NOVEMBER 1999. Sekitar 200 orang telah hadir di hotel Cumberland di jantung kota London. Mereka mewakili 26 negara anggota International Sail Training Association (STI), organisasi yang mewadahi perkumpulan kapal latih tiang tinggi (Tall Ship) di seantero bumi....
Saya hadir mewakili Indonesia. Mereka rata-rata berusia di atas 50 tahun. Dan kebanyakan mantan perwira Angkatan Laut serta para Pecinta Kebaharian. Meriah sekali suasananya. Bebas berceloteh dan berdebat. Itulah suasana meriah dan ceria the seamen brotherhood (Persaudaraan Pelaut).
Remaja Calon Pemimpin
Remaja Calon Pemimpin
Fokus pembicaraan pada pertemuan itu adalah masalah penanganan remaja. Membahas bagaimana peluang remaja antar bangsa agar mengenal laut. Bisa pergi ke laut melalui pertukaran awak kapal dalam acara lomba-lomba layar tiang tinggi se-dunia.
Bagaimanapun, para peserta tampak memiliki prinsip yang lugas, yang lahir dari pengalaman penjelajahan lautan yang diwariskan sejak berabad abad silam. Karena keyakinan: Justru di lautanlah karakter dan mental kebangsaan para remaja sebagai calon-calon pemimpin masa depan lebih mudah ditempa dengan matang.
Bagaimana pun lautan merupakan suatu hal yang kompleks tetapi sekaligus universal. Seringkali saya menerawang. Saat malam berbintang, angin bertiup lembut, dan layar-layar terkembang megah, semua itu membawa romansa kehidupan bagi setiap hati. Betapa elok alam ini. Betapa berharganya hidup ini. Upaya penularan positif seorang pecinta alam, terwujud dalam rasa persaudaraan, kejujuran, rasa saling asah, saling asuh, tersalurkan secara alami.
Saat hari panas yang gersang di tengah lautan, dimana semua awak harus mencuci geladak, mengetuk lambung besi yang berkarat, menggosok semua kuningan, menjahit layar yang rusak, memeriksa dan menyiapkan tali temali. Semua itu menyentakkan kita bahwa tiada hari tanpa rasa lelah dan kesakitan, namun tiada kemenangan pula tanpa kesakitan. Tanpa satu rekan, maka tugas melayarkan kapal ini ke pelabuhan tujuan akan kian berat, kerjasama adalah segala-galanya!
Ketika badai datang dengan tiba-tiba, angin dan hujan seakan berteriak marah. Seakan lidahnya siap melemparkan siapa saja ke dalam gulungan ombak yang pecahannnya terdengar menggelepar menakutkan. Kondisi badan yang mabuk laut dihantui rasa ketakutan, itu sekonyong-konyong sirna ditelan kesibukan memotong tali-tali kencang yang bergerak tak terkendali, menggulung layar yang robek, memegang kemudi yang berputar liar, menolong sesama rekan yang terlempar dan tergelincir di geladak yang basah dan licin.
Rasa persaudaraan menyeruak spontan. Menyingkirkan perbedaan suku, agama atau ras. Saling menolong satu-satunya cara untuk bisa selamat. Keberanian pun terkendali. Keberanian dan heroisme yang tak pernah terbayangkan serta merta mencuat. Pada saat kritis tak terduga, sifat ksatria dan pengecut yang menjadi bawaan masing-masing akan keluar tanpa harus ditelanjangi dengan gamblang: mana yang emas dan loyang.
Kadang kita harus berlayar di sepanjang pesisir pantai kerajaan asing atau negeri tak bertuan dan kemudian mendarat untuk mencari mata air segar, memetik sebutir kelapa untuk sekedar melepas kelelahan jiwa. Sekelebat jiwa para penjelajah agung seperti: Captain Cook dan Christopher Columbus atau legenda Sinbad dan Robinson Crusoe seolah menjelma di dalam diri.
Kadang pula membersit rasa kesendirian dan ketidakberdayaan di tengah samudera luas. Suasana itu membawa kepada suatu kesadaran akan kecilnya diri kita tanpa perlindungan Sang Khalik yang menjadi Nakhoda Agung bagi setiap hati, setiap pelaut. Dimana setiap jiwa penuh hasrat untuk datang mendekat kepada-Nya.
Kemajuan Teknologi Menebas Nurani
Sungguh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, telah menebas nurani manusia sedikit demi sedikit. Manusia yang telah diberi kemampuan untuk menguasai hampir segalanya malah kini cenderung menghancurkan diri sendiri dengan menabur benih-benih egoisme, separatisme, chauvinisme, fanatisme dilengkapi jiwa yang rapuh dan mudah patah pula. Hendak menuju kemana peradaban manusia? Akankah kita membiarkan semua yang baik berjalan menuju kehancuran?
Jawabnya, tentu saja tidak. Kita ingin sebuah bumi yang ramah dan damai, bukan impian kosong semata. Semua ini menyadarkan kita untuk membawa generasi muda ke alam nyata, yang penuh tantangan dan tidak direkayasa. Membawa para remaja ke laut dan alam maha luas akan mengajari mereka untuk berani menghadapi tantangan dengan bekerjasama. Kesendirian dan ketidakberdayaan seseorang di tengah alam maha luas ini betul-betul tidak berarti sedikitpun.
Mereka akan belajar untuk menghargai kehidupan. Menghargai hidupnya sendiri dan hidup orang lain. Mereka akan menyadari betapa beruntungnya memiliki kawan berbagi derita dan rela berjuang berdampingan. Dengan demikian mereka akan sadar, sesungguhnya mereka tidak hidup sendiri tetapi harus menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Dengan sesama awak, sesama bangsa dan sesama umat manusia. Ya, itu semuanya, hanya dapat diperoleh di atas sebuah kapal layar.
(dari renungan Seorang Pelaut: Nukilan buku: Nakhoda Legendaris Phinisi Nusantara Capt. Gita Arjakusuma MENYISIR BADAI, Gria Media Prima, 2001, hal. 234-237).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar