Senin, Januari 24, 2011

Mengapa Si Miskin Membayar Lebih Mahal untuk Air Minum? (Bagian 2)

REALITAS PDAM

Mengapa akses terhadap air minum masih terbatas dan (terkesan) diskriminatif?  Air Minum  yang (di Indonesia) harus diartikan: AIR BERSIH yang bisa dipergunakan untuk keperluan minum, merupakan sesuatu yang tidak dapat digantikan. Ketiadaan, kekurangan serta baik dan buruknya kualitas air, mempengaruhi secara langsung derajat kesehatan bahkan eksistensi keberadaan manusia itu sendiri. Jadi, masalah air sebenarnya persoalan ‘hidup dan mati’. 
Asosiasi yang paling bertanggungjawab
 terhadap kemajuan PDAM Indonesia

Air bersih dalam jumlah yang memadai merupakan kebutuhan vital,  terutama di kawasan perkotaan yang tidak mempunyai pilihan lain karena sumber-sumber airnya  (air tanah dan air permukaan) telah tercemar berbagai limbah polutan.

Beberapa kawasan di daerah-daerah perkotaan di Indonesia, memiliki tingkat kepadatan hunian yang tinggi, tidak sebanding dengan luas areal atau daya dukung lingkungannya. Biasanya, di situlah terjadinya kontaminasi dan pencemaran yang hebat, baik oleh limbah domestik maupun bacteri coli yang berasal dari tinja manusia. Karena itu, ketergantungan pasokan air bersih dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) menjadi sedemikian tinggi.

Ironisnya, cakupan pelayanan PDAM masih sangat terbatas. Kondisi demikian seringkali diperparah dengan mahalnya penyediaan air bersih alternatif serta buruknya sistem sanitasi, sehingga pada gilirannya merebak lah aneka jenis penyakit. Korban pun berjatuhan di mana-mana.

PDAM sebagai institusi resmi yang bertanggungjawab di dalam penyediaan dan pemasokan air minum (baca: air bersih) kepada masyarakat, ternyata berada dalam kondisi yang menyedihkan karena dibelit masalah hutang dan kinerjanya yang buruk. Cakupan pelayanannya pun, tidak seimbang  dibandingkan dengan jumlah penduduk dan luas area pelayanannya.

PDAM sebenarnya  telah ada sejak jaman baheula. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintahan kolonial Belanda  telah mendirikan cikal bakal perusahaan yang mengurus air minum bagi keperluan masyarakat. Di masa kemerdekaan, mulai Rencana Pelita I (tahun 1969-1974) yakni dimulainya era pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi, hingga Pelita V masalah air minum ditangani oleh Departemen PU di bawah Badan Pengelola Air Minum (BPAM), yang kemudian pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah masing-masing.

Hingga tahun 2004, menurut data PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia), jumlah PDAM yang telah menjadi anggota Perpamsi tercatat  sebanyak 306 PDAM yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dan keberadaannya sudah menjangkau Daerah Tingkat II bahkan terdapat di sejumlah ibukota kecamatan.

Dari jumlah itu, total kapasitas terpasang sebesar 95.540 liter/detik. Data statistik  menunjukkan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang terlayani sistem perpipaan, baru sekitar 38 % di perkotaan dan hanya 8% di perdesaan. Atau secara nasional baru mencapai sekitar 20%. Itu berarti,  baru mencapai sekitar  40 juta orang. Sedangkan sisanya, yakni  sekitar 80% persen dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, belum mendapat akses air minum perpipaan. Itulah prestasi yang dicapai PDAM dari sejak jaman penjajahan hingga mencapai 60 tahun usia Indonesia merdeka.
Profil instalasi pengolahan air bersih

Lambannya perkembangan PDAM baik dari segi cakupan maupun kualitas pelayanannya, ditengarai karena memiliki unjuk kerja yang ‘abnormal’. Seandainya PDAM bekerja normal dalam kapasitas yang paling minimal, maka setidaknya PDAM sudah bisa melayani kebutuhan air minum bagi sekitar 100 juta orang. Tetapi, realisasi yang ada hingga kini baru bisa memenuhi sekitar 40 juta jiwa.

Penyebabnya, ternyata dari 306 PDAM  tersebut sebagian besar  (91 persen) berada  dalam keadaan ‘sakit dan kurang gizi’. Terdapat empat  kategori PDAM, ditinjau dari aspek kinerja manajemennya, mulai dari: sangat sehat, cukup sehat, tidak sehat, hingga sangat tidak sehat. Ternyata, lebih dari 90% PDAM berada pada dua kategori terakhir.

Apakah kondisi demikian berkaitan dengan pola kepemilikan, budaya/kultur kerja  atau milieu yang mempengaruhinya, etos kerja karyawan,  keterampilan SDM yang rendah, keterbatasan dana pengembangan,  miskin investasi atau karena sifatnya yang monopolis sehingga tidak pernah terpacu untuk naik peringkat menjadi perusahaan yang sehat? 

Dipastikan, gabungan dari semua itulah penyebabnya. Yang membedakan setiap PDAM, hanyalah kadarnya. Ataukah memang benar pameo yang mengatakan bahwa selain Singapore Air Lines tidak ada lagi perusahaan  milik negara (BUMN/BUMD) di dunia ini yang sehat, mengingat fungsinya yang bersifat sosial? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita tinjau realitas keberadaan PDAM.

Kepemilikan PDAM setelah diserahkan Pemerintah Pusat — meskipun belum terbagi atas sejumlah  saham tertentu –  kini dikuasai (sepenuhnya atau sebagian) oleh masing-masing Pemerintah Daerah sebagai stakehoder utama.  Namun, Pemerintah Daerah sendiri memperlakukan PDAM sebagai aset yang dipisahkan dari administrasi keuangan Pemda, sehingga seluruh atau sebagian kebutuhan  finansial (termasuk keperluan pemeliharaan dan pengembangan), khususnya kepentingan biaya operasional pengolahan air dan administrasi, harus dipenuhi sendiri oleh PDAM yang bersangkutan.

Dilain pihak, sebagai sebuah perusahaan milik daerah, PDAM berkewajiban menyetor  sebagian keuntungannya (berkisar 45%-55%) kepada Pemda melalui pos Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga tidak mengherankan jika banyak direksi PDAM yang kemudian mengeluh bahwa pihaknya hanyalah menjadi ‘sapi perahan’ Gubernur, Bupati atau Walikota. Ada juga pihak Pemda yang menganggap bahwa PDAM hanyalah sebagai ‘warung kopi’ nya Pemda.  Apalagi jika para elit pimpinan daerah itu  tengah menghadapi suksesi atau pergantian pucuk pimpinan Kepala Daerah,  yang dengan sendirinya memerlukan banyak biaya untuk menggolkan kepentingan politiknya.

Sebaliknya, karena Direktur Utama/Direksi PDAM itu merupakan orang ‘kepercayaan’ yang dipilih atau ditunjuk oleh Kepala Daerah, maka tentu saja mereka tidak mempunyai pilihan lain, sekalipun harus melakukan perbuatan dan/atau membuat keputusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen perusahaan yang sehat (asas akuntabilitas) karena pilihannya jelas: jika menolak tentu saja mereka harus siap dinonaktifkan dari jabatannya.

Dengan realitas demikian, tidak sulit dipahami jika kemudian lebih banyak para Dirut / Direksi PDAM yang lebih  mengutamakan kepentingan pihak pemilik (Gubernur, Bupati, Walikota / Pemkot beserta aparatnya) ketimbang mendahulukan kepentingan pelayanan kepada konsumen/pelanggan air minum.  Alhasil, kinerja pelayanan publik bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas.

Maka, munculah komentar miring yang menjurus kepada pencitraaan negatif yang sesungguhnya merupakan refleksi paling jelas dari salah urus yang terjadi di dalam tubuh perusahaan tersebut. Seperti singkatan PDAM yang diplesetkan sebagai perusahaan daerah angin melulu, karena pelanggan tetap wajib membayar rekening berdasarkan meteran air yang berputar bukan karena aliran air tetapi karena tekanan angin.

Perilaku direksi PDAM yang acapkali terlihat keluar adalah gejala berikut ini: tak jarang pimpinan PDAM tidak bergeming meskipun konsumen/pelanggan mengajukan keberatan (komplain) dengan cara memprotes atau bahkan berunjuk rasa menggelar aksi demo di depan kantor PDAM atas pelayanannya yang buruk. Mereka bisa sama sekali tidak peduli, karena memang para direksi lebih takut kepada pihak-pihak yang menempatkan mereka pada jabatan/posisi tertentu di PDAM ketimbang kepada konsumen yang jelas-jelas telah membayar jasa mereka.
Bung Karno dan Bung Hatta pun
Menutup Mata

OBSESI TARIF 

Pada sisi yang lain, para dirut/direksi PDAM acapkali mengeluh pula tentang tidak seimbangnya antara biaya produksi dengan tarif yang berlaku. Pengaruh  kenaikan biaya pengolahan (bahan kimia yang masih impor), pemeliharaan peralatan yang mahal, perbaikan sistem jaringan distribusi yang rumit, serta pengaruh inflasi yang tinggi, dirasakan terlalu  jomplang dibandingkan dengan tarif yang relatif rendah. Range tarif rata-rata berkisar dari terendah Rp 350/M3 – Rp 4.900/M3. Maka masalah kenaikan tarif merupakan isu-isu yang paling menarik   di bahas di kalangan direksi PDAM. Inilah agenda diskusi yang paling obsesif, seakan jika ada PDAM yang disebutkan koran telah  menaikkan tarif tanpa mengundang gejolak dari masyarakat konsumen, dianggap sebagai PDAM yang berhasil dan sukses.

Sebut saja, PDAM Banjarmasin sebagai ilustrasi. Suatu ketika, kantor PDAM Bandarmasih di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dilempari batu, kacanya pecah berantakan. Di luar gedung, sekelompok orang bergerombol ‘menduduki’ halaman kantor. Sementara di jalanan, mengepul asap hitam dari pembakaran ban-ban bekas, lalu lintas ditutup dan macet total. Suasana kerja para karyawan ketika itu terasa demikian mencekam. Mereka panik. Apa yang terjadi?

Sekelompok orang yang mengatasnamakan pelanggan, tampak mengacung-acungkan poster dan spanduk. Mereka berteriak-teriak menghujat direksi PDAM yang pada intinya: menolak kenaikan tarif air! Karena tak ada jawaban memuaskan dari direksi PDAM, mereka lantas mendatangi kantor Walikota dan gedung DPRD.
Puncaknya, sejumlah pengacara lantas bergabung menggugat  Direksi  PDAM ke Pengadilan, karena menaikkan tarif yang dinilai memberatkan masyarakat. Itulah titik awal perubahan drastis yang terjadi pada tahun 2000 silam, ketika PDAM Bandarmasih dipimpin Dirut Drs. Zainal Arifin, Msi., yang berpasangan dengan Dra. Hj. Mardiana selaku Dirum dan Ir. HN. Fajar Desira, CES., selaku Dirut Teknik. Tiga serangkai ini dikenal pelanggan air minum sebagai ‘Direksi Tarif’ karena getolnya menaikkan tarif setiap enam bulan.

Peristiwa itu pantas dikenang oleh para karyawan PDAM Bandarmasih. Betapa tidak, setelah para direksinya  dibantu para karyawan di bagian hublang (hubungan pelanggan) beranjangsana secara intensif, baik ke mesjid-mesjid dan  kelompok ibu-ibu pengajian, mengadakan kampanye di suratkabar,  talkshow di televisi serta dialog terbuka melalui radio-radio setempat, singkatnya melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat — setidaknya kepada sekitar 74.000 pelanggan aktif –   untuk menjelaskan pentingnya harga air ‘disesuaikan’ maka PDAM yang memasok air bersih dengan kapasitas 900 liter/detik itu, ternyata kemudian menunjukkan kinerja yang dinilai ‘menggembirakan’ dimata para stakeholder nya.
Apel pagi karyawan
sebuah kantor PDAM

Kampanye kenaikan tarif yang semula ditentang, setelah ditempuh berbagai upaya pendekatan kepada masyarakat, ternyata membuahkan hasil.  Perusahaan yang semula merugi, kini menjadi beruntung. Jika pada tahun 2000 PDAM Bandarmasih mengalami kerugian sampai minus Rp 15 miliar, maka pada tahun buku 2004 telah menuai keuntungan sebesar Rp 3-4 miliar.  Maka, peristiwa demo konsumen dianggap sebagai berkah, sebab sejak itu PDAM berhasil membuat ‘kesepakatan’ dengan pelanggannya  untuk menaikkan tarif secara berkala, setiap enam bulan.

Kenaikan tarif, dibarengi pula dengan upaya peningkatan pelayanan secara cukup konsisten. Jika pada tahun 2000 kontinuitas pelayanan air tersendat-sendat,  maka secara bertahap sampai tahun 2004 sebanyak 90% pelanggannya telah menikmati pasokan 24 jam/hari.  Begitu pula,  coverage area pelayanan meningkat dari 30% menjadi 75%. Inilah PDAM yang bisa mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 2015 yakni cakupan 80%, lebih cepat dari rata-rata nasional. Dari aspek keuangan, PDAM Bandarmasih jelas telah berhasil memenuhi sasaran pemulihan biaya penuh atau dikenal dengan sebutan Full Cost Recovery (FCR).

Salah satu faktor yang signifikan mendukung keberhasilan PDAM Bandarmasih, sebenarnya bukan semata-mata karena perbaikan kinerja internal PDAM, tetapi terlebih disebabkan oleh posisi tawar konsumen yang rendah. Bagaimanapun ketergantungan warga Banjarmasin terhadap PDAM cukup tinggi. Alasannya, tiada lain karena intrusi air laut di Kalimantan Selatan telah sedemikian jauh menjorok ke darat,  merasuk hingga ke sumur-sumur bor milik masyarakat. Dan mereka tak mempunyai pilihan selain berlangganan kepada perusahaan air  yang monopolis tersebut, karena harga air pikulan terhitung lebih mahal.

Mekanisme Kenaikan Tarif
Ketentuan mengenai tarif, khususnya ‘penyesuain’ (baca: kenaikan) tarif, sebenarnya bukan kewenangan direksi PDAM tetapi usulan dari Pemerintah Daerah atas persetujuan dari dewan (DPRD) yang dilakukan melalui prosedur  dan mekanisme yang unik.

Sebelum mengusulkan kenaikan tarif, para Dirut/Direksi PDAM harus menempuh mekanisme proses berikut: pertama mereka harus memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas (BP), kemudian diajukan kepada Kepala Daerah. Selanjutnya, Kepala Daerah menyampaikan kepada komisi yang membidangi masalah ekonomi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui suatu sidang pembahasan yang (semestinya) terbuka untuk umum, untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan. Setelah disahkan oleh pimpinan Dewan, usulan kenaikan tarif  kemudian diberlakukan kepada pelanggan.
Berapa Anda bayar Air Minum?

Namun, ketika masalah ‘penyesuaian’ tarif itu berada di tangan Kepala  Daerah  kemudian diajukan ke DPRD, maka timbulah muatan dan friksi  bernuansa politik. Betapa tidak, bagaimanapun Kepala Daerah dan DPRD adalah pejabat publik, yang lebih mempertimbangkan kalkulasi dampak politis terhadap posisi dan kedudukan masing-masing,  kemana popularitas ‘angin politik’ akan bepihak jika mereka harus menyetujui atau menolak kenaikkan tarif ketimbang berbagai argumentasi lainnya meskipun kenaikan tarif tersebut didasari alasan-alasan yang kuat atas perhitungan riil ekonomi. Pada tahapan inilah seringkali terjadi ketidakpastian.

Ketidakpastian mengenai kebijakan tarif, pada gilirannya membuat para direksi PDAM kesulitan membuat proyeksi keuangan serta tidak mampu membuat  prediksi dan perencanaan yang jelas, benar dan akurat,  sebab semuanya hanya didasari pada asumsi-asumsi.

Meskipun alasan-alasan kenaikan tarif tersebut berdasarkan pada perhitungan yang layak (patut), namun  pihak Dirut/Direksi PDAM harus melalui proses dan mekanisme prosedur semacam itu dalam menentukan tarif yang akan diberlakukan. Prosesnya bisa berlangsung cepat, bahkan sangat cepat, tetapi bisa pula  sebaliknya;  berlangsung lama. Bahkan tak jarang, pembahasan masalah kenaikan tarif di dewan berlangsung dengan alot  ‘memanas’ yang diwarnai suasana emosional.

Jika kondisi demikian berlangsung lama, berlarut-larut tanpa bisa diperkirakan dalam rentang waktu tertentu,  maka tentu saja akan berdampak pada  operasional PDAM dan menurunkan kinerja pelayanannya kepada konsumen. Akibatnya, tidak sedikit pihak PDAM yang ‘terpaksa’ menjual air dengan harga rata-rata yang relatif murah. Bahkan  terus mempertahankan tarif tersebut, meskipun harga air berada di bawah biaya produksi, yang artinya jelas: PDAM tersebut mengalami kerugian yang selanjutnya memasuki tahap kritis: kebangkrutan alias gulung tikar.

Namun yang lebih sering terjadi, kenaikan tarif diajukan tanpa dilandasi oleh argumentasi dan alasan-alasan perhitungan yang rasional. Misalnya,  kenaikan tarif diajukan ketika tingkat kebocoran masih tinggi (kebocoran rata-rata tingkat nasional berkisar:  30-40%). Prediksi seorang pakar yang lebih mendekati kenyataan, menyebutkan bahwa rata-rata kebocoran di PDAM mencapai 40-50 persen. Tetapi tidak ada action plan yang jelas atau langkah-langkah yang signifikan untuk menekan tingkat kebocoran tersebut.

Padahal, konon ‘ilmu kebocoran’  itu sudah sangat standar, baku dan tidak terlalu rumit. Tingkat kebocoran yang dari kacamata ekonomi Bank Dunia disebut sebagai non revenue water (NRW), secara sederhana diidentifikasi dengan empat kemungkinan:


Pertama, kebocoran terjadi karena pipa-pipa yang relatif sudah tua, sedangkan untuk memperbaikinya diperlukan investasi yang mahal (kendala biaya).

Kedua, kebocoran karena water meter yang tidak secara periodik (minimal lima tahun sekali) ditera atau diganti meskipun telah aus dan tidak akurat dalam mengukur debit air (penggantian meteran pun terkendala oleh biaya).

Ketiga, kebocoran terjadi karena masalah penyelewengan administrasi. Misalnya, karena petugas pencatat meter yang secara sengaja atau tidak, melakukan manipulasi pada angka-angka meteran, dengan atau tanpa sepengetahuan pelanggan.


Keempat, masalah pencurian air (illegal connections), yang memerlukan tindakan tegas tanpa pandang bulu  (termasuk mengadakan sidak atau sweeping) didampingi aparat kepolisian untuk menertibkannya.

Usulan kenaikan tarif seringkali juga terjadi tanpa didahului dengan upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas pelayanan dan menekan inefisiensi administrasi di tubuh perusahaan. Mulai dari rasio pegawai yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan atau dibandingkan dengan banyaknya jumlah sambungan/konsumen yang harus dilayani, hingga kepada praktik mark-up di dalam penyelenggaraan proyek-proyek PDAM yang ditenderkan kepada publik sampai kepada masalah-masalah yang paling rawan terjadinya korupsi dan manipulasi, yakni: pengadaan barang-barang keperluan PDAM.Kondisi demikian diperparah  pula dengan pola rekrutmen pegawai (SDM) yang sangat kental dengan nuansa korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Selain itu, kesulitan permodalan dan adanya beban hutang (beserta bunga dan denda) yang dibuat di masa lalu yang nominalnya terus membengkak (menurut data PERPAMSI hingga tahun 2004, total utang PDAM mencapai Rp 5,3 triliun), kondisi-kondisi semacam itulah, yang menyebabkan sebanyak 90% dari 306 PDAM yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, berada dalam kategori: kurang sehat dan sangat tidak sehat.

Jika kondisi PDAM semakin sulit untuk beroperasi dan berada dalam posisi serba dilematis,  maka wacana yang seringkali dimunculkan adalah privatisasi atau swastanisasi sebagai jalan keluarnya, yang sebenarnya hanyalah upaya untuk menutupi mismanagement di tubuh PDAM. Sebab, pada kenyataannya, jika manajemen PDAM sehat, hampir tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk menjalankan aturan-aturan privat, tanpa harus menjualnya kepada pihak swasta lokal ataupun asing, sehingga misi sosial untuk melindungi warga masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin, dapat tetap dilindungi.

Pada era otonomi daerah ini, tampaknya kecenderungan memilih jalan pintas seperti kerjasama operasi (KSO) dengan pihak ketiga, termasuk privatisasi, lebih disukai pihak Pemda ketimbang harus menempuh upaya-upaya manajemen yang konsisten dan memerlukan waktu yang relatif lama untuk menyehatkan PDAM.

Padahal, belum ada kisah sukses privatisasi di sektor air minum yang bisa dijadikan model privatisasi yang kini tengah gencar-gencarnya dilakukan di berbagai daerah. Pada banyak kasus, dampak privatisasi seringkali malah kian menjauhkan akses kelompok miskin terhadap air bersih karena membuat tarif air semakin melambung.
Hmm...hmm...Berpindah tangan.

Sebuah sumber di Departemen PU menyebutkan, masyarakat Indonesia yang dilayani PDAM membayar harga air rata-rata Rp 1.400 /M3. Sedangkan masyarakat yang tidak dilayani PDAM dan hidup di daerah yang rawan air bersih (sebagian besar berasal dari kelompok miskin),  umumnya membeli air dari penjual air dengan biaya Rp 500 -  Rp 1.000 / jeriken (sekitar 20 liter), atau Rp 25.000/M3 – Rp 50.000/M3.

Hal ini disebabkan karena PDAM lebih mengutamakan pelayanan kepada kelompok yang diperkirakan memiliki kemampuan dan kesediaan untuk membayar. Bagi mereka yang tidak berlangganan PDAM,  maka pilihannya adalah menggunakan air kemasan atau air isi ulang, tetapi konsekuensinya mereka harus membayar lebih mahal lagi, sebesar Rp 125.000 – Rp 400.000/M3 (perhitungan sebelum kenaikan BBM). Dalam hal ini, terjadi ketidakadilan, di mana sebagian masyarakat dilayani, sedangkan sebagian yang lain tidak.

Masyarakat yang tidak dilayani PDAM harus membayar jauh lebih mahal  untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya, padahal umumnya mereka berpendapatan sedang dan rendah. Dengan demikian prinsip air untuk semua (water for All) dalam praktiknya masih jauh dari kenyataan.

Realitas yang terjadi adalah: Si Miskin harus membayar lebih mahal untuk sekadar memenuhi kebutuhan mendasarnya. Dan mereka tidak mempunyai pilihan lain, karena pada umumnya sumur-sumur bor dan air permukaan di perkotaan sudah tercemar. Misalnya, di Jakarta. Tingkat penetrasi PAM Jaya yang dikelola dua operator swasta asing, yakni PT. Palyja dari Perancis (PAM Lyonnaise Jaya) baru sanggup memenuhi sebesar 313.000 pelanggan (Th 2002) dan PT. TPJ (Thames PAM Jaya dari Inggris) sebesar 336.550  dari total penduduk DKI Jakarta sebanyak 10 juta jiwa. Maka, sebagian besar penduduk lainnya terpaksa harus berpaling kepada sumur-sumur bor dan air permukaan yang kondisinya sudah kritis.

Tidak ada komentar: