Senin, April 21, 2014

Memaknai Kebangsaan Dalam Politik Indonesia


Pengantar:
 Pemilu legislatif 2014, baru saja usai. Seluruh komponen bangsa diharapkan dapat menerima dan memahami apa yang sudah dinyatakan oleh rakyat di bilik suara.  Kini sangat penting bagi para elit politik untuk menunjukkan sikap legawa dalam menerima kekalahan, sebaliknya tidak menjadi jumawa manakala meraih kemenangan. 

 Berikut ini, ringkasan pemikiran Mochtar Pabottingi , yang disampaikan dalam talk show  bertajuk    "Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia", di Jakarta,  Kamis (3/4) silam, diselenggarakan oleh satuharapan.com. Kiranya masih relevan dalam memaknai asmosfir politik pasca Pemilu Legislatif 2014.

Mochtar Pabottingi
(twitter.com),
profesor Riset pada
Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)

MELIHAT situasi dan esensi politik Indonesia setelah Presiden Soeharto meletakkan jabatan kepresidenannya untuk digantikan BJ. Habibie, Wakil Presiden Orde Baru, sebagai presiden pertama untuk era reformasi, maka kita dapat mengangkat setidaknya tiga ciri utama.

Pertama, tiadanya ‘Orde’ atau ‘sistem pemerintahan’ yang secara sadar, tegar dan rasional menegakkan prinsip-prinsip politik tersendiri dan orisinal menurut  tuntutan –tuntutan demokrasi sebagai antitesis dari Orde Baru

Pada kata ‘orde’ terkandung makna kepemimpinan atau keberadaan pada posisi menguasai keadaan pada jalan politik yang benar menurut dialektika historisnya. Hingga saat ini para pejuang “reformis sejati” di tengah –tengah bangsa kita masih terus mati-matian berusaha menciptakan bangunan politik yang benar-benar pantas disebut “reformasi”.

 Kedua, dijalankannya upaya demokratisasi tanpa perjunjungan intens atas prinsip “kebangsaan” atau “kenasionan”, padahal dalam dunia modern nasion dan demokrasi terikat dalam simbiosis historis. Di seluruh dunia modern, nasion, jika benar, selalu bekerja menyuburkan tumbuhnya demokrasi. Dan demokrasi, juga jika benar,  selalu bekerja memperkuat serat-serat nasion. Disini “nasion” atau “bangsa” saya rumuskan sebagai “kolektivitas politik yang  egaliter dan otosentris”  dan “demokrasi” sebagai “sistem politik yang egaliter dan otosentris.” Kata otosenris saya maknai sebagai “perkiblatan, penjunjungan, dan pemuliaan kepada seluruh warga bangsa tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun”.




Ketiga, tiada atau miskinnya kemauan untuk menegakkan hukum secara tegar dan konsisten. Ini terjadi karena tiadanya pergantian rezim secara bersih. Era Reformasi dimulai dengan pendudukan utuh seluruh personalia Orde Baru (hanya minus Soeharto) atas bangunan pemerintahan Reformasi.

Di bawah kepresidenan BJ. Habibie –orang kedua Orde Baru, personalia Orde Baru yang utuh (dalam arti hanya minus Soeharto) menduduki apa yang disebut Bangunan Reformasi melakukan komplisitas penuh mula-mula pada timbunan penyalahgunaan kekuasaan Orde Baru dan dari situ pada multiplikasi penyalahgunaan kekuasaan dari awal Era Reformasi hingga kini. Dan alangkah masifnya multiplikasi penyalahgunaan kekuasaan itu, terutama di sepanjang Era Reformasi.

Ketiga ciri politik yang sangat buruk ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Ketiganya lahir dari sistem politik darurat –monopolistik Orde Baru yang sangat irasional dan sungguh memperbodoh rakyat secara politik selama empat windu.  Ini pada gilirannya bangkit dari abu Demokrasi Terpimpin yang terperangkap dalam irrasionalitas ideologi atau apa yang disebut oleh Clifford Geertz dan Ben Anderson “theater state”. Termasuk dalam “precursor” buruk itu tentu saja adalah sistem politik anakronistis yang mendasari Rezim Orde Baru.

Kita tahu bahwa Presiden Soeharto menerus-neruskan “format politik darurat” sepanjang 27 tahun (1971-1998) dalam keadaan yang sungguh tidak lagi darurat. (Termasuk di sini adalah irasionalitas  anakronisme politik dari arah sebaliknya, yaitu  menerapkan asumsi-asumsi politik normal dalam keadaan yang sesungguhnya darurat pada 3-5 tahun pertama Era Reformasi). Dan ini semua meruakan tak terhitung irasionalitas, distorsi, perangkap, dan kondisi pilihan-pilihan simalakama yang  tanpa preseden pada Era Reformasi hingga kini. Kebijakan otonomi daerah serta realitas multi partai dalam kabinet presidensial adalah dua contohnya.

Kepandiran Politik

Lantaran tumpukan negativitas politik itu, kita dapat menyatakan bahwa paling tidak sepanjang sewindu pertama usia Reformasi, mayoritas rakyat kita hidup dalam kepandiran politik – suatu kenyataan yang kontras dengan rakyat kita pada Zaman Kebangkitan Nasional hingga pertengah tahun 1960-an.
Bagaimana demokratisasi yang berjalan dapat mengurangi intoleransi, yaitu dengan menghilangkan dominasi kelompok dan golongan?  Paling tidak, 5 PR harus kita laksanakan.

Pertama,  kita harus menanamkan kembali ke dalam sanubari bangsa kita perihal betapa luhur perjuangan maupun cita-cita kemerdekaan kita. Solidaritas dan kehangatan kebangsaan perlu terus dihidupkan, termasuk momen-momen haru dan cemerlang disepanjang sejarah Kebangkitan Nasional  maupun Revolusi Kemerdekaan (ingat bagaimana heroisme Hari Pahlawan dan Ketegaran seorang Wolter Monginsidi). Juga teladan-teladan mulia yang ditunjukkan oleh para Bapak Pendiri Bangsa, bahkan di  masa-masa pasca kemerdekaan (lihat  teladan Hatta, Natsir).

Kedua, pentingnya mengingatkan kesalahan-kesalahan besar apa saja yang telah dilakukan Rezim Demokrasi Terpimpin dan Rezim Orde Baru menyangkut nasion maupun demokrasi kita. Pencerahan politik atas kedua hal ini imperatif sifatnya, apalagi di musim kampanye dua pemilu ke depan ini dimana pembodohan politik tetap dilancarkan oleh para bablasan Orde Baru dan / atau unsur-unsur politik yang tidak memiliki ketercerahan politik. Masyarakat luas bangsa kita mestilah diberi pemahaman sejelas-jelasnya tentang keniscayaan simbiosis antara nasion dan demokrasi.

 Ketiga, pentingnya terus menyadarkan bangsa kita perihal mutlaknya menghindari determinasi atau persandaran, pada segenap bentuk  priomordialisme dalam memilih pejabat-pejabat publik.  Untuk memilih atau menunjuk pejabat-pejabat publik hanya ada dua kriterium yang dibutuhkan, yaitu integritas dan kompetensi atau moralitas dan otoritas.

Keempat, keniscayaan mengajarkan bahwa di mana-mana nasion dan negara-nasion (nation-state) sudah merupakan keniscayaan sejarah. Dalam kaitan itu sangat penting ditekankan bahwa komposisi umat atau komunitas di dalam setiap nasion atau bangsa yang betul senantiasa beragam.

Tiap nasion yang hendak ditegakkan diatas prinsip primordialisme dalam jenis atau apapun, akan doomed dan pasti bersifat zalim, dan karenanya akan hancur atau runtuh dengan sendirinya. Hidup bersama di dalam keberagaman sudah menjadi tuntutan mutlak di zaman modern. Maka mau tak mau kita harus hidup bersama di bawah atap kebangsaan yang sama. Demi kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan sendiri kita harus bisa saling memberi dan menerima – to live and let live.  Dalam prinsip peradaban Bugis yang tak kalah indah dan benarnya:  sipakkatau (saling memanusiakan), sipakatuo (saling menghidupkan),  sipakatokkong (saling membangkitkan).

Kelima, terakhir kita harus menanamkan kesadaran bahwa di dalam kehidupan dan seluruh kegiatan bernegara sangatlah penting bagi ktia untuk memisahkan urusan negara dan urusan agama. Pemisahan itu niscaya baik bagi keselamatan negara-bangsa secara keseluruhan maupun bagi keselamatan tiap agama itu sendiri di dalamnya. Tak kurang contoh dimana pencampur-adukan kedua ranah itu di dalam hidup bernegara telah mengancam dan menghancurkan negara-bangsa maupun umat-umat beragama di dalamnya.



Tidak ada komentar: