Undangan Presiden ke Istana
Tahun 1986, ada dua sukses besar di bidang kebaharian. Pertama, kapal latih Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut (TNI-AL) KRI Dewi-Ruci sampai ke benua Amerika dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Patung Liberty di New York, Amerika Serikat. Kedua, Phinisi Nusantara, kapal layar tradisionilIndonesia , juga berhasil mencapai Kanada untuk memeriahkan Vancouver Expo 1986.
Tahun 1986, ada dua sukses besar di bidang kebaharian. Pertama, kapal latih Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut (TNI-AL) KRI Dewi-Ruci sampai ke benua Amerika dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Patung Liberty di New York, Amerika Serikat. Kedua, Phinisi Nusantara, kapal layar tradisionil
Sekembalinya kedua ekspedisi pelayaran tersebut, Presiden RI (Soeharto, ketika itu) mengundang kedua tim untuk hadir dalam suatu courtesy call di Istana Merdeka, Jakarta. Tim KRI Dewa Ruci dipimpin Kolonel (P) Ripa Gamhadi dan Kapal Layar 'Phinisi Nusantara' dipimpin Nakhoda Capt. Gita Arjakusuma.
pelepasan phinisi nusantara oleh para pejabat di pelabuhan muara baru, ancol Jakarta |
Sesaat sebelum diterima Presiden, mereka sempat berbincang-bincang ‘menumpahkan’ kerinduan mengenang romantika bersama semasa di Akademi Angkatan Laut (AAL). Namun pertemuan mereka saat itu, jelas berbeda karena diliputi suasana dan perasaan bangga karena bisa bertemu langsung dengan pemimpin tertinggi negara yang juga kepala pemerintahan.
Tibalah saatnya mereka diterima Presiden Soeharto di ruang kerja beliau. Di ruangan itu, telah berdiri Presiden Soeharto yang tampak berwibawa. Beliau menyambut hangat mereka dengan senyumnya yang khas. Lalu menyalami rombongan satu-persatu dan mempersilahkan duduk.
Presiden meminta mereka, para nakhoda satu persatu memberikan keterangan dan pengalaman selama pelayaran. Dari KRI Dewa Ruci, Ripa mengemukakan bahwa pelayarannya menempuh rute dengan kondisi cuaca yang cukup berat. Layar robek, kapal sampai termiring-miring. Singkatnya, pelayaran itu sangat berbahaya sekali. Namun akhirnya dengan ketangguhan para pelaut-pelautnya, KRI Dewa Ruci berhasil tiba di New York dan hadir pada acara peringatan 100 tahun Patung Liberty.
target |
Kepada Bapak Presiden, Gita mengungkapkan bahwa di dalam dunia pelayaran --sebagaimana telah diketahui bersama- setiap nakhoda harus senantiasa memahami kondisi dan keadaan kapalnya. Demikian pula, masing-masing nakhoda menggunakan track, yang sesuai dengan kondisi kapal yang diawakinya.
Sebelum melayarkan Phinisi, memang dia pernah membawa kapal-kapal bermesin dengan tenaga besar. Ia pun sudah terbiasa menerobos cuaca yang berat sekalipun. Namun tidak demikian halnya, pada saat membawa Phinisi Nusantara sebab dia telah menyesuaikan rute yang dipilih dengan kondisi kapal. Sebagaimana diketahuinya dari buku Kepanduan Bahari atau Pilot Book. Buku yang menjadi pedoman pelayaran itulah sebenarnya yang menganjurkan agar nakhoda mengikuti track-track yang direkomendasikan bagi setiap jenis kapal layar sebagaimana tertulis dalam The Recomended Track For The Sailing Vessel.
di anjungan, dalam perjalanan mencapai Honolulu |
Kepada Presiden, Gita menjelaskan pula, bagaimana sebenarnya Phinisi Nusantara bisa sampai ke pantai barat Amerika itu, justru karena memanfaatkan arus–arus yang telah mereka ketahui itu. Seperti arus balik khatulistiwa, yang mulai mereka manfaatkan sejak posisi kapal berada di pantai Sonsorol Filipina sampai ke sebelah Tenggara Honolulu. Dari situ, mereka kembali memanfaatkan arus Aleuten, yang mendorong kapal ke utara sampai 40 derajat, di mana di sana nantinya akan bertemu arus Khurosiwo dengan arus California.
Pertemuan kedua arus itulah, yang selanjutnya mendorong Phinisi Nusantara ke mulut sungai hingga mereka mencapai pelabuhan pertama, yaitu pelabuhan Victoria di Kanada. Singkatnya, dengan memanfaatkan arus-arus itu serta didukung tiupan angin yang menunjang, Phinisi Nusantara bisa berlayar dengan lancar hingga merapat di dermagaVancouver .
Pertemuan kedua arus itulah, yang selanjutnya mendorong Phinisi Nusantara ke mulut sungai hingga mereka mencapai pelabuhan pertama, yaitu pelabuhan Victoria di Kanada. Singkatnya, dengan memanfaatkan arus-arus itu serta didukung tiupan angin yang menunjang, Phinisi Nusantara bisa berlayar dengan lancar hingga merapat di dermaga
Pengalaman Phinisi Nusantara memperoleh kenyamanan angin ini, tentunya bukan dimaksudkan untuk membedakan dengan pelayaran KRI. Dewa Ruci. Sebab, sebagaimana pernah dia alami berlayar bersama KRI Dewa Ruci pada 1967, mereka pun menyadari bahwa tujuan muhibah KRI. Dewa Ruci adalah untuk menggembleng para taruna, sehingga dengan kondisi yang berat itulah, diharapkan nantinya akan lahir para perwira yang tangguh di masa depan.
phinisi merapat di Victoria |
Perbincangan mereka dengan Presiden berlangsung lancar dan diliputi suasana kegembiraan. Setelah sekitar 2,5 jam mereka berada di ruangan kerja Pak Harto, akhirnya pertemuan selesai. Mereka kembali bersalaman. Sebelum meninggalkan istana, mereka berfoto bersama yang diambil oleh juru potret istana.
Inilah akhir dari suatu petualangan pelayaran yang unik. Betapa upaya untuk bisa menginjakkan kaki di Istana dan berjabatan tangan dengan Presiden RI , harus dilalui dengan perjuangan yang panjang dan berat, bahkan dimana perlu mempertaruhkan nyawa di lautan.
Dalam Intaian Sniper
Namun apa yang terjadi sebenarnya dibalik pertemuan mereka, khususnya dengan kehadiran Gita Arjakusuma ketika itu di istana Negara. Apalagi dipertemukan dengan Presiden Soeharto? Ternyata, sebelum pertemuan itu berlangsung, telah terjadi diskusi yang cukup alot, di kalangan petinggi negara. Yaitu antara Laksamana Sudomo dengan beberapa jenderal di lingkungan intelijen.
the sniper who loves me |
Ternyata, Pak Domo pada akhirnya berhasil meyakinkan semua pihak, terutama pihak intelijen bahwa Gita bukan orang berbahaya bila bertemu dan berada dalam jarak dekat dengan Presiden Soeharto di Istana.
Harap dimaklumi. Pada saat itu, situasi dan kondisi politik yang sangat represif berbeda jauh dengan keadaan sekarang. Untuk bisa bertemu dengan Presiden RI , tak sembarang orang diijinkan. Pihak intelijen akan 'meneliti' dulu latar belakang pribadi, keluarga, afiliasi politik, sangkut paut dengan G 30 S / PKI dan segala macamnya. Dengan latar belakang anak seorang tapol (walau tuduhan itu tidak pernah dibuktikan), mustahil Gita Arjakusuma lolos screening tahap awal tersebut.
Salah seorang petinggi negara, bahkan menilai Nakhoda Phinisi itu, sebagai orang yang pendendam kepada negara dan anti Pemerintah, sehingga perlu diawasi. Dalam pola pikir seperti itu, kehadiran Gita Arjakusuma di Istana dan bertemu dengan Presiden akan sangat berbahaya dan mengundang risiko. Dan pihak keamanan, lebih cenderung memilih untuk: tidak mengambil risiko.
penyambutan di Jakarta, lebih menyenangkan bertemu istri tercinta |
Memang sebelum pertemuan antara nakhoda Phinisi Nusantara dan Nakhoda KRI Dewa Ruci di istana Negara itu, telah terjadi diskusi yang sangat serius selama tiga hari berturut-turut. Terutama Pak Domo dengan pihak intelijen untuk menjelaskan siapa Nakhoda Phinisi Nusantara ini sebenarnya.
Bahkan, terdengar kabar, ketika itu, Pak Domo menyatakan dirinya siap ditangkap, sebagai jaminan jika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap diri Presiden. Pak Domo berupaya meyakinkan pihak keamana agar Gita tetap diberi kesempatan bertemu dengan Kepala Negara.
Uniknya, Gita sendiri mengetahui soal itu, beberapa hari kemudian setelah pertemuan itu. Seandainya saja, ia mengetahui hal itu sebelumnya, betapa sesaknya perasaan yang menghimpit di dada. Kemudia dia merenung. Memang sudah sepantasnya dia berterima kasih kepada Pak Domo yang telah berusaha membelanya, memberikan kesempatan sesuai dengan hak-hak yang sepantasnya diberikan kepada setiap warganegara, yang katanya telah menjunjung tinggi nama baik bangsa dan negara di mata dunia internasional. Memang suatu kehormatan dapat bertatap muka dan berbicara langsung dengan Bapak Presiden. Dan Gita menilai, itu berkat upaya Pak Domo. Bukan karena usahanya melayarkan kapal.
Gita menilai Soedomo adalah Laksamana yang bijak. Dengan mempertaruhkan nama dan bahkan dirinya sendiri, beliau berani menempuh risiko apapun yang akan terjadi, sehingga akhirnya dia dapat bertemu dengan Presiden. Tentu saja, kenyataan itu bukan semata-mata dorongan emosional Sudomo, tetapi Gita merasa yakin karena pandangan obyektif beliau sebagai laksamana, yang telah mengenalnya sejak tahun 1972, ketika dia bersama Sersan Abrar dan John Gunawan ditugaskan melayarkan perahu yacht Java Doll dari KeeLung ke Tanjung Priok.
seremonial penyambutan di tanah air |
Maka, tanpa disadari, selama dua setengah jam keberadaan nakhoda Phinisi Nusantara itu di ruang kerja Pak Harto dan selama mereka berada di lingkungan istana, ternyata telah disiapkan para sniper, penembak jitu, di beberapa sudut strategis yang sewaktu-waktu siap siaga melumpuhkan atau bahkan ‘menghabisi’ jiwanya, bila ternyata kehadiran dia di istana menunjukkan gelagat atau perilaku, sikap-sikap atau tindak - tanduk yang dianggap mengancam atau membahayakan keselamatan pribadi Presiden Soeharto.
Dia duduk terkulai. Sedih. Bagaimana tidak, betapa seorang anak bangsa yang berusaha dengan kemampuannya untuk menjunjung tinggi nama bangsa dan negara, namun tindak-tanduknya masih tetap harus dicurigai. Padahal, tak pernah terbersit sedikitpun di benak nahkoda Phinisi Nusantara itu untuk berbuat macam-macam. Kalau pun pikiran semacam itu mampir di benaknya, apakah mungkin dia berbuat sesuatu di Istana? Mau masuk ke sana saja harus melewati pemeriksaan ketat, melewati detektor logam. Belum lagi, kehadiran para pengawal pribadi yang senantiasa berada di dekat Presiden.
Empat Kali Menjabat Tangan Soeharto
Presiden Soeharto |
Pada waktu kunjungan Presiden Soeharto dan keluarga ke Jepang, Gita sempat hadir ke Kedutaan RI di Tokyo sebagai perwakilan masyarakat RI di sana. Pada waktu itu, ia berada di Tokyo dalam kapasitas sebagai owner representative PT. Andhika Lines. Pada kesempatan itulah, dia kembali berjabatan tangan untuk kedua kalinya dengan beliau.
Kemudian, Gita sempat terpilih sebagai atlit yang memperkuat tim layar kontingen Indonesia pada SEA Games 1992 (Pekan Olahraga Tingkat Asia Tenggara) di Manila. Sebelum berangkat, secara resmi seluruh kontingen dilepas Kepala Negara di Istana. Dalam kesempatan itu, kembali dia berkesempatan menjabat tangan Pak Harto.
Dari beberapa kali pertemuan langsung dengan Presiden, ia mengatakan: “Sikap saya jelas: tidak ada secuilpun rasa dendam di hati. Tidak ada rasa kebencian sedikitpun di dalam diri saya. Meskipun kami harus mengalami penderitaan sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari policy beliau’’ katanya .
Padahal, hampir 10 tahun sejak meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, bapaknya, Letkol Angkatan Udara Sueb Arjakusuma harus mendekam di baik terali besi. Bapaknya ditahan, hanya dicurigai atau dituduh --entah sebagai simpatisan ataupun terlibat-- karena sampai dengan masa pembebasan, persoalan itu tidak pernah dibuka. Tidak pernah diajukan ke pengadilan. Malahan di dalam surat perintah penahanannya pun tertulis: Hanya Berlaku Satu Tahun! Namun, nyatanya harus mendekam 9,5 tahun. Dan tentu saja, akibatnya seluruh keluarga mereka harus menyingkir dari keramaian, menjalani hidup yang berat serta menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Yang lebih buruk lagi, stigma politik itu seakan melekat di kening setiap anak dari keluarga itu. ''Kemana pun kaki ini melangkah, di mana pun kami bekerja, bahkan karya apa pun yang telah kami hasilkan,’’katanya.
Ia mengatakan: Meskipun demikian, pandangan kami terhadap Pak Harto tidak lebih dari sikap kebanyakan orang-orang yang pernah membaca buku President Soeharto: The Smiling General. Namun kami yakin, hanya Gusti Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Ia tahu, kepada siapa sesungguhnya kemuliaan manusia itu pantas diberikan. Dan untuk itu, Gita tidak merasa penting lagi untuk menuntut rehabilitasi dari Pemerintah atas tudingan tidak berdasar atau untuk pemulihan nama baik atas stigma politik sebagai anak tapol selama hidupnya. Sebab ia telah mendapatkan ‘rehabilitasi’ dalam arti yang sesungguhnya dengan mengukir prestasi: penghargaan tertinggi sebagai Pelaut Teladan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar