Kamis, Februari 25, 2016

Jumat Keramat Bagi Tersangka Koruptor

Ini cerita lama, dua tahun silam, ketika saya mengikuti ‘perjalanan’ singkat sepasang suami istri yang kebetulan seorang Bupati dan anggota DPRD tersangka Koruptor. Keduanya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait pemberian izin pembangunan kawasan superblock mall di Karawang.

Kita flashback sejenak. Laman Kompas.com edisi 15 April 2015, menurunkan  berita:  
Ade Swara dan Istri, Hj. Nurlatifah,
ketika membacakan nota pembelaan
(pledooi) di PN Tipikor Bandung

Bupati Karawang nonaktif Ade Swara divonis hukuman enam tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsidair empat bulan kurungan dalam kasus dugaan pemerasan, penyuapan dan pencucian uang terkait pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) PT Tatar Kertabumi di Kabupaten Karawang dan pencucian uang.

Sementara itu, dalam dakwaan yang sama, istrinya, Nurlatifah, divonis hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. 



Putusan ini dibacakan Majelis Hakim Joko Indiarto pada sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan RE Martadinata, Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/4/2015). Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan sebelumnya, yakni delapan tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsider empat bulan kurungan untuk Ade dan tujuh tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan untuk Nurlatifah.

Sudah jadi rahasia umum, di kalangan nyamuk-nyamuk pers yang biasa meliput di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apabila ada pejabat Negara yang ditangkap KPK di hari jumat, biasanya langsung dijebloskan ke tahanan.  Ini lazim disebut Jumat Keramat.

Penahanan biasanya setelah melalui proses sebagai saksi kemudian yang bersangkutan berubah statusnya menjadi Tersangka (TSK). Ketika menjadi saksi, (seseorang yang diduga melihat, mendengar dan/atau mengetahui adanya kejahatan tindak pidana korupsi), diperiksa juga sejauhmana keterlibatannya  dalam kasus tersebut. Jika ada indikasi kuat, maka naiklah statusnya menjadi TSK.

Setelah menjadi TSK lantas dia duduk di kursi panas, maka  berubah statusnya menjadi  TERDAKWA, yang harus siap  menghadapi serangkaian dakwaan. Dan terakhir,  dia berubah lagi  statusnya menjadi TERPIDANA (apabila  sudah divonis berdasarkan  kekuatan hukum yang tetap). Dan proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan. Bisa 3 bulan, bisa 10 bulan, bisa satu tahun, bahkan bisa pula bertahun-tahun,  untuk setiap perubahan dari status TSK menjadi Terdakwa lalau TERPIDANA. Dan selama menjadi TSK tidak harus yang bersangkutan berada di balik terali besi. Bisa saja, berada di luar (bekerja seperti biasa).

Apa yang dialami Bupati Karawang  (non aktif) Ade  berbeda. Dia langsung dijebloskan ke bui karena terjerat  dalam suatu operasi dadakan yang disebut OTT (Operasi Tangkap Tangan).  Yang menyedihkan, tak hanya Ade, yang  digiring tetapi sekaligus bersama Nulatifah, yang tiada lain istrinya yang kebetulan juga seorang anggota dewan (DPRD) Karawang.

Rutan Cipinang, Jakarta Timur,
sudah melebihi daya tampung.
Tentunya, mereka ditahan terpisah atau sengaja dipisahkan supaya tidak ada komunikasi atau kesepakatan atau persekongkolan  diantara keduanya, dalam menghadapi perkara yang bakal dituduhkan kepada mereka. 

Dengan demikian, aparat penyidik KPK berharap mendapatkan informasi yang lebih akurat dan jujur dari tersangka, sesuai peranan dan keterlibatan masing-masing .

Kemana mereka ditahan? Karena lembaga ekstra judicial ini tidak memiliki cabang di daerah -- meskipun kasus ini terjadi di daerah – KPK sudah menyediakan beberapa tempat ‘penampungan’ sementara. Ada yang dikirim ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Guntur, Jakarta Pusat, yang terkenal temboknya berhawa dingin, kalau malam hari karena bangunannya peninggalan zaman Belanda. 

Ada pula yang dikirm ke rutan POLDA Metro Jaya, dan ada pula yang ditempatkan di Rutan Cipinang. Tetapi ada  juga yang ditempatkan di basement bawah tanah, gedung KPK sendiri, di kawasan Kuninga, Jakarta. Status nya adalah tahanan titipan KPK, yang ditempatkan (untuk sementara) di sana. Sejak dari masa persidangan, sampai jatuh  vonis yang berkekuatan hukum tetap.

Jika upaya hukum dianggap telah final, seorang tahanan KPK biasanya dikirim ke LP Sukamiskin, Bandung, penjara yang pernah dihuni Bung Karno di masa kolonial dulu. Ada juga yang dikirimkan ke LP kelas II Cibinong, Bogor. Bagi tersangka kasus Tipikor  perempuan, biasanya dikirim ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.   

Lantas apa yang dialami terdakwa Ade begitu dijebloskan? Tentu ia menjalani hari-hari yang berat. Seketika, seluruh kebanggaan dan harga dirinya selaku Bupati atau kepala daerah itu, langsung rontok! Itu pasti. Bayangkan saja, seketika dia ditahan, segala peralatan komunikasi disita. Pakaiannya diganti dengan pakaian khusus oranye (seperti kesebelasan Belanda) dengan tulisan TAHANAN KPK.

Kemudian, dan ini yang lebih menyedihkan, seperti sering kita lihat di film-film atau layar televisi, yang bersangkutan kemudian dipotret  dengan cahaya blitz yang kuat dan tajam. Diambil  gambarnya dari berbagai arah…. sambil mengenakan seragam barunya seraya memegang papan tulis hitam  di dada, bertuliskan nomor perkara dan kasusnya!

Pada saat itulah,  sehebat apapun posisi, pangkat dan jabatan  seseorang  di mata masyarakat,  akan langsung jatuh terkulai! Seakan tak mampu lagi berdiri tegak bak benang basah. Sebab ia menjadi sama saja dengan manusia biasa alias tidak berbeda dengan para pelaku kejahatan kriminal lainnya.

Masih di hari Jumat, begitu masuk sel tahanan tak seorangpun diperbolehkan untuk melihat apalagi menemuinya. Semua kontak dengan dunia luar terputus. Tak ada kabar yang bisa diperoleh dari Jumat, Sabtu dan Minggu,  hingga hari Senin atau Selasa, setelah pihak keluarga atau pengacara yang ditunjuk mengajukan permohonan kepada KPK untuk menemuinya.

ruang tahanan 
Kantor KPK Sabtu dan Minggu libur. Tidak ada yang bisa ditemui di hari itu. Pihak  KPK baru menerima tamu yang akan  meminta izin bezoek pada hari kerja. Ijin biasanya diberikan  hanya kepada orang-orang yang jelas memiliki pertalian keluarga saja dan/atau kuasa hukumnya.  

Pada kunjungna pertama itulah, pihak keluarga membawa segala perbekalan bagi Ade, seperti pakaian ganti  dan makanan kesukaannya, setelah melalui pemeriksaan yang ketat para petugas security. Biasanya peralatan sholat dan Al Quran atau kitab suci lainnya, bagi non muslim menjadi bacaan yang mulai terasa sangat penting!

Tersangka yang ditangkap di hari Jumat, biasanya merasa sangat terpukul karena langsung terputus dari dunia luar selama 3x24 jam. Dengan mengikuti segala aturan main yang berlaku di dalam sel tahanan. Mulai dari makanan yang hanya sepiring nasi pera dengan sekerat tempe saja. Tak ada yang lain. Bagi orang yang terbiasa hidup enak dan nyaman, pasti akan menolak kalau tidak merasa lapar yang sangat.

Di sebuah ruangan bersama itulah, Terpidana harus berbaur dengan macam-macam manusia dengan beragam karakternya. Ada yang sangar, beringas, dengan tato sekujur tubuh  dengan mata menyala-nyala ketika melihat ‘pendatang’ baru. Ada juga  preman, pencuri, maling sandal jepit, pecandu narkoba, bahkan konon ada juga penderita HIV AIDS. 

Mereka  bergabung  di satu ruangan selama 3 hari itu, dan tidur bergeletakan bak ikan sarden di lantai beralas ubin tanpa hawa pendingin (AC) atau kipas angin. Beragam bau amis dan keringat dari orang-orang dengan beragam sifat dan kelakuannya, terasa menyengat menjadi satu. Belum lagi tekanan psikis dari lingkungan sekitarnya, terasan menekan.

Hanya satu yang diharapkan seorang tahanan: ada seseorang yang segera darang berkunjung menemuinya. Jika sudah tiba saatnya, jam berkunjung,  pihak keluarga pun datang,  maka  disaat inilah …banjir air mata penyesalan merasuk ke dalam diri seorang tersangka.  Pertanyaan yang terus menerus mengganggu adalah: “Apa yang telah saya lakukan? Mengapa Saya Berada di Sini? Dan… Saya Tidak Bersalah”  

Yang lebih menyedihkan, Bupati  Ade ditahan bersama sang istri Hj. NR di tempat terpisah. Mengingat ketika ditangkap 18 Juli 2014, memasuki bulan puasa, maka dipastikan mereka tidak bisa berlebaran seperti biasanya, di kediaman yang asri di Cilamaya, Karawang atau rumah Dinas Bupati yang megah dan nyaman, tetapi justru mendekam sel  tahanan masing-masing. Ade di tahanan Guntur  dan sang Bunda di lantai basement gedung KPK. Dan ini baru hukuman di dunia.  

Sungguh berat memang menjadi seorang pemimpin yang amanah itu. Anehnya, begitu banyak orang yang tak peduli dan berlomba-lomba (bahkan dengan berbagai cara pula) untuk bisa meraihnya.

Tidak ada komentar: