|
writerscafe.org |
Menulis pada dasarnya adalah berkomunikasi. Menulis adalah suatu proses pengoperan lambang-lambang yang berarti sehingga dapat dipahami oleh pembaca (seseorang atau sejumlah orang tertentu). Sedangkan tujuan menulis adalah menyampaikan informasi, menghibur, mendidik, bahkan juga mengubah sikap, pendapat dan perilaku. Bisa juga sekadar mengungkapkan pikiran, perasaan dan ekspresi seseorang kepada pihak lain.
Menulis adalah fungsi lain dari berbicara. Jika berbicara dilakukan melalui mulut dengan menggerakan lidah, maka menulis dilakukan dengan jari-jemari tangan menggerakkan pena atau menekan tuts papan komputer atau mesin tik. Jika Anda mengalami kesulitan menulis, maka resep praktis saya adalah: lakukanlah ia semudah Anda berbicara.
Baiklah, masalah kesulitan menulis ini, akan saya bahas kemudian pada topik yang khusus. Kali ini, saya ingin mengupas masalah manfaat menulis. Mengapa menulis itu perlu? Apa sebenarnya manfaat menulis dan benarkah ada pula kerugian menulis?
Kemampuan dan keterampilan menulis, jelas sangat diperlukan tidak saja di dunia akademik tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia akademik, kita tidak dapat menghindarkan kewajiban untuk memenuhi tugas-tugas di sekolah, tugas perkuliahan, bahkan tugas dalam membuat dan menyusun karya tulis, makalah, skripsi, tesis hingga disertasi. Orang lain, khususnya guru, dosen, dekan dan para pihak penyelenggara pendidikan akan dengan mudah menilai kemampuan anak didik atau para mahasiswanya dengan melihat jawaban soal secara tertulis, dengan melihat atau membaca karya tulis seperti makalah dan karya-karya tulis lain yang Anda buat.
|
hm..what do you
think about me? |
Jika Anda sering membuat karya tulis, lama kelamaan Anda akan menjadi terbiasa. Kemudian apa yang tumbuh dan menetap di dalam diri seseorang setelah ia terbiasa menulis?
Pertama, Anda akan dengan mudah mengolah pikiran dengan menganalisis suatu masalah secara teratur, logis dan runtut (sistematik).
Kedua, Anda bisa menjangkau khalayak (audiens) dalam jumlah lebih luas daripada yang bisa kita bayangkan! (Ini benar-benar fakta, karena kita tidak pernah tahu bahwa publikasi yang kita buat di jaman sekarang mudah sekali diketahui, dibaca bahkan diduplikasi dengan dukungan teknologi dalam jumlah hampir tidak terbatas di ruang yang juga nyaris tidak terbatas). Jika dengan berbicara secara lisan, kita hanya menjangkau pendengar paling banyak satu ruang kelas atau paling banter seluas lapangan sepakbola, seperti sering kita lihat di waktu kampanye partai-partai politik. Maka, dengan menulis (apalagi dengan bantuan kemajuan internet dewasa ini), maka hampir-hampir kita tidak dapat membayangkan berapa banyak orang dari berbagai negara yang dapat membaca tulisan Anda.
Ketiga, Anda relatif terbebas dari kendala ruang, waktu dan hambatan psikologis. Perkara kendala ruang dan waktu, kehadiran jejaring sosial (misalnya: facebook) sudah membuktikannya bahwa kendala semacam itu praktis sudah teratasi. Sedangkan kendala psikologis, jelas sekali: jika Anda seorang wanita, tidak perlu berdandan supaya tampak cantik untuk menyampaikan pendapat dan pikiran Anda melalui tulisan. Juga tidak perlu merisaukan pakaian apa yang pantas digunakan ketika hendak menyampaikan pesan kepada dunia secara tertulis.
Keempat, aktivitas menulis juga merupakan sarana aktualisasi diri. Maslow, pakar psikologi manajemen, mengatakan bahwa puncak kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, setelah mereka bisa memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya (primary needs). Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal (fisik) serta kebutuhan akan cinta dan kasih sayang (psikis) terpenuhi.
Secara sosiologis, manusia memang bukan mahluk monosoliter tapi senang hidup berkelompok. Pertumbuhan jumlah penduduk dunia berikut perilaku dan pola hidup yang bervariasi adakalanya tidak selaras dengan habitat alamnya. Apalagi ketika pola hidup konsumtif yang cenderung berlebihan itu, difasilitasi oleh kemajuan teknologi, maka terjadilah kerusakan yang menyebakan semakin terbatasnya daya dukung lingkungan. Maka, terjadilah dinamika kelompok karena setiap individu harus berjuang untuk bisa bertahan (hidup) dengan cara berkompetisi, bersaing untuk saling mengalahkan atau bekerjasama untuk melawan musuh yang lebih besar dari dirinya.
Persaingan terjadi di segala sektor. Tidak saja antara satu kelompok dengan kelompok yang berbeda, tetapi bahkan diantara sesama anggota kelompoknya. Masing-masing ingin tampak menonjol, lebih kuat, lebih cantik/tampan, lebih cerdas, lebih kaya dan lebih-lebih lainnya. Salah satu sarana untuk mengaktualisasikan diri dengan cara yang lebih berlipat ganda dampaknya adalah melalui media massa.
Maka, tak heran, di jaman sekarang ini begitu banyak orang yang berani mengorbankan apa saja demi mengejar popularitas dengan berbagai cara. Seperti banyak terjadi di kalangan selebriti dan politisi kita, yang senang disorot kamera (media exposure). Begitu kuatnya hasrat meraih aktualisasi diri ini sekuat ambisi seseorang mencapai kekuasaan. Demikian pula dengan menulis. Selain pengejawantahan nilai spiritual dan idealisme, menulis juga memberikan nilai praksis yang seketika (instant) yakni popularitas. Bedanya, pendekatan melalui tulisan bisa dikatakan lebih intelektual dan elegan ketimbang sorotan kamera dan terpaan media visual lainnya.
Kelemahan Menulis
Selain beberapa sisi kekuatan (keuntungan) dari menulis, juga terdapat sisi kelemahan (kerugian) yang patut dicermati. Berikut ini beberapa diantaranya:
Pertama, pesan yang kita kirimkan akan kehilangan banyak nuansa emosionalnya jika dibandingkan dengan pesan secara lisan. Kita tidak bisa menangkap ekspresi wajah atau air muka Si pembicara ketika menyampaikan pesan tertulis kepada kita. Tetapi jangan khawatir, penggunaan tanda-tanda baca secara efektif, akan lumayan membantu menutup (sebagian) kelemahan ini.
Kedua, karena sifatnya bermedia, maka respon atau umpan balik yang kita terima pun akan mengalami penundaan. Tanggapan atau reaksi dari lawan bicara kita, tidak muncul seketika karena Penerima pesan memerlukan waktu untuk mencerna atau memahami isi pesan sesuai dengan persepsinya (persepsi juga terbentuk karena latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki seseorang) . Selain itu, ia harus memformulasikan tanggapannya yang menuntut kemampuan untuk: menemukan pilihan kata yang tepat (diksi); mengatur tata kalimat yang selain layak dan pantas (etis) juga memenuhi kaidah mantik (framework of logical thinking order). Dan last but not least, yang tak kalah pentingnya adalah penekanan kepada isi dan makna tertentu yang dikehendaki si Pemberi pesan (penulisnya). Namun kehadiran digital media dan perkembangan dunia internet dewasa ini, telah memungkinkan percakapan tertulis secara langsung.
Ketiga, setiap ‘kesalahan’ yang kita buat dalam bentuk tertulis akan bertahan lama. Bahkan nyaris ‘abadi’ sepanjang masa! Sampai kita meralat, memperbaiki atau melupakannya sama sekali. Hal terakhir inilah yang seringkali mencegah kita untuk menulis sembarangan.
Sayangnya, point terakhir itu seringkali dilebih-lebihkan, diperburuk dengan tradisi dan kebiasaan-kebiasaan kita yang cenderung memperkuat gejala ‘takut salah’ ini menjadi sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya kita tidak pernah mau menulis. Terutama yang ditujukan untuk kepentingan umum. Seperti menulis untuk konsumsi publik di situs-situs internet atau blog, media cetak seperti Suratkabar, Majalah, Buletin, Internal Magazine, Jurnal Ilmiah atau forum for professional gathering dan lainnya.
Lebih parah lagi, ternyata keengganan (lebih tepatnya: malas) menulis itu pun banyak terjadi di lingkungan akademik kita. Akibatnya, tentu saja sangat merugikan. Tingkat produktivitas karya-karya ilmiah dari para cendekiawan Indonesia di forum internasional, merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan berkembang atau tidaknya ‘budaya akademik’ suatu universitas. Harus diakui, faktor inilah yang menyebabkan banyak universitas kita (di Indonesia) terpuruk!
Kebanyakan Perguruan Tinggi kita (menurut sebuah survey) berada pada ranking ratusan atau berada pada peringkat sangat jauh jika dibandingkan dengan beberapa Universitas ternama lainnnya di luar negeri. Bahkan dari universitas-universitas di negara tetangga dekat kita. Jika pada 20-30 tahun silam, banyak mahasiswa Malaysia, Thailand dan Filipina yang menuntut ilmu di universitas-universitas terbaik di Indonesia, maka sekarang ini keadaannya terbalik: mahasiswa Indonesia lah yang lebih banyak belajar di negara-negara tetangga!
Sampai saat saya menulis di sini, saya belum melihat cara lain yang lebih baik untuk mengejar ketinggalan itu, kecuali dengan mendorong para cendekiawan kita agar lebih produktif untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitan mereka yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Mereka harus dirangsang agar lebih banyak dan lebih sering lagi menulis di jurnal-jurnal ilmiah yang bergengsi! Sehingga suara kita bisa ‘terdengar nyaring’ di ruangan yang lebih luas.
Pada saat yang sama, secara perlahan tetapi pasti, akan tumbuh secara alami berbagai aktivitas semarak yang akan menguji dan mengapresiasi hasil-hasil temuan, melalui berbagai bentuk kegiatan. Seperti kolokium, seminar, diskusi, dan arena lainnya. Berbagai kegiatan yang dinamis inilah yang menurut pendapat saya bisa merangsang kembali tumbuhnya tradisi ilmiah dan budaya akademik, yang akhir-akhir ini semakin surut tergerus oleh gelombang dahsyat konsumerisme (termasuk komersialisasi dunia pendidikan).
Saya menyadari, itu persoalan besar yang bagi sebagian orang adalah masalah abstrak! Tetapi saya ingin menjawabnya dengan cara yang mudah. Bahwa dalam konteks personal, setiap kita memang bertanggungjawab bahkan dituntut (sesuai bidang dan kapasitasnya masing-masing) berbuat sesuatu agar lingkungan kita menjadi lebih baik, lebih sehat, lebih menyejahterakan bagi sebanyak mungkin orang. Dan ini harus ada langkah awal untuk memulainya.
Buat para akademisi, tak lain dengan produktif menulis! Tentu saja, soal ini tidak bisa sekedar diinstruksikan atau diperintahkan, tetapi benar-benar hanya bisa dimulai dari diri sendiri. Ya, sekali lagi dari diri sendiri melalui cara mudah dan praktis menulis karya ilmiah (juga ilmiah populer), bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil dan tindakan sederhana, seperti menulis di blog yang kini semakin menjamur di Indonesia.