Ini cerita lama, dua tahun silam, ketika
saya mengikuti ‘perjalanan’ singkat sepasang suami istri yang kebetulan seorang
Bupati dan anggota DPRD tersangka Koruptor. Keduanya ditahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait pemberian izin pembangunan kawasan superblock
mall di Karawang.
Kita flashback sejenak. Laman Kompas.com edisi 15 April 2015, menurunkan berita:
Ade Swara dan Istri, Hj. Nurlatifah, ketika membacakan nota pembelaan (pledooi) di PN Tipikor Bandung |
“Bupati Karawang nonaktif Ade Swara divonis hukuman enam tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsidair empat bulan kurungan dalam kasus dugaan pemerasan, penyuapan dan pencucian uang terkait pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) PT Tatar Kertabumi di Kabupaten Karawang dan pencucian uang.”
Sementara itu, dalam dakwaan yang sama, istrinya, Nurlatifah, divonis hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Putusan ini dibacakan Majelis Hakim Joko Indiarto pada sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan RE Martadinata, Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/4/2015). Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan sebelumnya, yakni delapan tahun penjara dengan denda Rp 400 juta subsider empat bulan kurungan untuk Ade dan tujuh tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan untuk Nurlatifah.
Sudah jadi rahasia umum, di kalangan nyamuk-nyamuk
pers yang biasa meliput di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
apabila ada pejabat Negara yang ditangkap KPK di hari jumat, biasanya langsung
dijebloskan ke tahanan. Ini lazim
disebut Jumat Keramat.
Setelah menjadi TSK lantas dia duduk di kursi panas, maka berubah statusnya menjadi TERDAKWA, yang harus siap menghadapi serangkaian dakwaan. Dan terakhir, dia berubah lagi statusnya menjadi TERPIDANA (apabila sudah divonis berdasarkan kekuatan hukum yang tetap). Dan proses ini
bisa memakan waktu berbulan-bulan. Bisa 3 bulan, bisa 10 bulan, bisa satu tahun,
bahkan bisa pula bertahun-tahun, untuk
setiap perubahan dari status TSK menjadi Terdakwa lalau TERPIDANA. Dan selama
menjadi TSK tidak harus yang bersangkutan berada di balik terali besi. Bisa
saja, berada di luar (bekerja seperti biasa).
Apa yang dialami Bupati Karawang (non aktif) Ade berbeda. Dia langsung dijebloskan ke bui
karena terjerat dalam suatu operasi
dadakan yang disebut OTT (Operasi Tangkap Tangan). Yang menyedihkan, tak hanya Ade, yang digiring tetapi sekaligus bersama Nulatifah, yang
tiada lain istrinya yang kebetulan juga seorang anggota dewan (DPRD) Karawang.
Rutan Cipinang, Jakarta Timur, sudah melebihi daya tampung. |
Tentunya, mereka ditahan terpisah atau
sengaja dipisahkan supaya tidak ada komunikasi atau kesepakatan atau
persekongkolan diantara keduanya, dalam
menghadapi perkara yang bakal dituduhkan kepada mereka.
Dengan demikian, aparat penyidik KPK berharap mendapatkan informasi yang lebih akurat dan jujur dari tersangka, sesuai peranan dan keterlibatan masing-masing .
Dengan demikian, aparat penyidik KPK berharap mendapatkan informasi yang lebih akurat dan jujur dari tersangka, sesuai peranan dan keterlibatan masing-masing .
Kemana mereka ditahan? Karena lembaga
ekstra judicial ini tidak memiliki cabang di daerah -- meskipun kasus ini
terjadi di daerah – KPK sudah menyediakan beberapa tempat ‘penampungan’
sementara. Ada yang dikirim ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Guntur, Jakarta
Pusat, yang terkenal temboknya berhawa dingin, kalau malam hari karena
bangunannya peninggalan zaman Belanda.
Ada pula yang dikirm ke rutan POLDA Metro Jaya, dan ada pula yang ditempatkan di Rutan Cipinang. Tetapi ada juga yang ditempatkan di basement bawah tanah, gedung KPK sendiri, di kawasan Kuninga, Jakarta. Status nya adalah tahanan titipan KPK, yang ditempatkan (untuk sementara) di sana. Sejak dari masa persidangan, sampai jatuh vonis yang berkekuatan hukum tetap.
Ada pula yang dikirm ke rutan POLDA Metro Jaya, dan ada pula yang ditempatkan di Rutan Cipinang. Tetapi ada juga yang ditempatkan di basement bawah tanah, gedung KPK sendiri, di kawasan Kuninga, Jakarta. Status nya adalah tahanan titipan KPK, yang ditempatkan (untuk sementara) di sana. Sejak dari masa persidangan, sampai jatuh vonis yang berkekuatan hukum tetap.
Jika upaya hukum dianggap telah final,
seorang tahanan KPK biasanya dikirim ke LP Sukamiskin, Bandung, penjara yang
pernah dihuni Bung Karno di masa kolonial dulu. Ada juga yang dikirimkan ke LP kelas II Cibinong, Bogor. Bagi tersangka kasus
Tipikor perempuan, biasanya dikirim ke Rutan
Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Lantas apa yang dialami terdakwa Ade begitu dijebloskan? Tentu ia menjalani hari-hari yang berat. Seketika, seluruh
kebanggaan dan harga dirinya selaku Bupati atau kepala daerah itu, langsung rontok!
Itu pasti. Bayangkan saja, seketika dia ditahan, segala peralatan komunikasi
disita. Pakaiannya diganti dengan pakaian khusus oranye (seperti kesebelasan
Belanda) dengan tulisan TAHANAN KPK.
Kemudian, dan ini yang lebih
menyedihkan, seperti sering kita lihat di film-film atau layar televisi, yang
bersangkutan kemudian dipotret dengan cahaya
blitz yang kuat dan tajam. Diambil
gambarnya dari berbagai arah…. sambil mengenakan seragam barunya seraya
memegang papan tulis hitam di dada,
bertuliskan nomor perkara dan kasusnya!
Pada saat itulah, sehebat apapun posisi, pangkat dan
jabatan seseorang di mata masyarakat, akan langsung jatuh terkulai! Seakan tak mampu
lagi berdiri tegak bak benang basah. Sebab ia menjadi sama saja dengan manusia
biasa alias tidak berbeda dengan para pelaku kejahatan kriminal lainnya.
Masih di hari Jumat, begitu masuk sel
tahanan tak seorangpun diperbolehkan untuk melihat apalagi menemuinya. Semua
kontak dengan dunia luar terputus. Tak ada kabar yang bisa diperoleh dari
Jumat, Sabtu dan Minggu, hingga hari
Senin atau Selasa, setelah pihak keluarga atau pengacara yang ditunjuk
mengajukan permohonan kepada KPK untuk menemuinya.
ruang tahanan |
Kantor KPK Sabtu dan Minggu libur.
Tidak ada yang bisa ditemui di hari itu. Pihak KPK baru menerima tamu yang akan meminta izin bezoek pada hari kerja. Ijin
biasanya diberikan hanya kepada orang-orang
yang jelas memiliki pertalian keluarga saja dan/atau kuasa hukumnya.
Pada kunjungna pertama itulah, pihak keluarga membawa segala perbekalan bagi Ade, seperti pakaian ganti dan makanan kesukaannya, setelah melalui pemeriksaan yang ketat para petugas security. Biasanya peralatan sholat dan Al Quran atau kitab suci lainnya, bagi non muslim menjadi bacaan yang mulai terasa sangat penting!
Pada kunjungna pertama itulah, pihak keluarga membawa segala perbekalan bagi Ade, seperti pakaian ganti dan makanan kesukaannya, setelah melalui pemeriksaan yang ketat para petugas security. Biasanya peralatan sholat dan Al Quran atau kitab suci lainnya, bagi non muslim menjadi bacaan yang mulai terasa sangat penting!
Tersangka yang ditangkap di hari Jumat,
biasanya merasa sangat terpukul karena langsung terputus dari dunia luar selama
3x24 jam. Dengan mengikuti segala aturan main yang berlaku di dalam sel
tahanan. Mulai dari makanan yang hanya sepiring nasi pera dengan sekerat tempe
saja. Tak ada yang lain. Bagi orang yang terbiasa hidup enak dan nyaman, pasti
akan menolak kalau tidak merasa lapar yang sangat.
Di sebuah ruangan bersama itulah, Terpidana harus berbaur dengan macam-macam manusia dengan beragam karakternya. Ada yang
sangar, beringas, dengan tato sekujur tubuh
dengan mata menyala-nyala ketika melihat ‘pendatang’ baru. Ada juga preman, pencuri, maling sandal jepit, pecandu
narkoba, bahkan konon ada juga penderita HIV AIDS.
Mereka bergabung di satu ruangan selama 3 hari itu, dan tidur bergeletakan bak ikan sarden di lantai beralas ubin tanpa hawa pendingin (AC) atau kipas angin. Beragam bau amis dan keringat dari orang-orang dengan beragam sifat dan kelakuannya, terasa menyengat menjadi satu. Belum lagi tekanan psikis dari lingkungan sekitarnya, terasan menekan.
Mereka bergabung di satu ruangan selama 3 hari itu, dan tidur bergeletakan bak ikan sarden di lantai beralas ubin tanpa hawa pendingin (AC) atau kipas angin. Beragam bau amis dan keringat dari orang-orang dengan beragam sifat dan kelakuannya, terasa menyengat menjadi satu. Belum lagi tekanan psikis dari lingkungan sekitarnya, terasan menekan.
Hanya satu yang diharapkan seorang
tahanan: ada seseorang yang segera darang berkunjung menemuinya. Jika sudah
tiba saatnya, jam berkunjung, pihak
keluarga pun datang, maka disaat inilah …banjir air mata penyesalan
merasuk ke dalam diri seorang tersangka. Pertanyaan yang terus menerus mengganggu
adalah: “Apa yang telah saya lakukan? Mengapa Saya Berada di Sini? Dan… Saya
Tidak Bersalah”
Yang lebih menyedihkan, Bupati Ade ditahan bersama sang istri Hj. NR di tempat
terpisah. Mengingat ketika ditangkap 18 Juli 2014, memasuki bulan puasa, maka dipastikan
mereka tidak bisa berlebaran seperti biasanya, di kediaman yang asri di
Cilamaya, Karawang atau rumah Dinas Bupati yang megah dan nyaman, tetapi justru
mendekam sel tahanan masing-masing. Ade di tahanan Guntur dan sang Bunda di lantai
basement gedung KPK. Dan ini baru hukuman di dunia.
Sungguh berat memang menjadi seorang pemimpin yang amanah itu. Anehnya, begitu banyak orang yang tak peduli dan berlomba-lomba (bahkan dengan berbagai cara pula) untuk bisa meraihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar