Sabtu, Maret 05, 2016

PolitiKing

“Begini ya…, sampeyan maju saja, nanti semuanya kita atur!”
“Lha, saya nggak ada duit?”
“Sudah, beres. Ikuti saja arahan kita!”
“ Siaaap!”
“Pokoke, gampanglah… semuanya sudah beres, sudah kita atur ya!”

Itulah sepenggal dialog, tepatnya sebuah kesepakatan  dua begundal di sebuah hotel berbintang sebuah  kota kecil, di Jawa Timur, menjelang  Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 di Indonesia.

Maka pada hari dan jadwal yang ditentukan, kedua pasang calon (paslon) itu pun maju, mendaftarkan diri sesuai tatacara dan prosedur yang telah ditentukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Dari titik awal kegiatan inilah, kemudian berbagai tahapan pemilukada di kabupaten itu, berjalan. Seperti rekrutmen petugas, penyediaan alat peraga dan kampaye.  Malah ada pula, debat publik, yang materinya sudah dikavling sesuai kesepakatan paslon.

Para politisi di belakang layar sudah punya hitungan di kantong celana. Kalkulasi di atas
Memilih Genderuwo
kertas sudah jelas. Calon petahana (incumbent) yang didukung hampir seluruh partai politik berkuasa, jelas unggul. Dia berada jauh di atas angin dari kompetitornya, yang tidak dikenal publik tetapi  tiba-tiba dimunculkan dari jalur independen sebagai ‘ boneka’ rekayasa.

Media massa dan Pers lokal pun bekerja cepat. Mereka mulai memblow-up dengan kencang!  Rakyat pemilih pun tahu dari menonton televisi, melihat banner, baliho dan spanduk yang meramaikan jalan-jalan protocol hingga ke pelosok kampung .

Aparat daerah, mulai dari KPUD, PNS, Polisi dan Satpol PP pun tak mau ketinggalan. Mereka bergerak cepat, menyediakan fasilitas istimewa, pengamanan 1x24 jam dengan segala privilege yang selayaknya diberikan kepada calon pemimpin sebuah kabupaten. Dan mesin politik pun bekerja. Para cecunguk oportunis pun, segera menyingsingkan lengan baju dengan semangat, karena ekspektasi hidup yang lebih makmur kelak.

Tahapan Pilkada 2015
Benar saja, hasil hitung cepat yang dilansir beberapa jam usai pencoblosan tak jauh dari kalkulasi awal. 

Seusai para pemilih terakhir meninggalkan bilik suara, sudah bisa diketahui hasilnya: calon independen cuma mendapat kurang dari 12,5,% suara, selebihnya   87,5% digondol sang petahana. Tak ada yang menggugat, meski masa sanggahan dibuka lebar di Mahkamah Konstitusi.

Maka pesta demokrasi yang menelan biaya sebesar Rp 27 Miliar itu, usai sudah. Ini hanya sebuah potret Pemilukada di sebuah Kabupaten, 1 dari 269 Daerah yang menyelenggarakan Pemilu serentak, yang menelan baya seluruh provinsi Jatim sebesar Rp 610 Miliar. Dan seluruh Indonesia menyedot anggaran sebesar RP. 6,7 Triliun, yang diselenggarakan atas nama Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

 Sebuah window dressing yang menunjukkan kepada dunia, seolah-olah Indonesia telah melaksanakan demokrasi di level bawah dengan pemilihan langsung. 

Apa yang terjadi selanjutnya? Usai hajat akbar pesta demokrasi itu, ada janji yang kemudian ditagih, ada hutang yang harus dibayar. Maka, kontrak 'dagang sapi' terus berlanjut, hingga ke proyek-proyek yang didanai APBD, yang nota bene adalah amanat yang dipungut dari pajak hasil keringat rakyat.

Memang tak ada yang bisa mengontrol permufakatan jahat para politisi, tetapi hati nurani kita akan terus terusik. Meski berkali-kali kemudian dicuci habis di tanah suci.  Kecuali pelakunya mendatangi satu persatu konstituen pemilih untuk meminta maaf. 

Nah, bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar: