Minggu, April 06, 2014

Gerakan Mengubur Kasus Century

Bank Century 
(foto: cahayareformasi.com)
Oleh: Bambang Soesatyo

Beredar isu miring, Istana minta agar kasus Century kelar sebelum pemerintahan ini berakhir. Ditawarkan, Boediono mundur, tapi Century tutup buku. Kalau informasi itu benar, harus dilawan. Tidak boleh lagi bangsa ini disandera oleh kasus-kasus yang tidak tuntas karena praktik politik transaksional.

Kesan adanya perlawanan yang kuat, termasuk berbagai gerakan yang dibungkus dalam bentuk seminar dan diskusi ekonomi yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, sulit dihindari. Mereka mencoba melindungi pelaku utama dari skandal keuangan terbesar pasca reformasi tersebut dengan berbagai argumen ekonomi yang mengelabui dan membodohi rakyat.

Entah kenapa, mereka terus menjegal kehadiran Boediono ke DPR  hingga mengaburkan substansi bahwa kebijakan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) maupun bailout pada Bank Century itu untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Hebatnya lagi, tanpa malu-malu kini mereka berusaha membalikan fakta-fakta penyimpangan dan keganjilan yang terjadi, baik dalam proses pemberian FPJP maupun bailout kepada Bank Century.

Kerusuhan menentang kasus Century
(foto:demotix.com)
Mereka lupa bahwa KPK telah meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan karena adanya tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan BPK telah menghitung besarnya kerugian negara. Tidak hanya Rp.6,76 triliun. Tapi ditambah FPJP Rp.689,3 miliar. Sehingga total kerugian negara Rp.7,4 triliun.

Harus diakui, proses hukum kasus Bank Century di KPK memang berjalan lambat.  Namun belakangan ini masyarakat melihat kemajuan luar biasa. Setidaknya diawali dengan penetapan tersangka dua mantan deputi Gubernur BI: Budi Mulya (BM) sebagai mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI, dan Siti Chalimah Fadjriah (SCF), mantan Deputi IV Bidang Pengelolaan Moneter Devisa BI. Keduanya diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pencairan FPJP dan dana bailout Century Rp 6,7 triliun......



Memang tampak ganjil mengingat kepemimpinan di bank sentral adalah kolektif kolegial dan posisi dua orang tersebut hanyalah tingkat pelaksana. Bukan penentu kebijakan, karena penentu kebijakan adalah Dewan Gubernur. Jadi seharusnya seluruh Dewan Gubernur, termasuk Gubernur BI, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab mendapat status sama dengan BM maupun SCF. Namun, biarlah KPK yang menjawab pertanyaan dan keheranan publik itu.

Kemajuan lanjutan juga terlihat pada langkah KPK memeriksa mantan Menkeu Sri Mulyani di Washington AS. Dia diperiksa dalam kapasitas sebagai ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Rangkaian hasil pemeriksaan ini sangat produktif. Bahkan, saya menduga jika BAP Srimulyani kelak dibuka di pengadilan, publik pasti akan geger karena konon menyentuh nama kramat.


KPK juga sudah menggeledah markas BI dan  menyita sejumlah dokumen, memeriksa puluhan saksi termasuk Jusuf Kalla serta  meminta pendapat ahli. Lalu, apakah kita masih bebal dan berkilah bahwa kebijakan pemberian FPJP dan bailout adalah perbuatan yang mulia? Masihkah kita tidak malu mengatakan bahwa kebijakan tersebut untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia?

Seperti kita ketahui hampir lima tahun sudah mega skandal penyelamatan Bank Century  mengemuka di ruang publik. Selama hampir empat tahun sejak Rapat Paripurna DPR awal 2010 yang memerintahkan proses hukum atas kasus tersebut, keputusan politik itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Rakyat melihat sendiri bahwa proses hukum atas kasus  itu jalan di tempat alias tanpa kemajuan signifikan. Akibatnya, muncul kesan bahwa pemerintah dan institusi penegak hukum tidak memiliki kemauan politik menuntaskan kasus tersebut.

Terlebih inisiatif untuk percepatan proses hukum kasus itu selalu ditentang oleh kekuatan politik tertentu. Contoh, tiap kali dimunculkan inisiatif bagi perpanjangan masa tugas Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus tersebut, selalu saja muncul perlawanan.

foto: hukum.kompasiana.com
Inisiatif Timwas DPR untuk memanggil dan mendengarkan keterangan dari pihak lain termasuk Boediono yang relevan pun seringkali dicibir. Terkesan, ada ketakutan dari kalangan tertentu dalam menghadapi  kemungkinan kemunculan banyak fakta baru yang berkaitan dengan megaskandal tersebut. Sampai-sampai anggota Dewan Pertimbangan Presiden pun ikut-kutan carmuk atau cari muka dengan mengatakan bahwa pemanggilan Boediono ke DPR tidak relevan.

Ikut campurnya Watimpres, menolak pemanggilan mantan Gubernur BI Boediono oleh DPR, semakin mempertegas adanya pihak-pihak maha penting yang merasa ketakutan Boediono bicara terbuka di Timwas Century DPR. Itulah barangkali yang menjelaskan,  mengapa banyak pihak terus berupaya membangun opini bahwa kasus Bank Century di DPR telah selesai dan serahkan saja ke KPK.

Sebab, mereka tahu pemeriksaan di KPK sesuai aturan Hukum Acara, dilakukan tertutup. Jadi, satu-satunya cara untuk mengecoh publik, yaitu dengan menghalang-halangi DPR dalam menjalankan tugas konstitusionalnya yang diamanatkan UU melalui upaya  mengaburkan pemahaman bahwa kasus Century sudah ditangani secara hukum oleh KPK.

Padahal, pemanggilan Boediono tersebut secara substansial adalah dua hal yang berbeda dan tidak saling mempengaruhi. Pemanggilan DPR bertujuan meminta konfirmasi atas pernyataan yang berbeda sekaligus memperjelas siapa sesungguhnya aktor intelektual skandal Century. Dirinya sebagai Gubernur BI ketika itu, atau ada pihak lain yang lebih tinggi.

Lebih dari itu, kehadiran Boediono diharapkan dapat meluruskan spekulasi negatif yang berkembang di masyarakat. Timwas sangat menyayangkan sikap Boediono. Seharusnya tidak perlu takut datang ke DPR jika dirinya merasa benar tanpa harus dihadirkan secara paksa.

DPR memerlukan keterangannya untuk kepentingan bangsa dan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 72 dalam UU MD3 No.27 tahun 2009. Yakni, seorang pejabat negara bisa dipanggil paksa jika keterangannya diperlukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau menolak panggilan paksa, maka sesuai ayat (4) dan (5) sanksinya pejabat bisa disandera paling lama 15 hari sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Atau jika habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, pejabat dilepas dari penyanderaan demi hukum.

Keterangan Boediono penting dan sangat dibutuhkan, terutama terkait soal pernyataannya yang menuding bahwa pihak yang bertanggung jawab atas membengkaknya bailout Rp.632 miliar  menjadi Rp.6,76 triliun adalah LPS. Sementara LPS sesuai UU bertanggung jawab ke Presiden. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang Boediono menembak presiden dan ingin menyeret presiden dalam pusaran skandal Century? Apakah itu pertanda bahwa Boediono seperti juga halnya Srimulyani, tidak mau dikorbankan sendirian? Wallahualam.

Tindak Pidana Korupsi

Skandal bank Century merupakan penyelewengan pada pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek dari Bank Indonesia, dan penalangan atau bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Laporan Hasil Perhitungan (LHP) kerugian negara dari kasus Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir 2013 atas permintaan KPK. BPK menyimpulkan bahwa  Pemberian FPJP sebesar Rp 689,394 miliar dan bail-out Rp 6,742 triliun adalah merupakan kerugian negara.

Pemberian FPJP dari Bank Indonesia ke Bank Century (kini Bank Mutiara) merupakan keseluruhan penyerahan pada tanggal 14, 17 dan 18 Nopember 2008. Adapun bailout adalah keseluruhan pemberian penyertaan modal sementara dari LPS ke Bank Century selama 24 Nopember 2008 sampai 24 Juli 2009. Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan tersangka dua mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, BM dan SCF.

Secara politik, kasus bailout Bank Century telah dinyatakan sebagai penyimpangan. Keputusan ini diambil pada 3 Maret 2010 dalam Sidang Paripurna DPR melalui proses voting terbuka. Sebanyak 315 anggota DPR menyetujui opsi C yang menyatakan proses pemberian FPJP dan bailout pada Bank Century menyimpang, mengalahkan 212 anggota DPR pendukung opsi A yang menganggap tidak ada persoalan pada proses tersebut.

Kini, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kasus tersebut akan memasuki babak baru. Pertama, beranikah Polri menghadirkan paksa Boediono yang kini wakil presiden ke DPR atas perintah UU. Untuk menjawab misteri di balik kata-kata Boediono bahwa pihak yang bertanggung jawab atas membengkaknya bailout dari Rp.632 miliar menjadi Rp.6,7 triliun adalah LPS?

Kedua, akan terbukakah seluruh kesaksian dalam BAP di KPK yang menyebut secara gamblang pihak-pihak yang terlibat termasuk aktor intelektual yang diduga paling menikmati dana bailout di pengadilan Budi Mulia beberapa pekan mendatang? Kita tunggu saja. Paling tidak, hasil pemilu legislatif 9 April 2014 dan pemilu Presiden/Wakil Presiden 9 Juli 2014  mendatang akan ikut menentukan, apakah aktor intelektual skandal Bank Century tersebut akan tetap melenggang bebas atau terlibas.*** 


                                                                                                    Penulis adalah anggota Tim Pengawas                                                                                                            Penyelesaian Kasus Century, DPR-RI


Tidak ada komentar: