dua bulan sebelum Hadi Purnomo memuluskan
keberatan pajak BCA.
Abraham Samad (foto: tempo.co) |
Ketika ditunjuk jadi Komisaris BCA, Raden Pardede juga menjabat sebagai
Staf Khusus Menko Perekonomian (2004 - 2005). Bersamaan itu, Raden Pardede
menjabat sebagai Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan (2002 - 2004).
Raden Pardede juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PPA (2004 - sekarang).
Bisa dibayangkan, dengan masuk jadi Komisaris BCA per 6 Mei 2004, Raden
Pardede juga menjabat beberapa posisi sekaligus. Nah, lalu kenapa BCA memasukkan Raden Pardede sebagai Komisaris? Karena pemerintah memiliki saham di BCA hingga akhir 2004.
Posisi saham Pemerintah di BCA melalui IBRA atau BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional) sebesar 5,02%. Pada tahun 2004, BPPN dibubarkan, sehingga
sisa saham pemerintah dikelola di bawah PPA dimana Raden Pardede sebagai Wakil
Dirutnya.
Dari sini, mulai terlihat konektivitasnya. Saham pemerintah di BCA yang
belum berhasil dijual oleh BPPN mesti dialihkan ke PPA untuk dikelola. Sayangnya,
saat itu BCA masih punya kredit macet (NPL/Non Performing Loan) sebesar Rp 5,7
triliun yang terkena pajak Rp 375 miliar.
Pada tahun 2004, setelah keberatan pajak Rp 375 Miliar dimuluskan, laba BCA
Rp 3,196 triliun. Apabila tidak dimuluskan keberatan pajaknya, maka Laba 3,196
triliun dikurangi pajak Rp 375 miliar sebesar Rp 2,821 triliun.
Atas alasan itu, BCA kemudian menunjuk Raden Pardede sebagai Komisaris BCA
pada 6 Mei 2004. Raden Pardede yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil
Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan, berada di atas Hadi Purnomo. Direktoran
Jenderal Pajak memang secara struktural berada di bawah Kementerian Keuangan.
Komisaris BCA
Raden Pardede (foto:jpnn.com) |
Dengan memasukkan Raden Pardede sebagai Komisaris BCA, maka Kementerian
Keuangan bisa melobi Dirjen Pajak Hadi Purnomo. Duet Raden Pardede dan HPkemudian memangkas pajak BCA Rp 375 miliar untuk meningkatkan harga jual saham pemerintah di BCA.
Berapa keuntungan yang diterima Raden Pardede dan Hadi Purnomo dari BCA
ini? Ini yang menarik. Tentu KPK yang tahu. Tapi umumnya skema seperti ini
dapat fee 10% dari kanan (PPA) dan
10% dari kiri (BCA).
Jika diasumsikan duet Raden Pardede dan Hadi Purnomo dapat 20%, berarti
masing-masing kantongi Rp 37,5 miliar. Nah, jadi sudah jelas sekali
konektivitas dan siapa para pemainnya. Setelah Hadi Purnomo, target selanjutnya
adalah Raden Pardede.
Pertanyaan lanjutannya, apa motif dari dilancarkannya kasus ini menjelang
Pilpres 2014? Seperti diketahui, Grup
Djarum dan Salim, pemilik BCA adalah donatur Jokowi, sehingga motifnya adalah
menghajar sumber pendanaan Jokowi. Lalu, duet Raden Pardede dan Hadi Poernomo
terjadi pada akhir pemerintahan Megawati, tentu PDIP juga menjadi sasaran.
Apalagi, Raden Pardede memang anggota PDIP, sehingga upaya mengangkat
korupsi ‘Merah’ jelas terlihat disini. Raden Pardede juga menjabat sebagai
Sekretaris KKSK yang berarti ada motif kasus Century juga dalam kasus pajak BCA
ini. Tentu saja, salah satu senjata utama ‘Kuning’ dan ‘Merah’ untuk menghajar ‘Biru’,
umumnya memakai kasus Century. Tapi itu dulu, ketika Biru masih berkuasa dimana
kompetitornya adalah Kuning dan Merah menyerang Biru dengan Century.
Kini, peta berubah. Merah ada di atas, yang sudah pasti menjadi musuh
bersama antara Biru dan Kuning. Kasus pajak BCA (Grup Djarum dan Salim) digunakan
untuk menghantam sumber pendanaan di belakang Jokowi. ****
(diolah dari berbagai
sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar