“Begini ya…, sampeyan maju saja, nanti
semuanya kita atur!”
“Lha, saya nggak ada duit?”
“Sudah, beres. Ikuti saja arahan kita!”
“ Siaaap!”
“Pokoke, gampanglah… semuanya sudah beres,
sudah kita atur ya!”
Itulah sepenggal dialog, tepatnya
sebuah kesepakatan dua begundal di
sebuah hotel berbintang sebuah kota
kecil, di Jawa Timur, menjelang Pilkada serentak
tanggal 9 Desember 2015 di Indonesia.
Maka pada hari dan jadwal yang
ditentukan, kedua pasang calon (paslon) itu pun maju, mendaftarkan diri sesuai
tatacara dan prosedur yang telah ditentukan Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD).
Para politisi di belakang layar sudah
punya hitungan di kantong celana. Kalkulasi di atas
kertas sudah jelas. Calon
petahana (incumbent) yang didukung hampir seluruh partai politik berkuasa,
jelas unggul. Dia berada jauh di atas angin dari kompetitornya, yang tidak
dikenal publik tetapi tiba-tiba dimunculkan
dari jalur independen sebagai ‘ boneka’ rekayasa.
Memilih Genderuwo |
Media massa dan Pers lokal pun bekerja
cepat. Mereka mulai memblow-up dengan kencang! Rakyat pemilih pun tahu dari menonton televisi,
melihat banner, baliho dan spanduk yang meramaikan jalan-jalan protocol hingga
ke pelosok kampung .
Aparat daerah, mulai dari KPUD, PNS,
Polisi dan Satpol PP pun tak mau ketinggalan. Mereka bergerak cepat,
menyediakan fasilitas istimewa, pengamanan 1x24 jam dengan segala privilege yang
selayaknya diberikan kepada calon pemimpin sebuah kabupaten. Dan mesin politik
pun bekerja. Para cecunguk oportunis pun, segera menyingsingkan lengan baju
dengan semangat, karena ekspektasi hidup yang lebih makmur kelak.
Tahapan Pilkada 2015 |
Benar saja, hasil hitung cepat yang
dilansir beberapa jam usai pencoblosan tak jauh dari kalkulasi awal.
Seusai para pemilih terakhir meninggalkan bilik suara, sudah bisa diketahui hasilnya: calon independen cuma mendapat kurang dari 12,5,% suara, selebihnya 87,5% digondol sang petahana. Tak ada yang menggugat, meski masa sanggahan dibuka lebar di Mahkamah Konstitusi.
Seusai para pemilih terakhir meninggalkan bilik suara, sudah bisa diketahui hasilnya: calon independen cuma mendapat kurang dari 12,5,% suara, selebihnya 87,5% digondol sang petahana. Tak ada yang menggugat, meski masa sanggahan dibuka lebar di Mahkamah Konstitusi.
Maka pesta demokrasi yang menelan
biaya sebesar Rp 27 Miliar itu, usai sudah. Ini hanya sebuah potret Pemilukada di sebuah Kabupaten, 1 dari 269
Daerah yang menyelenggarakan Pemilu serentak, yang menelan baya seluruh provinsi
Jatim sebesar Rp 610 Miliar. Dan seluruh Indonesia menyedot anggaran sebesar
RP. 6,7 Triliun, yang diselenggarakan atas nama Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Sebuah window dressing yang menunjukkan kepada dunia, seolah-olah Indonesia telah melaksanakan demokrasi di level bawah dengan pemilihan langsung.
Apa yang terjadi selanjutnya? Usai hajat akbar pesta demokrasi itu, ada janji yang kemudian ditagih, ada hutang yang harus dibayar. Maka, kontrak 'dagang sapi' terus berlanjut, hingga ke proyek-proyek yang didanai APBD, yang nota bene adalah amanat yang dipungut dari pajak hasil keringat rakyat.
Memang tak ada yang bisa mengontrol permufakatan jahat para politisi, tetapi hati nurani kita akan terus terusik. Meski berkali-kali kemudian dicuci habis di tanah suci. Kecuali pelakunya mendatangi satu persatu konstituen pemilih untuk meminta maaf.
Nah, bagaimana pendapat Anda?
Sebuah window dressing yang menunjukkan kepada dunia, seolah-olah Indonesia telah melaksanakan demokrasi di level bawah dengan pemilihan langsung.
Apa yang terjadi selanjutnya? Usai hajat akbar pesta demokrasi itu, ada janji yang kemudian ditagih, ada hutang yang harus dibayar. Maka, kontrak 'dagang sapi' terus berlanjut, hingga ke proyek-proyek yang didanai APBD, yang nota bene adalah amanat yang dipungut dari pajak hasil keringat rakyat.
Memang tak ada yang bisa mengontrol permufakatan jahat para politisi, tetapi hati nurani kita akan terus terusik. Meski berkali-kali kemudian dicuci habis di tanah suci. Kecuali pelakunya mendatangi satu persatu konstituen pemilih untuk meminta maaf.
Nah, bagaimana pendapat Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar