Rabu, November 17, 2010

Di bawah Intaian Sniper: Memenuhi Undangan Presiden Soeharto di Istana

 
sharenator.com

Undangan Presiden ke Istana 
Tahun 1986, ada dua sukses besar di bidang kebaharian. Pertama, kapal latih Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut (TNI-AL) KRI Dewi-Ruci sampai ke benua Amerika dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Patung Liberty di New York, Amerika Serikat. Kedua, Phinisi Nusantara, kapal layar tradisionil Indonesia, juga berhasil mencapai Kanada untuk memeriahkan Vancouver Expo 1986.

Sekembalinya kedua ekspedisi pelayaran tersebut, Presiden RI (Soeharto, ketika itu) mengundang kedua tim untuk hadir dalam suatu courtesy call di Istana Merdeka, Jakarta. Tim KRI Dewa Ruci dipimpin Kolonel (P) Ripa Gamhadi dan Kapal Layar 'Phinisi Nusantara' dipimpin Nakhoda  Capt. Gita Arjakusuma.


pelepasan phinisi nusantara 
oleh para pejabat di pelabuhan 
muara baru,  ancol
Jakarta
Kolonel Ripa adalah teman satu angkatan Gita di lichting XIV (juga satu angkatan dengan Widodo, AS, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia/Menkopolhukham). Memang,  mereka jarang bertemu secara fisik, tetapi jika sedang berada di laut, mereka sering bertukar informasi atau sekedar bersenda gurau melalui radio kapal.

Sesaat sebelum diterima Presiden, mereka  sempat berbincang-bincang ‘menumpahkan’ kerinduan mengenang romantika bersama semasa di Akademi Angkatan Laut (AAL). Namun pertemuan mereka saat itu, jelas berbeda karena diliputi suasana dan perasaan bangga karena bisa bertemu langsung dengan pemimpin tertinggi negara yang juga kepala pemerintahan.

Tibalah saatnya mereka diterima Presiden Soeharto di ruang kerja beliau. Di ruangan itu, telah berdiri Presiden Soeharto yang tampak berwibawa. Beliau  menyambut hangat mereka  dengan senyumnya yang khas. Lalu menyalami rombongan satu-persatu dan mempersilahkan duduk.                                                                                
                                                                            
Presiden meminta mereka, para nakhoda satu persatu memberikan keterangan dan pengalaman selama pelayaran. Dari KRI Dewa Ruci, Ripa mengemukakan bahwa pelayarannya menempuh rute dengan kondisi cuaca yang cukup berat. Layar robek, kapal sampai termiring-miring. Singkatnya, pelayaran itu sangat berbahaya sekali. Namun akhirnya dengan ketangguhan para pelaut-pelautnya, KRI Dewa Ruci berhasil tiba di New York dan hadir pada acara peringatan 100 tahun Patung Liberty.

target
Giliran Gita sebagai nakhoda Phinisi Nusantara, menyampaikan laporan. Pengalaman pelayarannya tampak agak berbeda. Pengalaman-pengalaman berat dan sangat mencemaskan (seperti yang dialami KRI Dewa Ruci),  tidak mereka alami, meskipun ada beberapa hal yang cukup mencemaskan keselamatan kapal beserta seluruh awaknya. Namun tidak separah seperti yang dialami Dewa Ruci. Mengapa demikian? karena pelayaran Phinisi Nusantara menggunakan track pelayaran yang berbeda.

Kepada Bapak Presiden, Gita mengungkapkan bahwa di dalam dunia pelayaran --sebagaimana telah diketahui bersama-  setiap nakhoda harus senantiasa memahami kondisi dan keadaan kapalnya. Demikian pula, masing-masing nakhoda menggunakan track, yang sesuai dengan kondisi kapal yang diawakinya.

Sebelum melayarkan Phinisi, memang  dia  pernah membawa kapal-kapal bermesin dengan tenaga besar. Ia pun sudah terbiasa menerobos cuaca yang berat sekalipun. Namun tidak demikian halnya, pada saat membawa  Phinisi Nusantara sebab dia telah menyesuaikan rute yang dipilih dengan kondisi kapal. Sebagaimana diketahuinya dari buku Kepanduan Bahari atau Pilot Book. Buku yang menjadi pedoman pelayaran itulah sebenarnya yang menganjurkan agar nakhoda mengikuti track-track yang direkomendasikan bagi setiap jenis kapal layar sebagaimana tertulis dalam The Recomended Track For The Sailing Vessel.

di anjungan, dalam
perjalanan mencapai
Honolulu
Dalam melayarkan Phinisi Nusantara, mau tidak mau kita pun harus menguasai dan mempelajari pengetahuan dan karakteristik: cuaca, arus angin, arus laut, dengan segala perubahannya. Sebab melayarkan Phinisi Nusantara yang   menitikberatkan pada tenaga layar, dituntut  kemampuan bermanuver tertentu sehingga mampu menyiasati kondisi alam yang dihadapi, sehingga kapal bisa mencapai pelabuhan tujuan dengan selamat.

Kepada Presiden, Gita menjelaskan pula, bagaimana sebenarnya Phinisi Nusantara bisa sampai ke pantai barat Amerika itu, justru karena memanfaatkan arus–arus yang telah mereka ketahui itu. Seperti arus balik khatulistiwa, yang mulai mereka manfaatkan sejak posisi kapal berada di pantai Sonsorol Filipina sampai ke sebelah Tenggara Honolulu. Dari situ, mereka kembali memanfaatkan arus Aleuten, yang mendorong kapal ke utara sampai 40 derajat, di mana di sana nantinya akan bertemu arus Khurosiwo dengan arus California. 


Pertemuan kedua arus itulah, yang selanjutnya mendorong Phinisi Nusantara  ke mulut sungai hingga mereka mencapai pelabuhan pertama, yaitu pelabuhan Victoria di Kanada. Singkatnya, dengan memanfaatkan arus-arus itu serta didukung tiupan angin yang menunjang, Phinisi Nusantara bisa berlayar dengan lancar hingga merapat di dermaga Vancouver.

Pengalaman Phinisi Nusantara memperoleh kenyamanan angin ini, tentunya bukan dimaksudkan untuk membedakan dengan pelayaran KRI. Dewa Ruci. Sebab, sebagaimana pernah dia alami berlayar bersama KRI Dewa Ruci pada  1967, mereka pun menyadari bahwa tujuan muhibah KRI. Dewa Ruci adalah untuk menggembleng para taruna, sehingga dengan kondisi yang berat itulah, diharapkan nantinya akan lahir para perwira yang tangguh di masa depan. 

phinisi merapat
di Victoria
Demikianlah, masing-masing nakhoda menyampaikan laporannya dengan penuh rasa kebanggaan dihadapan Bapak Presiden, yang  terhormat. Sementara Pak Harto, dengan rambutnya yang tampak mulai memutih itu, mendengarkan laporan mereka  dengan manggut-manggut, penuh perhatian. Selanjutnya, beliau pun menyampaikan rasa bangganya kepada mereka. Pada bagian lain,  beliau  menjelaskan pandangannya bahwa memang seharusnya negara kita   diupayakan menjadi  suatu negara Maritim.

Perbincangan mereka dengan Presiden berlangsung lancar dan diliputi suasana   kegembiraan. Setelah sekitar  2,5 jam mereka berada di ruangan kerja Pak Harto, akhirnya pertemuan selesai. Mereka kembali bersalaman. Sebelum meninggalkan istana, mereka berfoto bersama yang diambil oleh juru potret istana.

Inilah akhir dari suatu petualangan pelayaran yang unik. Betapa upaya untuk bisa  menginjakkan kaki di Istana dan berjabatan tangan dengan Presiden RI, harus dilalui dengan perjuangan yang panjang dan berat, bahkan dimana perlu mempertaruhkan nyawa di lautan.


Dalam Intaian Sniper

Namun apa yang terjadi sebenarnya dibalik pertemuan mereka, khususnya dengan kehadiran Gita Arjakusuma ketika itu di istana Negara. Apalagi dipertemukan dengan Presiden Soeharto?  Ternyata, sebelum pertemuan itu berlangsung, telah terjadi   diskusi yang cukup alot, di kalangan petinggi negara. Yaitu antara Laksamana  Sudomo dengan beberapa jenderal di lingkungan intelijen.

the sniper who loves me
Perdebatan itu sendiri ternyata sangat menentukan: apakah Gita Arjakusuma, meskipun dia Nakhoda Phinisi Nusantara, yang sebelumnya mendapat stigma  sebagai anak tapol (tahanan politik), patut dipertemukan dan berhadapan langsung dengan pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata RI yang juga sebagai Kepala Negara? Bukankah ini sesuatu yang sangat riskan (?)

Ternyata, Pak Domo pada akhirnya berhasil meyakinkan semua pihak, terutama pihak intelijen bahwa Gita  bukan orang berbahaya bila bertemu dan berada dalam jarak dekat dengan Presiden Soeharto di Istana.

Harap dimaklumi. Pada saat itu, situasi dan kondisi politik yang sangat represif berbeda jauh dengan keadaan sekarang. Untuk bisa bertemu dengan Presiden RI,  tak sembarang orang diijinkan.  Pihak intelijen akan 'meneliti' dulu latar belakang pribadi, keluarga, afiliasi politik, sangkut paut dengan G 30 S / PKI  dan segala macamnya.  Dengan latar belakang anak seorang tapol (walau tuduhan itu tidak pernah dibuktikan), mustahil Gita Arjakusuma lolos screening tahap awal tersebut.

Salah seorang petinggi negara, bahkan menilai Nakhoda Phinisi itu, sebagai orang yang pendendam kepada negara dan anti Pemerintah, sehingga perlu diawasi. Dalam pola pikir seperti itu, kehadiran Gita Arjakusuma di Istana dan bertemu dengan Presiden akan sangat berbahaya dan mengundang risiko. Dan pihak keamanan, lebih cenderung memilih untuk: tidak mengambil risiko.

penyambutan di Jakarta, 
lebih menyenangkan 
bertemu istri  tercinta
Rupanya, masalah ini pun sampai ke puncak pimpinan keamanan. Pertemuan itu dianggap sangat riskan. Bisa saja, menurut mereka, anak tapol ini akan menggunakan kesempatan untuk berbuat sesuatu yang membahayakan keselamatan Presiden. Dengan dalih itu,  kehadiran Gita, meskipun  telah berjasa mengharumkan nama bangsa dan negara, bisa dibatalkan. 

Memang  sebelum pertemuan antara nakhoda Phinisi Nusantara dan Nakhoda KRI Dewa Ruci di istana Negara itu, telah terjadi diskusi yang sangat serius selama tiga hari berturut-turut. Terutama Pak Domo dengan pihak intelijen untuk menjelaskan siapa Nakhoda Phinisi Nusantara ini sebenarnya.

Bahkan, terdengar kabar, ketika itu, Pak Domo menyatakan dirinya siap ditangkap, sebagai jaminan jika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap diri Presiden. Pak Domo berupaya meyakinkan pihak keamana agar Gita tetap diberi kesempatan bertemu dengan Kepala Negara. 

Uniknya, Gita sendiri mengetahui soal itu, beberapa hari kemudian setelah pertemuan itu. Seandainya saja, ia mengetahui hal itu sebelumnya, betapa sesaknya perasaan yang menghimpit di dada. Kemudia dia merenung. Memang sudah sepantasnya dia  berterima kasih kepada Pak Domo yang telah berusaha membelanya, memberikan kesempatan sesuai dengan hak-hak yang  sepantasnya diberikan kepada setiap warganegara, yang katanya telah menjunjung tinggi nama baik bangsa dan negara di mata dunia internasional. Memang suatu kehormatan dapat bertatap muka dan berbicara langsung dengan Bapak Presiden. Dan Gita menilai, itu berkat upaya Pak Domo. Bukan karena usahanya melayarkan kapal. 

Gita menilai Soedomo adalah  Laksamana yang bijak. Dengan mempertaruhkan nama dan bahkan dirinya sendiri, beliau berani menempuh risiko apapun yang akan terjadi, sehingga akhirnya dia dapat bertemu dengan Presiden. Tentu saja, kenyataan itu bukan  semata-mata dorongan emosional Sudomo, tetapi Gita merasa yakin karena pandangan obyektif beliau sebagai laksamana, yang telah mengenalnya  sejak  tahun 1972, ketika dia bersama Sersan Abrar dan John Gunawan ditugaskan melayarkan perahu yacht Java Doll dari KeeLung ke Tanjung Priok.

seremonial penyambutan
di tanah air
‘’Gita itu sudah saya ikuti jalan hidupnya selama 14 tahun terakhir ini,” kata Pak Domo. Dengan penilaian inilah, rupanya Pak Domo tetap mengusulkan Gita bisa menghadap Presiden. Namun, pihak intelijen tentu saja tak mau mengambil risiko.

Maka, tanpa disadari, selama dua setengah jam keberadaan nakhoda Phinisi Nusantara itu di ruang kerja Pak Harto  dan selama mereka berada di lingkungan istana, ternyata telah disiapkan para sniper,  penembak jitu, di beberapa sudut strategis yang sewaktu-waktu siap siaga melumpuhkan atau bahkan ‘menghabisi’ jiwanya, bila ternyata kehadiran dia di istana  menunjukkan gelagat atau perilaku, sikap-sikap atau tindak - tanduk yang dianggap mengancam atau membahayakan keselamatan pribadi Presiden Soeharto.

Dia duduk terkulai. Sedih. Bagaimana tidak, betapa seorang anak bangsa yang berusaha dengan kemampuannya untuk menjunjung tinggi nama bangsa dan negara, namun tindak-tanduknya masih tetap harus dicurigai. Padahal, tak pernah terbersit sedikitpun di benak nahkoda Phinisi Nusantara itu untuk berbuat macam-macam. Kalau pun pikiran semacam itu mampir di benaknya,  apakah mungkin dia berbuat sesuatu di Istana?  Mau masuk ke sana saja harus melewati pemeriksaan ketat, melewati detektor logam. Belum lagi, kehadiran para pengawal pribadi yang senantiasa berada di dekat Presiden.


Empat Kali Menjabat Tangan Soeharto

Presiden Soeharto
Dalam perjalanan karir selanjutnya, Nakhoda Phinisi Nusantara itu, sekurang-kurangnya  telah  empat  kali  bertemu muka secara langsung dengan Pak Harto dan berjabatan tangan. Jadi, tidak hanya pada keberhasilan pelayaran Phinisi Nusantara saja, tapi juga pada beberapa kesempatan lain.

Pada waktu kunjungan Presiden Soeharto dan keluarga ke Jepang, Gita sempat hadir ke Kedutaan RI di Tokyo sebagai perwakilan masyarakat RI di sana. Pada waktu itu, ia berada di Tokyo dalam kapasitas sebagai owner representative PT.  Andhika Lines. Pada kesempatan itulah, dia  kembali berjabatan tangan untuk kedua kalinya dengan beliau.

Kali ketiga, ketika Menteri Perhubungan menetapkan Capt. Gita Arjakusuma sebagai ‘’Pelaut Teladan 1992’’ yang diberikan bertepatan dengan  perayaan HUT RI ke-47 atau pada 17 Agustus 1992. Dia diundang lagi ke Istana Negara. Dan kembali berjabatan tangan dengan Presiden Soeharto.

Kemudian, Gita sempat terpilih sebagai atlit yang memperkuat tim layar kontingen Indonesia pada SEA Games 1992 (Pekan Olahraga Tingkat Asia Tenggara) di Manila. Sebelum berangkat, secara resmi seluruh kontingen dilepas Kepala Negara di Istana. Dalam kesempatan itu, kembali dia berkesempatan menjabat tangan Pak Harto. 

Dari beberapa kali pertemuan langsung dengan Presiden, ia mengatakan: “Sikap saya jelas: tidak ada secuilpun rasa dendam di hati. Tidak ada rasa kebencian sedikitpun di dalam diri saya. Meskipun kami harus mengalami penderitaan sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari policy beliau’’  katanya .

Padahal, hampir 10 tahun sejak meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, bapaknya, Letkol Angkatan Udara  Sueb Arjakusuma harus mendekam di baik terali besi. Bapaknya ditahan, hanya dicurigai atau dituduh --entah sebagai simpatisan ataupun terlibat-- karena sampai dengan masa pembebasan, persoalan itu tidak pernah dibuka. Tidak pernah diajukan ke pengadilan. Malahan di dalam surat perintah penahanannya pun tertulis: Hanya Berlaku Satu Tahun! Namun, nyatanya harus mendekam 9,5 tahun. Dan tentu saja, akibatnya seluruh keluarga mereka harus menyingkir dari keramaian, menjalani hidup yang berat serta menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Yang lebih buruk lagi, stigma politik itu seakan melekat di kening setiap anak dari keluarga itu. ''Kemana pun kaki ini melangkah, di mana pun kami bekerja, bahkan karya apa pun yang telah kami hasilkan,’’katanya.

Ia mengatakan: Meskipun demikian, pandangan kami terhadap Pak Harto tidak lebih dari sikap kebanyakan orang-orang yang pernah membaca buku President Soeharto: The Smiling General.   Namun kami yakin, hanya Gusti Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Ia tahu, kepada siapa sesungguhnya kemuliaan manusia itu pantas diberikan. Dan untuk itu, Gita tidak merasa penting lagi untuk menuntut rehabilitasi dari Pemerintah atas tudingan tidak berdasar  atau untuk  pemulihan nama baik atas stigma politik sebagai anak tapol selama hidupnya. Sebab ia telah mendapatkan ‘rehabilitasi’ dalam arti yang sesungguhnya dengan mengukir prestasi:  penghargaan tertinggi sebagai Pelaut Teladan.

Tidak ada komentar: