Pengantar:
Pemilu legislatif 2014, baru saja usai.
Seluruh komponen bangsa diharapkan dapat menerima dan memahami apa yang sudah
dinyatakan oleh rakyat di bilik suara. Kini
sangat penting bagi para elit politik untuk menunjukkan sikap legawa dalam
menerima kekalahan, sebaliknya tidak menjadi jumawa manakala meraih
kemenangan.
Berikut
ini, ringkasan pemikiran Mochtar Pabottingi , yang disampaikan dalam talk
show bertajuk
"Intoleransi
dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia", di Jakarta, Kamis (3/4) silam, diselenggarakan oleh satuharapan.com. Kiranya masih relevan dalam memaknai asmosfir
politik pasca Pemilu Legislatif 2014.
|
Mochtar Pabottingi (twitter.com), profesor Riset pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
MELIHAT situasi dan esensi politik Indonesia setelah Presiden Soeharto meletakkan jabatan
kepresidenannya untuk digantikan BJ. Habibie, Wakil Presiden Orde Baru,
sebagai presiden pertama untuk era reformasi, maka kita dapat mengangkat setidaknya
tiga ciri utama.
Pertama, tiadanya ‘Orde’ atau ‘sistem
pemerintahan’ yang secara sadar, tegar dan rasional menegakkan prinsip-prinsip
politik tersendiri dan orisinal menurut
tuntutan –tuntutan demokrasi sebagai
antitesis dari Orde Baru.
Pada kata
‘orde’ terkandung makna kepemimpinan atau keberadaan pada posisi menguasai
keadaan pada jalan politik yang benar menurut dialektika historisnya. Hingga
saat ini para pejuang “reformis sejati” di tengah –tengah bangsa kita masih
terus mati-matian berusaha menciptakan bangunan politik yang benar-benar pantas
disebut “reformasi”.
Kedua,
dijalankannya upaya demokratisasi tanpa perjunjungan intens atas prinsip
“kebangsaan” atau “kenasionan”, padahal dalam dunia modern nasion dan demokrasi
terikat dalam simbiosis historis. Di seluruh dunia modern, nasion, jika benar,
selalu bekerja menyuburkan tumbuhnya demokrasi. Dan demokrasi, juga jika benar, selalu bekerja memperkuat serat-serat nasion.
Disini “nasion” atau “bangsa” saya rumuskan sebagai “kolektivitas politik yang egaliter dan otosentris” dan “demokrasi” sebagai “sistem politik yang
egaliter dan otosentris.” Kata otosenris saya maknai sebagai “perkiblatan,
penjunjungan, dan pemuliaan kepada seluruh warga bangsa tanpa diskriminasi
dalam bentuk apapun”.
Ketiga, tiada atau miskinnya kemauan untuk
menegakkan hukum secara tegar dan konsisten. Ini terjadi karena tiadanya
pergantian rezim secara bersih. Era Reformasi dimulai dengan pendudukan utuh
seluruh personalia Orde Baru (hanya minus Soeharto) atas bangunan pemerintahan
Reformasi.
Di bawah
kepresidenan BJ. Habibie –orang kedua Orde Baru, personalia Orde Baru yang utuh
(dalam arti hanya minus Soeharto) menduduki apa yang disebut Bangunan Reformasi
melakukan komplisitas penuh mula-mula pada timbunan penyalahgunaan kekuasaan
Orde Baru dan dari situ pada multiplikasi penyalahgunaan kekuasaan dari awal
Era Reformasi hingga kini. Dan alangkah masifnya multiplikasi penyalahgunaan
kekuasaan itu, terutama di sepanjang Era Reformasi.
Ketiga ciri politik yang sangat buruk ini
tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Ketiganya lahir dari sistem politik darurat
–monopolistik Orde Baru yang sangat irasional dan sungguh memperbodoh rakyat
secara politik selama empat windu. Ini
pada gilirannya bangkit dari abu Demokrasi Terpimpin yang terperangkap dalam
irrasionalitas ideologi atau apa yang disebut oleh Clifford Geertz dan Ben
Anderson “theater state”. Termasuk dalam “precursor” buruk itu tentu saja
adalah sistem politik anakronistis
yang mendasari Rezim Orde Baru.
Kita tahu
bahwa Presiden Soeharto menerus-neruskan “format politik darurat” sepanjang 27
tahun (1971-1998) dalam keadaan yang sungguh tidak lagi darurat. (Termasuk di sini
adalah irasionalitas anakronisme politik
dari arah sebaliknya, yaitu menerapkan
asumsi-asumsi politik normal dalam keadaan yang sesungguhnya darurat pada 3-5
tahun pertama Era Reformasi). Dan ini semua meruakan tak terhitung irasionalitas,
distorsi, perangkap, dan kondisi pilihan-pilihan simalakama yang tanpa preseden pada Era Reformasi hingga kini.
Kebijakan otonomi daerah serta realitas multi partai dalam kabinet presidensial
adalah dua contohnya.
Kepandiran Politik
Lantaran
tumpukan negativitas politik itu, kita dapat menyatakan bahwa paling tidak
sepanjang sewindu pertama usia Reformasi, mayoritas rakyat kita hidup dalam
kepandiran politik – suatu kenyataan yang kontras dengan rakyat kita pada Zaman
Kebangkitan Nasional hingga pertengah tahun 1960-an.
Bagaimana
demokratisasi yang berjalan dapat mengurangi intoleransi, yaitu dengan menghilangkan
dominasi kelompok dan golongan? Paling
tidak, 5 PR harus kita laksanakan.
Pertama,
kita harus menanamkan kembali ke dalam sanubari bangsa kita perihal
betapa luhur perjuangan maupun cita-cita kemerdekaan kita. Solidaritas dan
kehangatan kebangsaan perlu terus dihidupkan, termasuk momen-momen haru dan
cemerlang disepanjang sejarah Kebangkitan Nasional maupun Revolusi Kemerdekaan (ingat bagaimana heroisme Hari Pahlawan dan
Ketegaran seorang Wolter Monginsidi). Juga teladan-teladan mulia yang
ditunjukkan oleh para Bapak Pendiri Bangsa, bahkan di masa-masa pasca kemerdekaan (lihat
teladan Hatta, Natsir).
Kedua, pentingnya mengingatkan kesalahan-kesalahan
besar apa saja yang telah dilakukan Rezim Demokrasi Terpimpin dan Rezim Orde
Baru menyangkut nasion maupun demokrasi kita. Pencerahan politik atas kedua hal
ini imperatif sifatnya, apalagi di musim kampanye dua pemilu ke depan ini
dimana pembodohan politik tetap dilancarkan oleh para bablasan Orde Baru dan /
atau unsur-unsur politik yang tidak memiliki ketercerahan politik. Masyarakat
luas bangsa kita mestilah diberi pemahaman sejelas-jelasnya tentang keniscayaan
simbiosis antara nasion dan demokrasi.
Ketiga, pentingnya terus menyadarkan bangsa kita perihal mutlaknya
menghindari determinasi atau persandaran, pada segenap bentuk priomordialisme dalam memilih pejabat-pejabat
publik. Untuk memilih atau menunjuk
pejabat-pejabat publik hanya ada dua kriterium yang dibutuhkan, yaitu
integritas dan kompetensi atau moralitas dan otoritas.
Keempat, keniscayaan mengajarkan bahwa di
mana-mana nasion dan negara-nasion (nation-state)
sudah merupakan keniscayaan sejarah. Dalam kaitan itu sangat penting ditekankan
bahwa komposisi umat atau komunitas di dalam setiap nasion atau bangsa yang
betul senantiasa beragam.
Tiap nasion
yang hendak ditegakkan diatas prinsip primordialisme dalam jenis atau apapun,
akan doomed dan pasti bersifat zalim,
dan karenanya akan hancur atau runtuh dengan sendirinya. Hidup bersama di dalam
keberagaman sudah menjadi tuntutan mutlak di zaman modern. Maka mau tak mau
kita harus hidup bersama di bawah atap kebangsaan yang sama. Demi kehormatan,
kemuliaan, dan kebahagiaan sendiri kita harus bisa saling memberi dan menerima
– to live and let live. Dalam prinsip peradaban Bugis yang tak kalah
indah dan benarnya: sipakkatau (saling memanusiakan), sipakatuo (saling menghidupkan), sipakatokkong
(saling membangkitkan).
Kelima, terakhir kita harus menanamkan
kesadaran bahwa di dalam kehidupan dan seluruh kegiatan bernegara sangatlah
penting bagi ktia untuk memisahkan urusan
negara dan urusan agama.
Pemisahan itu niscaya baik bagi keselamatan negara-bangsa secara keseluruhan
maupun bagi keselamatan tiap agama itu sendiri di dalamnya. Tak kurang contoh
dimana pencampur-adukan kedua ranah itu di dalam hidup bernegara telah
mengancam dan menghancurkan negara-bangsa maupun umat-umat beragama di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar