Selasa, Juni 07, 2011

Mengapa Perahu Phinisi Sanggup Menahan Gelombang Samudera?

Mengenal Konstruksi Perahu Layar Phinisi Nusantara (Bagian ke-2)

'The sea worthy ship is the one who will take care of you after you can no longer take care of her,'' kalimat itu meluncur dari Capt. Gita Ardjakusuma, Nakhoda Phinisi Nusantara ketika di wawancara wartawan 'Mutiara' sebuah penerbitan 'petualangan' yang terbit di Jakarta (Edisi 30 Juli - 12 Agustus 1986). Dan kemudian dikutip kembali oleh Kowaas (Intermasa, 19: 1995).

"Bila kita tidak lagi berdaya, kapal itulah yang akan memelihara kita para pelaut. Bagai seorang istri setia, ia akan memelihara kita walaupun kita sudah tidak berdaya'. Itulah alasan mengapa sebuah perahu layar tradisional yang dipersiapkan untuk menjelajah samudera harus benar-benar kokoh selain memiliki tingkat stabilitas yang baik.

 Lantas bagaimana sebuah perahu layar tradisional phinisi ini dibuat, sehingga ia bisa bertahan menahan gelombang samudera? Berikut ini tulisan lanjutan 'Mengenal Konstruksi Perahu Phinisi'.

a/. Pembuatan perahu biasanya dimulai dengan pencarian kayu di hutan. Dipilih kayu yang lurus dan panjang, terutama untuk pembuatan lunas perahu, biasanya dipakai kayu ulin. Untuk kulit kapal di bawah garis muat, dipakai kayu bitti selebihnya kayu na' massa, mangga, cembaga dll. Untuk pasak biasanya diambil kayu bakau atau kayu besi.

b/. Dengan didahului upacara ritual peletakan lunas dari kayu besi atau kayu ulin yang sudah dipahat dan disebut ‘dikawinkan’ antara ujung batang lunas yang satu yang diberi lubang (posi) dengan ujung batang lainnya (tenon) sebagai  sambungan pertama dari lunas perahu. Panjang seluruh lunas, tergantung ukuran perahu. Perahu 100 ton memiliki panjang lunas 15 kaki, 200 ton =19 kaki, dst. Bila kedudukan lunas sudah baik maka dilakukan pengeboran sisi kiri-kanan –atas untuk lubang pasak pada jarak antara 20-30 cm. Pasak ini adalah alat penyambung antara lunas dengan papan pengapit-lunas (garboard strake) yang disebut panyepe. Besar sudut kemiringan panyepe menentukan bentuk dan lebar perahu.

c/. Perbedaan prinsipil antara pembuatan perahu cara tradisional kita dengan cara barat (modern) adalah papan kulit dipasang dahulu disusul kemudian oleh kelu (floors) dan gading-gading (frames/ribs) sebagai penguat dari dalam; cara ini juga disebut ‘sistem gajah’. Cara barat adalah sebaliknya, framing dahulu baru kulit atau badan perahu kemudian. Karena kekuatan perahu bertumpu pada badan perahu, maka papan kulit sangat besar, biasanya lebih tebal daripada yang dipersyaratkan menurut kelas (Kelas Indonesia/KI).

d/. Setiap papan yang akan dipasang pada badan perahu, digergaji dari balok-balok yang ada, menurut bentuk dan letak posisinya pada perahu (ada yang lurus dan ada yang melengkung). Ini dilakukan untuk tiap pasang papan-kulit kiri-kanan. Untuk sambungan antara dua papan lajur atau ‘urat’ digunakan pasak, penyambungan dilakukan pada papan kulit yang sudah terpasang lebih dahulu pada badan kapal.

e/. Sambungan antara dua papan-urat atas dan bawah diisi dengan barru (kulit pohon aren) yang untuk menjaga kekedapan kulit terhadap air laut nantinya ditutup dengan dempul, dammar dan ter.

f/. Penyambungan antara dua papan pada urat yang sama dilakukan dengan sambungan miring. Sambungan demikian pada tiap urat tidak boleh pada satu garis keatas.

g/. Jika seluruh papan kulit perahu sudah selesai terpasang, barulah kelu (floor)  dipasang pada jarak tertentu yang cukup rapat. Tiap kelu merupakan suatu kesatuan dengan bentuk lengkung yang simetris ke kiri dan ke kanan badan perahu dengan arah serat kayu mengikuti bentuk lengkung tersebut. Untuk itu maka khusus dicarikan (kayu seperti itu) di hutan, batang atau cabang pohon kayu yang melengkung dengan bentuk yang sama dengan lengkung kelu yang berbeda-beda, sesuai posisinya pada badan perahu mulai dari haluan sampai ke buritan.

h/. Pada ujung-ujungnya, kelu disambung dengan ‘tulang’ (soloro/gading/ribs). Selain itu soloro juga dipasang diantara dua kelu sehingga jarak antar tulang/soloro cukup rapat (20-30 cm atau 1 kaki). Tidak semua tulang dihubungkan dengan lunas perahu. Sebagai penghubung antara kelu dan tulang dengan kulit atau badan perahu, biasanya dipakai baut besi dan mur. Pemasangan tulang/gading berhenti bila ketinggian perahu yang direncanakan sudah mencukupi, hanya ada beberapa gading saja yang diteruskan menembus geladak setinggi 40-60 cm, yaitu yang akan dipakai untuk pengikatan tali layar.

i/. Selesai gading-gading terpasang maka sebagai penguat memanjang (stringer) dipasang lepe-lepe di atas gading-gading dan kelu tersebut. Masing-masing pada jarak sekitar 30 cm memanjang kapal. Lepe-lepe yang dipasang memanjang di tengah perahu (di atas lunas) di sebut naga-naga sedangkan yng dipasang sampai ke haluan dan buritan disebut buaya-buaya. Agaknya naga-naga di sini dianggap menggantikan ‘lunas dalam’ pada kapal kayu.  

j/. Perahu Phinisi yang asli tidak memiliki sekat, sehingga seluruh ruangan kapal di bawah geladak dapat diisi muatan. Ini merupakan salah satu kelemahan dari pinisi, karena bila perahu mengalami kebocoran maka seluruh ruangan akan terisi air yang mengakibatkan perahu cepat tenggelam. Selain itu sekat berfungsi sebagai penahan momen puntir (torsi) yang biasanya terjadi di laut berombak.

k/. Bila badan dan rangka perahu (rangda) sudah terpasang maka balok geladak atau ‘kalang’ (deck beam) dapat di pasang pada tiap letak gading-gading. Di atas kalang tersebutlah kemudian disusun papan geladak perahu.

l/. Bersamaan dengan itu dipasanglah  balok-balok tegak, biasanya terbuat dari kayu ulin, sebagai tempat bertumpunya tiang layar utama. Dipasang penopang/penguat pengemudi dan anjlong atau cocor di haluan perahu, tempat untuk pemasangan tiga layar depan (jib sails). Setelah itu maka pembuatan rumah geladak di bagian buritan dapat diselesaikan.

m/. Setelah seluruh badan perahu terselesaikan, maka kedua tiang layar dapat ditegakkan.   Sementara itu, dibuat layar yang ukurannya tergantung dari besarnya perahu dengan bahan kain tebal  (terpal) atau karorok yaitu anyaman dari sejenis daun lontar. Untuk memasang dan membuka layar atas (top sails) awak perahu memanjat lewat tali kawat atau dipasangkan tangga monyet pada tiang layar.

n/. Setelah itu perahu siap diluncurkan.

Lihat Tulisan Sebelumnya:
Continue Reading>>  Mengenal Konstruksi Perahu Layar Phinisi Nusantara

Tidak ada komentar: