Rabu, Februari 24, 2016

Pengendali Iklim Global yang Terabaikan: Siapa Peduli Gambut?

" Simpanan karbon di kawasan gambut jauh lebih besar 
dari pada hutan primer  sehingga gambut dapat 
disebut sebagai pengendali iklim global

Lahan Gambut
Akhir-akhir ini, kita yang tinggal di Indonesia dengan iklim tropis merasakan adanya perubahan iklim. Jika turun hujan, udara terasa lebih dingin dari biasanya, Namun kadang berubah dengan cepat menjadi panas yang membuat udara terasa gerah. Entah apa yang dirasakan oleh mereka yang tinggal di kawasan yang memiliki empat musim (?)

Benarkah telah terjadi perubahan iklim global? Kebanyakan diantara kita, memang tak mau pusing. Tapi, ada baiknya kita telisik sedikit, soal hutan kita. Khususnya kawasan hutan gambut.

Mengapa Gambut?
Indonesia memiliki lahan gambut yang sangat luas, sekitar 9-11% dari luas daratan di Indonesia.2Dan merupakan negara keempat dengan lahan gambut terbesar di dunia setelah Kanada, Rusia dan USA. Sebagian besar lahan gambut terdapat di Papua, Sumatera dan Kalimantan yang terletak di 12 Provinsi.

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi yang terbentuk ribuan tahun yang lalu. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum karena kondisi lingkungannya yang jenuh air.

Lahan gambut banyak dijumpai di daerah dataran banjir, rawa belakang, laguna tepi pantai, danau dangkal atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Dari sudut pandang ekologi, ekosistem gambut berperan sebagai: 

Kawasan simpanan karbon (carbon stock) yang sangat besar (setidaknya 25% karbon daratan terdapat di lahan gambut). Simpanan karbon di kawasan gambut jauh lebih besar dari pada hutan primer sehingga gambut dapat disebut sebagai pengendali iklim global.

Gambut merupakan, penyangga hidrologis pada wilayah yang bergunung dan berbukit seperti di Pulau Jawa, keseimbangan hidrologisnya tergantung pada terjaganya ekosistem hulu DAS. Pada wilayah dataran seperti Kalimantan keberadaan ekosistem gambut, khususnya kubah gambut, dapat dipandang sebagai kawasan penyangga fungsi hidrologis yang vital.

Gambut merupakan habitat biodiversity karena terdapat sejumlah spesies endemik yang hanya dapat tumbuh di ekosistem gambut. Begitu hebatnya fungsi gambut. Namun dewasa ini, lahan gambut kian banyak dirambah dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Meski, sebenarnya:

 “Lahan gambut merupakan lahan marginal untuk pertanian 
karena kesuburannya yang rendah, 
pH sangat masam, dan keadaan drainasenya yang jelek. 
Akan tetapi karena keterbatasan lahan bertanah mineral, 
ekstensifikasi pertanian ke lahan gambut tidak dapat dihindari 
utamanya untuk kegiatan pertanian dan perkebunan”.

Tidak sedikit kegiatan pembukaan lahan tersebut lebih dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengalahkan pertimbangan lingkungan untuk kepentingan jangka panjang.

 Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2015 merencanakan pemulihan lahan gambut seluas 50 Ha, dengan cara merehabilitasi lahan dengan vegetasi jenis adaptif dan dengan metode tata kelola air dengan membangun sekat kanal (tabat).

Namun, rencana pelaksanaan pemulihan dengan cara tersebut tidak bisa dilaksanakan karena terkendala kemarau berkepanjangan (el nino), diperburuk lagi dengan terjadinya bencana kebakaran hutan terutama di lahan gambut.

Sekitar 500 Ha lahan gambut
di Jambi, belum lama ini terbakar
(foto; nasional.tempo.co)
Menghadapi situasi dan kondisi iklim yang tidak mendukung, maka para pakar gambut di sana sepakat untuk memilih pemulihan lahan gambut dengan metode tata kelola air dengan membangun penyekatan saluran/kanal (tabat). Metode ini bertujuan agar lahan gambut yang kering dapat dibasahi kembali (re-wetting).

Hingga akhir 2015 diperkirakan sekitar 173 Ha lahan gambut yang terpulihkan, meski jumlah yang rusak mencapai ribuan hektar.  beberapa lokasi yang terpulihkan diantaranya di:
  • Kelurahan Pelintung, Kec. Medang Kampai, Dumai, Riau, dibuat 2 sekat kanal dengan estimasi luas gambut terpulihkan 49 Ha. 
  • Desa Kampung Jawa, Kel. Sungai Pakning, Kec. Bukit Batu, Bengkalis, Riau (3 sekat kanal = 14 Ha.
  • Desa Tumbang Nusa, Kec. Mentangai, Kab. Pulau Pisau, Kalimantan Tengah (3 sekat kanal= 40 Ha).
  • Desa Mentangai Hulu, Kec. Mentangai, Kab. Kapuas, Kalteng (2 Unit = 50 Ha).
  • Desa Sungai Rasau, Kec. Sungai Pinyu, Kab. Mempawah, Kalbar (2 unit sekat tabat = 20 Ha).
  • Jumlah 12 unit sekat tabat telah dibangun dengan estimasi 173 Ha lahan gambut terpulihkan. 
Keberhasilan pemulihan lahan gambut seperti tersebut di atas disamping faktor metode yang dipilih juga berdasarkan lokasi dari hasil inventarisasi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan pemetaan skala 1 : 50.000.
Adapun sumber informasi yang digunakan untuk pemetaan tersebut adalah Peta Indikatif Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional dengan skala 1:250.000 yang telah sejalan dengan kebijakan satu peta (One Map Policy).

Disamping itu, dengan adanya pembangunan sekat kanal (tabat) juga dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitarnya, antara lain dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari dan juga dapat dijadikan sebagai sumber cadangan air untuk pemadaman api bila terjadi kebakaran hutan.

Di Indonesia diperkirakan terdapat 673 kesatuan hidrologis gambut. Namun banyak pihak yang belum memahami dengan baik karakter lahan gambut. Misalnya, orang yang menanam komoditas perkebunan di lahan gambut dan kemudian ketika akan membersihkan lahan dilakukan dengan pembakaran.

Kapolres Indragiri Hulu,
AKBP Ari Wibowo,
menunaikan shalat dzuhur
di tengah upaya pemadaman
 lahan gambut yang terbakar
(foto: tribrata.news)
Padahal lahan gambut adalah lahan yang mudah terbakar dan kalau sudah terbakar akan sulit sekali dipadamkan, sehingga proses pembakaran lahan gambut adalah kesalahan yang fatal dan beresiko.

Akibatnya, lahan gambut yang semestinya menyerap dan menahan air tidak dapat berfungsi, sehingga menyebabkan kebanjiran di musim hujan dan kebakaran di musim kemarau.

Berbagai upaya penyelamatkan lahan gambut di Indonesia yang rusak, telah dilakukan berbagai pihak, diantaranya oleh pemerintah, LSM, swasta maupun masyarakat. Namun, upaya tersebut pada umumnya dilaksanakan dalam skala kecil tersebar di berbagai lokasi dan belum memperlihatkan hasil yang signifikan.

Diperlukan upaya terpadu dan terkoordinasi, serta hasil kegiatannya terpantau, sehingga dapat dievaluasi dan dilaporkan sebagai acuan dalam memperluas kegiatan tersebut ke berbagai lokasi lahan gambut di seluruh Indonesia. 

Upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memang belum seberapa dibandingkan luas lahan gambut yang terdegradasi, malah terbakar karena sebagian orang ingin membuka lahan pertanian. Mari kita peduli dengan pemulihan lahan gambut, setidaknya jangan membuka lahan pertanian di kawasan gambut, supaya lingkungan yang kita diami ini tetap terjaga. 
(Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Tidak ada komentar: