Selasa, Januari 25, 2011

Mengapa Si Miskin Membayar Lebih Mahal untuk Air Minum? (Bagian 3)


Air Bersih Dunia yang Kian Menipis
Pesimistis Mencapai Target di Era Milenium (MDGs 2015)

Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia membentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI), yang bertujuan salah  satunya menyusun pedoman penyehatan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). 

KKPPI dibentuk Menteri Koordinator Bidang Perkonomian DR. Dorodjatun Kuntjorojakti dengan anggota Tim dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan instansi terkait, seperti: Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan dan Departemen Keuangan.

KKPPI Sub Komite Penyehatan PDAM kemudian  menyelenggarakan lokakarya bertajuk Reform of Water Enterprises yang kemudian melahirkan enam kebijakan dalam upaya penyehatan PDAM:
  • Pertama, perlunya redefinisi kelembagaan BUMD.
  • Kedua, Penyelenggaraan Air Minum yang profesional berdasarkan kepengusahaan.
  • Ketiga, peningkatan kualitas penyelenggaraan air minum dengan prinsip full cost recovery, tanpa    mengabaikan masyarakat berpenghasilan rendah/tidak mampu.
  • Keempat, percepatan penyelesaian hutang PDAM, dengan memperhatikan kemampuan PDAM/Pemda setempat.
  • Kelima, pemantapan dan peningkatan pelayanan air minum bagi masyarakat dengan terencana. Dan
  • Keenam, peningkatan dukungan pemerintah pada aspek manajemen, teknologi, sistem pembiayaan dan ketersediaan air baku....
Namun kebijakan di tingkat makro tersebut masih memerlukan perjalanan  panjang untuk dapat diimplementasikan di daerah. Malah, setelah pimpinan nasional berganti, kabinet berubah, program penyehatan PDAM pun kini tak terdengar lagi kiprahnya. Faktanya, hingga tahun 2004, PDAM di Indonesia hanya sanggup berproduksi dengan kapasitas 95.540 liter/detik, dengan tingkat cakupan pelayanan sebanyak 40 juta atau sekitar 20% dari jumlah penduduk Indonesia.

Cakupan pelayanan yang masih rendah itu, merupakan indikasi bahwa jika Pemerintah Indonesia harus menyediakan air bersih bagi rakyatnya dengan sistem perpipaan, dipastikan Indonesia akan gagal memenuhi komitmen Millenium Development Goals 2015, yang sudah berada di depan mata.

MDGs 2015 merupakan komitmen yang ditandatangani sejumlah negara berkembang (negara-negara miskin) di Johannesburg pada tahun 2002. Pemerintah Indonesia turut menandatangani komitmen untuk mengurangi hingga separuhnya dari jumlah penduduk yang belum dapat  mengakses air bersih sebagai prasyarat tercapainya peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Komitmen tersebut kemudian diperkuat dengan "Deklarasi Bangkok" yang pada intinya menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya akan air bersih yang pemenuhannya termasuk sebagai Hak Asasi Manusia yang dilindungi Undang-undang.

Pemeriksaan di Water Treatment Plant
Tentu saja, makna itu bisa berlaku sebaliknya, jika Pemerintah tidak sanggup memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya berarti telah terjadi perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kemanusiaan (againts humanity).

Pesimisme mencapai target-target pada era millenium, tampak dari realitas berikut ini: pada tahun 1969 Indonesia mulai membangun sarana air bersih dengan kapasitas 9.000 liter/detik. Hingga tahun 1999, kapasitas yang telah tercapai sebesar 94.000 liter/detik, berarti terjadi pertambahan 85.000 liter/detik selama 30 tahun atau hanya sekitar 2.000 sampai 3.000 liter/detik tambahannya setiap tahun.

Untuk mengejar target dalam rangka MDG itu, berarti kapasitas pengolahan air minum yang harus  dipunyai Indonesia hingga tahun 2015 adalah sekitar 250.000 liter/detik. Berarti, setiap tahun harus bertambah sebanyak 15.000 liter / detik mengingat batas waktu yang ditetapkan tinggal 10 tahun lagi.

Tetapi pengalaman Indonesia selama ini, hanya mampu menambah kapasitas produksi sekitar 3.000 liter/detik/tahun, maka  untuk mengejar ketertinggalan itu kapasitas manajemen pembangunan Indonesia harus  ditingkatkan menjadi minimum lima kali lipat dari yang ada sekarang. Apakah realistis Pemerintah memacu PDAM di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kemampuan manajemennya yang profesional minimal lima kali lipat, dalam kondisi PDAM terpuruk seperti sekarang?

Hanya kemampuan retorika saja yang sanggup menjawab MDGs 2015 bisa tercapai oleh Indonesia, khususnya di sektor air minum.  Kecuali memobilisasi partisipasi publik untuk mengadakan penyediaan air bersih di luar sistem non perpipaan. Tanpa harus mempertanyakan kualitas air bersih yang dihasilkannya.

Sudah saatnya Pemerintah memperhatikan kaum pinggiran di perkotaan dan kelompok miskin di perdesaan. Sekaligus berterimakasih, karena mereka tidak pernah menggunakan haknya (atau tidak tahu) untuk memprotes atas tidak tersedianya air bersih bagi semua orang secara adil dan merata tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Sebab, jika merunut pada Deklarasi Bangkok, maka Pemerintah wajib menjamin kebutuhan dasar bagi setiap warganegaranya.

Konsekuensinya, tentu saja memungkinkan Si miskin untuk mengajukan gugatan perwakilan (class action) atas kondisi lingkungan yang bukan pilihannya, yang menyebabkan hidup mereka menjadi lebih berat dan rentan terhadap berbagai penyakit. Baik penyakit sosial maupun penyakit fisik yang berujung pada degradasi intelektual hingga berakhir pada kematian yang menyengsarakan, seperti korban anak-anak SD pada awal tulisan ini.

Namun, rupanya Indonesia tidak sendirian. Beberapa fakta menarik tentang kondisi air minum dan penyehatan lingkungan, berdasarkan temuan beberapa studi di tingkat internasional,  mengungkapkan ilustrasi yang menunjukkan diskriminasi di tingkat struktural bahwa: Si Miskin harus membayar lebih mahal hanya sekadar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya!

Kasih Ibu
sepanjang masa
  • Kurangnya akses terhadap air minum, sanitasi dan rendahnya hygiene menyebabkan 3 juta penduduk di negara berkembang, terutama anak-anak meninggal setiap tahunnya.
  • Sebanyak 200 juta penduduk dunia menderita penyakit schistosomiasis. Studi ilmiah menyatakan bahwa pengurangan angka kesakitan ini sebanyak 77% dapat dicapai dengan memperbaiki kondisi dan aksesibilitas air minum dan sanitasi.
  •  Pada 10 tahun  terakhir, penyakit diare membunuh anak-anak lebih banyak dibandingkan jumlah korban Perang Dunia II.
  • Di negara Cina, India dan Indonesia jumlah penduduk yang meninggal akibat diare mencapai 2 kali jumlah penduduk yang meninggal akibat  HIV/AIDS.
  • Pada tahun 1998, sebanyak 308 ribu penduduk meninggal sebagai korban perang di Afrika, tetapi lebih dari 2 juta penduduk meninggal akibat penyakit diare.
  • Studi di Karachi menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di suatu daerah tanpa sanitasi  yang memadai dan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai hygiene memerlukan dana untuk pengobatan kesehatan sebanyak 6 kali dibandingkan tinggal di daerah yang memiliki fasilitas sanitasi.
  • Kaum perempuan di Afrika dan Asia menempuh jarak 6 km dengan berjalan kaki untuk mengambil air dari sumber. Mereka membawa air tersebut di atas kepala dengan berat rata-rata 20 kg.
  • Tarif air minum per liter yang dibebankan kepada penduduk yang bertempat tinggal  di daerah kumuh Kiberia, Kenya, mencapai lebih dari 5 (lima) kali Tarif yang dibebankan kepada rata-rata penduduk  Amerika.
Fakta-fakta memprihatinkan ini, benar-benar menohok Anda (dan mereka atau mungkin juga kita) yang kini  memperoleh kehidupan yang lebih mudah dengan tersedianya air bersih setiap saat, melebihi dari kebutuhan sehari-hari kita. Tetapi, pernahkah Anda membayangkan bahwa air di lubang Toilet kita ternyata lebih bersih dari pada air yang dikonsumsi oleh mayoritas orang yang hidup di negara tertinggal?

Inilah saatnya untuk peduli. Saatnya bertindak melalui cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kesulitan yang dialami manusia lain. Teruslah berbuat baik, sebatas kemampuan yang bisa Anda lakukan.  Hingga suatu saat, kita akan sampai pada kesadaran baru, bahwa: sesungguhnya ketika Anda berbuat baik dengan mengurangi kesulitan orang lain, maka sebenarnya kebaikan itu untuk diri Anda sendiri. 
   

Tidak ada komentar: