Kamis, April 07, 2011

GAMBARU: Cermin Ketegaran Bangsa Jepang Menghadapi Tsunami

Sejarah menunjukkan, bangsa Jepang tidak memerlukan waktu lama untuk memulihkan dirinya dari kesulitan. Seperti yang mereka tunjukkan pada pasca Perang Dunia ke-2, ketika negeri ini mengalami kehancuran luar biasa, setelah  pihak militer sekutu, dipimpin Amerika Serikat  menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Kemudian mereka bangkit kembali membangun negerinya sehingga menjadi sebuah negara maju dan disegani di dunia internasional.  Bahkan menjadi bangsa dengan ekonomi terkuat di dunia.  

Japanese Samurai
(cellinifinegifts.com) 
Apa rahasianya? Rouli Esther Pasaribu, Mahasiswi Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Jepang, menulis kesan yang menarik tentang bagaimana sikap mental dan karakter umumnya orang Jepang dalam menghadapi kesulitan yang paling berat sekalipun, Berikut ini, saya muat tulisan Esther untuk Anda.
 “Terus terang saja, satu kata yang benar-benar memuakan jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan......

Muak habis, sumpah, karena setiap kali bimbingan sama profesor, kata-kata penutupnya selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tahu ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama), moto  kenkyuu shitekudasai (ayo membuat penelitian lebih dan lebih lagi).


Sampai saya rasanya ingin mengatakan, apa tidak ada kosa kata lain selain GAMBARU? Apa saja, yang penting bukan gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang-berjuang mudah (cemen) begitu-begitu saja yang kalau (kita) malas atau ada banyak rintangan, ya sudahlah ya...berhenti saja. 
Menurut kamus bahasa Jepang, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha habis-habisan).

Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter, yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan". Jadi citra yang bisa diperoleh dari paduan karakter ini adalah "bagaimanapun susahnya, apapun  persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup. Namanya hidup memang pada dasarnya susah. Jadi jangan mengharapkan gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik).

Terus terang saja, dua tahun saya di Jepang, dua tahun juga saya  tidak mengerti, mengapa orang-orang Jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.



Bahkan anak umur 3 tahun seperti Joanna pun sudah disuruh gambaru di sekolahnya, seperti memakai baju di musim dingin mesti yang tipis-tipis biar tidak manja terhadap cuaca dingin. Di dalam sekolah tidak boleh memakai kaos kaki karena kalau telapak kaki langsung kena lantai, itu baik untuk kesehatan. Sakit-sakit sedikit cuma beringus atau demam 37 derajat, itu tidak usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan: anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.

Akibatnya, kalau saya naik sepeda di tanjakan sambil membonceng Joanna, dan saya ngos-ngosan kecapaian, otomatis Joanna mengatakan:
Mama, gambare! Mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampai titik darah penghabisan:   
it's a must!



Mulai Mengerti Setelah Terjadi


Tsunami menghantam pesisir timurJepang, 30 Mei 2015
Saya benar-benar baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting sekali dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di Jepang bagian timur. Saya tahu, bencana alam di Indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di Padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauh sekali lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.

Wajar sekali kalau kemudian Pemerintah dan Masyarakat Jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajar sekali kalau  mereka kemudian mulai merasa, menangis-nangis, tidak tahu harus berbuat apa.

Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu balada Ebiet G. Ade dan membuat video klip ‘Tangisan Anak Negeri’ yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.

Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?

Dari hari pertama bencana, saya menyetel TV dan menunggu lagu-lagu ala Ebiet diputar di stasiun TV, mencari-cari juga di mana rekening ‘Dompet Bencana Alam’, Video klip Tangisan Anak Negeri juga saya tunggu-tunggu.
menyelamatkan bayi
Tiga unsur itu (lagu ala Ebiet, rekening Dompet Bencana, video klip Tangisan Anak Negeri), sama sekali tidak disiarkan di Televisi-televisi Jepang.
 Jadi yang apa yang ada? Ini yang saya lihat di stasiun-stasiun Televisi Jepang:

1. Peringatan Pemerintah agar setiap warga tetap waspada.

2. Himbauan Pemerintah agar seluruh warga Jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah Tokyo dan Tohoku tidak terlalu lama terkena pemadaman aliran listrik).

 3. Permintaan maaf dari Pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana.

 4. Tips-tips menghadapi bencana alam.

 5. Nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam.

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju ke daerah-daerah yang terkena bencana.
 
 7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap sekali, nyawa di Jepang benar-benar bernilai sekali harganya).

8. Pengobaran semangat dari Pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional: mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (petugas Pemerintah menggunakan kata norikoeru, yang kalau diterjemahkan secara harfiah: menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati.
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati : ada yang mencarii istrinya dan belum bertemu juga, mukanya sudah galau sekali, tetapi tetap tenang dan tidak  emosional, disemangati nenek-nenek yang ada di tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah).


Tulisan di jejaring sosial Twitter: ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;
Ayo Nak, kita lihat apa yang
bisa kita lakukan
Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala gambaru seperti ini, saya benar-benar merasa malu tetapi pada saat yang sama: kagum dan hormat sekali sama warga dan pemerintah Jepang.

Ini negeri yang luar biasa. Negeri yang sumber daya alamnya sangat terbatas. Negeri yang alamnya keras, tetapi bisa maju luar biasa dan mempunyai mental sekuat baja karena : falsafah gambaru-nya itu.

Bisa dikatakan, orang-orang Jepang ini tidak mempunyai apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru sudah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.

Benar sekali, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa "menyalahkan" Tuhan, mengatakan: ini semua kehendak-Nya, Tuhan marah pada umat-Nya, Tuhan marah melalui alam maka tanyakan pada rumput yang bergoyang...!

I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, saya merasa bangsa kita tidak akan bisa maju.

Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari tidak berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup.

Jika diperjelas lagi, tidak berani bertanggungjawab itu maksudnya: lari dari masalah, tidak mau menghadapi masalah, saling menyalahkan, tidak mau berjuang dan baru menemui sedikit rintangan saja sudah menangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan: “untuk apa saya menuntut ilmu di Jepang? Apa yang dilakukan di Jepang, tidak ada gunanya. Kalau mau mengambil pasca sarjana (S2) atau doktoral (S3), ya di Eropa atau Amerika sekalian, kalau di Jepang mah tanggung. Begitulah kata beliau,”

Saya sempat memikirkan juga perkataannya itu. Iya ya, kalau mau go international, ya semestinya ke Amerika atau Eropa sekalian, bukannya ke Jepang ini. Jepang toh sama-sama Asia, negeri kecil pula dan kalau tidak bisa berbahasa Jepang, tidak akan bisa bertahan di sini. Sampai saya sempat menyesal juga,kenapa saya memperdalam sastra Jepang dan bukan sastra Inggris atau sastra barat lainnya.

Tapi sekarang, saya bisa mengatakan dengan yakin sama sanak keluarga yang menyatakan tidak ada gunanya saya menuntut ilmu di Jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya.


Mental gambaru itu yang paling memegang adalah Jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai jalan hidup adalah lebih berharga dari pada goes international dan sejenisnya itu. 

Benar, sastra Jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang habis-habisan biar sudah tidak ada jalan, saya rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua itu adalah di Jepang.

Dan saya bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika saya mendengar kata
gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya Joanna atau di mana pun itu, saya tidak akan lagi merasa muak jiwa raga.

Sebaliknya, saya akan mengucapkan dengan rendah hati : 
Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. 

(Saya mengucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang setiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang). 
Say YES to GAMBARU!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhanalloh, bagus sekali artikelnya.

GAMBARU dalam istilah bahasa jepang ada kemiripan maknanya dengan makna istilah JIHAD dalam bahasa arab. Namun JIHAD memiliki makna yang lebih luas, tidak hanya dalam konteks duniawi tetapi juga ukhrowi (akhirat).

Jihad smemiliki makna bersungguh-sungguh menumpahkan segenap kemampuan untuk berjuang meraih kesuksesan secara universal (dunia dan akhirat).

N Dra

NB: Pak Semy, diantos artikel tentang 'atlantis' na. :-).

Semy Havid mengatakan...

Terimakasih pak, info ttg JIHAD nya. Mengenai Atlantis sedang dipersiapkan. Insya Allah dalam waktu dekat ini bisa di upload.
Salam,
Semy