Senin, Januari 24, 2011

Mengapa Si Miskin Membayar Lebih Mahal untuk Air Minum? (Bagian 1)

Anak-anak korban diare
di sebuah bangsal rumah sakit (life.com)
Pada medio Juni 2005, beberapa stasiun televisi dan surat kabar nasional di Ibukota melaporkan: sejumlah anak-anak di berbagai tempat di tanah air telah meninggal dunia secara mengenaskan. Mereka tergeletak tak berdaya di bangsal-bangsal rumah sakit, kemudian tewas setelah terserang diare dan muntaber. Para korban, adalah balita dan anak-anak usia sekolah dasar, menjelang tahun ajaran baru, kenaikan kelas dan kelulusan.

"Tuhan, jangan ambil nyawa anakku" 
(life.com)
Pada umumnya, orang tua korban terlambat membawa anak-anak tersebut ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat, karena kesulitan biaya, susahnya mendapatkan transportasi dan sulitnya mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan.

Kalaupun sempat dirawat, pihak Rumah Sakit dan Puskesmas mengaku menerima pasien sudah dalam keadaan kritis dan akut, padahal penderita memerlukan perawatan segera. Dilaporkan pula, jumlah penderita diare dan muntaber, diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan datangnya pergantian musim, dari musim kemarau ke musim penghujan tahun ini....
Para ahli kesehatan mengindikasikan, berjangkitnya epidemik muntaber, diare, kolera, disentri dan tifus, disebabkan kondisi lingkungan yang buruk.  Pengaruh dominan adalah faktor air yang tercemar dan tidak memadainya sistem sanitasi, sehingga menyebabkan bakteri e-coli dan fecal coli tumbuh subur melalui air sebagai medianya. 

Air yang dikonsumsi para korban, sangat mungkin telah tercemar, baik oleh limbah domestik seperti tinja manusia maupun limbah industri. Dan anak-anak malang yang tak berdosa tersebut,  berasal dari daerah daerah perkotaan, kawasan pinggiran (marjinal) yang menempati daerah-daerah  kumuh dan padat, seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Sungai berubah fungsi jadi tong sampah

Air Tercemar
Sinyalemen berjangkitnya penyakit-penyakit tersebut, jauh hari sebelumnya, sebenarnya pernah terungkap dalam sebuah penelitian yang sangat mengejutkan dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta. Diantaranya menyebutkan bahwa kualitas air tanah dangkal di lebih dari 90 persen sumur pantau di Jakarta, telah tercemar bakteri coli. Begitu pula, kualitas air permukaan, dari 80 persen badan air memiliki kadar BOD (Biological Oxygen Demand) yang lebih besar dari baku mutu yang ditetapkan. Singkatnya, bahan baku air minum (air bersih) di Jakarta sudah tidak layak dikonsumsi.
Sungai sebagai tempat mandi,
mencuci pakaian dan makanan

(calstatela.edu)


Sebagian warga Jakarta  yang tinggal di kawasan kumuh (slum area) dengan fasiltitas air bersih yang minim dan sanitasi yang buruk, sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit melalui air. Dampak susulannya, adalah melemahnya daya tahan tubuh bahkan tidak mustahil dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan otak yang mengakibatkan penurunan tingkat kecerdasan.

Ancaman dari bawah tanah itu, ternyata tidak hanya berhenti di situ, sebab tidak hanya sumur-sumur bor yang sudah tercemar, tetapi juga sungai-sungai. Kualitas air sungai di DKI Jakarta misalnya, seperti sungai Ciliwung, sungai Krukut dan Kalimalang (Tarum Barat) yang digunakan untuk air baku air minum, kini semakin menurun akibat pencemaran llimbah domestik dan limbah industri.

Beberapa parameter yang digunakan untuk mendeteksi kadar pencemaran, yaitu kadar BOD minyak, lemak dan beberapa parameter lain, umumnya telah melampaui baku mutu yang ditetapkan. Air sungai sebagai bahan baku air bersih juga banyak tercemar bakteri coli dan fecal coli yang terdapat dalam tinja manusia.

Bakteri e-coli merupakan indikator bahwa air tersebut telah tercemar tinja manusia. Sebenarnya, bakteri ini terdapat dalam usus yang berfungsi melakukan pembusukan supaya proses kehidupan dapat berlangsung secara alamiah di dalam tubuh manusia. Namun ia menjadi persoalan, tatkala dikonsumsi untuk berbagai keperluan (minum, memasak dan mencuci makanan).

Tidak mengherankan, bagi mereka yang mengabaikan pentingnya air bersih dan sanitasi, akan sangat rentan terhadap serangan berbagai jenis penyakit. Departemen kesehatan mengindikasikan, setidaknya terdapat 30 jenis penyakit yang disebabkan oleh air sebagai medianya.

Hidup di bantaran sungai
DIARE PENYEBAB KEMATIAN

Pada seminar bertajuk Nusantara Water 2004, yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (19/08/04), Menkes (ketika itu) Dr. Achmad Sujudi mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan kualitas air PDAM oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota di seluruh Indonesia, dari semua sampel yang diperiksa, menunjukkan hanya 80 persen air PDAM yang memenuhi syarat kualitas bakteriologi.  Sedangkan untuk air non perpipaan hanya 53,76%, yang memenuhi syarat kesehatan. Kondisi demikian mendukung terjadinya kejadian luar biasa (KLB) diare di daerah-daerah tertentu.

Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI N0. 907/MENKES/SK/VII/2002, antara lain   meliputi persyaratan Bakteriologis (parameter: coli dan fecal coli);  persyaratan kadar Kimiawi (parameter: anorganik, organik, pestisida, desinfektan dan hasil sampingannya); Radioaktifitas (parameter: gross alpha dan beta activity) serta  persyaratan Fisik (warna, rasa,  bau, temperatur dan kekeruhan), yang seluruhnya harus memenuhi baku mutu yang ditetapkan atau batas maksimum yang diperbolehkan.

Menkes Sujudi lebih jauh mengungkapkan, kesehatan lingkungan di Indonesia saat ini mengalami beban ganda. Pertama penyakit menular tradisional yang disebabkan oleh lingkungan, termasuk air. Seperti diare, malaria, typhus. Namun, beban pertama masih belum secara tuntas diselesaikan, muncul beban kedua yaitu  timbulnya modern hazard yang sifatnya tidak menular seperti makanan dan air minum yang tercemar oleh pestisida, herbisida, logam berat, dan lain-lain.
Rumah Sakit sudah penuh,
korban dirawat di tenda-tenda darurat

Secara tradisional terdapat empat (4) penggolongan penyakit yang berkaitan dengan air, yakni:

Pertama, Water borne diseases, air yang diminum mengandung kuman patogen sehingga menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit: kolera, typhus, disentri dan lain-lain.

Kedua, Water washed diseases, penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air atau tidak mencukupinya kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari bagi pemeliharaan higiene perorangan. Penyakit yang tergolong di sini adalah: skabies, infeksi kulit dan selaput lendir, trakhoma, lepra, dan lain-lain.

Ketiga, Water based diseases, disebabkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus kehidupannya berhubungan dengan air : Schistosomiasis.

Keempat, Water Related Vector, vektor penyakit yang sebagian atau seluruh perindukannya berada di air (malaria, demam berdarah dengue, filariasis,   dan sebagainya).  Sementara, yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan mempengaruhi sumber daya manusia adalah penyakit diare. Insiden diare pada tahun 2000 terdapat 278 per 1.000 penduduk, dan menurun menjadi 137 per 1.000 penduduk pada 2002.

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan menggunakan air bersih yang baik, dapat menurunkan kejadian penyakit diare sampai 18%; dengan menggunakan jamban di rumah  dapat menurunkan sebesar 15%.

Tetapi bila dilakukan secara bersama, penyediaan air minum, jamban keluarga dan penyuluhan kesehatan, dapat menurunkan angka kejadian diare sampai sebesar 34-45 persen. Dan anak balita saat ini, paling tidak menderita diare rata-rata 1,3 kali per tahun. Hal ini menunjukkan adanya masalah air minum/air bersih dan perilaku hidup yang kurang sehat.

Buruknya kondisi lingkungan di Indonesia, memberikan kontribusi pada penyakit saluran pencernaan, terutama penyakit diare, yang saat ini masih merupakan penyebab kematian nomor tiga pada balita setelah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan gangguan perinatal.

Perubahan lingkungan juga dapat mempengaruhi kesehatan. Seperti yang  terjadi karena suatu proyek bendungan dan pengairan, yang berdampak pada peningkatan transmisi vector borne diseases. 

Pembangunan irigasi dapat meningkatkan wahana untuk berkembang nyamuk sehingga meningkatkan populasi nyamuk yang diikuti oleh peningkatan insiden penyakit yang ditularkan, seperti malaria. Selain itu, penyakit Schistosomiasis dapat menyebar ke daerah yang dialiri oleh saluran irigasi melalui keong sebagai reservoir cacing Schistosomiasis.

Demam berdarah dengue, yang termasuk dalam penyakit yang berhubungan dengan water related vector, telah mengalami perluasan transmisi virus dan peningkatan yang cukup berarti. Insiden demam berdarah, pada 2002 telah mencapai 264 kabupaten/kota yang terjangkit, kemudian pada 2003 sebanyak 266, dan meningkat menjadi 308 kabupaten/kota pada tahun 2004.

Pukulan Berat Bagi Si Miskin


Bagi-bagi duit dari Pemerintah
sebagai kompensasi kenaikan BBM
Penyebaran penyakit dengan air sebagai medianya, sungguh mengkhawatirkan. Padahal, jauh sebelumnya pada Januari 2001, WHO dalam rangka Intercountry Consultation on Quality Assurance in Water Supply System, telah mencetuskan Deklarasi Bangkok yang antara lain menyatakan bahwa air minum yang sehat dan terjangkau dalam jumlah yang mencukupi adalah hak asasi  setiap manusia sebagai syarat untuk mencapai kesehatan yang optimal dalam mencapai keadilan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Namun bagaimana realisasinya? Kondisi penyediaan air bersih dan sanitasi  pada umumnya di kota-kota besar di Indonesia, masih sangat menyedihkan. Terkesan  belum ditangani serius oleh berbagai pihak yang berkepentingan, baik instansi Pemerintah maupun partisipasi swadaya masyarakat itu sendiri.

Masalah pencemaran memang tidak terlepas dari perkara keseimbangan air tanah. Semakin banyak air tanah disedot secara tidak terkendali, maka kondisi  air tanahnya akan semakin buruk karena air dari mana saja akan masuk untuk mengisi kekosongan yang terjadi akibat penyedotan besar-besaran itu. Bersamaan dengan itu masuk pula berbagai jenis limbah.

Di Jakarta laju kecepatan penggunaan air, jelas telah melampaui proses penyimpanannya maka terjadilah penurunan, baik kuantitas maupun kualitas persediaan air. Kondisi demikian diperparah dengan semakin pesatnya aktivitas bisnis dan perdagangan yang menuntut sarana dan prasarana fisik, seperti pembangunan gedung-gedung  pencakar langit dengan tingkat hunian yang tinggi, rumah-rumah susun, apartemen dan berkembangnya kawasan pertokoan, dengan mengabaikan dampak terhadap lingkungan.

Begitu pula,  penambahan infrastruktur jalan dan tertutupnya pori-pori tanah oleh cor beton dan semen,  yang pada gilirannya mengakibatkan terhambatnya resapan air hujan  ke dalam tanah, sehingga pengisian air tanah sangat minim. Pada saat  yang sama meresap pula sebagian besar limbah cair ke dalam tanah, sehingga menimbulkan pencemaran yang hebat.

Fenomena demikian menunjukkan bahwa pencemaran air tidak hanya mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup tetapi juga memberikan pukulan yang berat bagi kelompok masyarakat paling lemah dan terpinggirkan (kaum marjinal), yang jumlahnya di perkotaan justru semakin besar.

Rumah-rumah Kardus
di pinggiran Rel Kereta Api di Ibukota
Pada umumnya mereka menetap di kawasan-kawasan kumuh dan padat. Mereka mudah ditemukan di balik gedung-gedung megah, hidup berdesakan memadati gang-gang kelinci, dengan fasilitas air bersih yang minim dan sanitasi yang buruk. Di Jakarta Pusat misalnya,  lihatlah di kawasan Tambora, Tanah Tinggi atau  kawasan Grogol – Kalideres di Jakarta Barat, Cawang – Jatinegara- Jakarta Timur dan sebagian Jakarta Utara.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan akan air minum/air bersih, mereka terpaksa harus berjuang lebih keras dengan berbagai cara dan mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Biasanya mereka terpaksa harus membeli dari penjual air pikulan dengan harga Rp 1.000/ jerigen (sekitar 20 liter). Ada pula alternatif lain, misalnya dengan membeli air isi ulang. Namun jelas mereka harus membayar jauh lebih mahal ketimbang air bersih yang dipasok dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Sebagai gambaran, biaya yang mereka keluarkan untuk kebutuhan air bersih, tampak dari perbandingan harga air berikut: Air Kemasan Botol setara Rp 3. 000.000/M3; Penjual Air Eceran setara Rp 25.000/M3; Tangki Air setara Rp 20.000/M3; Galon Isi Ulang setara Rp 131.000/M3. Sedangkan jika mereka berlangganan dari PDAM, hanya setara Rp 5000/M3 (tarif PAM DKI Jaya).

Kendati tarif PDAM relatif lebih murah, tetapi komunitas  miskin di perkotaan ini pada umumnya belum mendapat akses terhadap air bersih. Mereka tidak masuk dalam peta rencana jaringan instalasi PDAM. Kalaupun sudah ada jaringan pipa PAM, seringkali mereka terkendala dengan beban biaya sambungan baru yang mencapai jutaan rupiah.

Di lain pihak, PDAM hanya mau melayani pemasangan sambungan pada rumah-rumah permanen yang mempunyai kesanggupan dan kesediaan membayar tarif rekening air karena cakupan pelayanan PDAM masih terbatas. Hidran umum, yang semestinya tersedia di banyak tempat bagi siapa saja yang kehausan dan membutuhkan air, juga masih sangat terbatas. Disamping itu, debit airnya kecil dan kontinuitas aliran belum terjamin 24 jam sehari.  Karena itulah, mereka berpaling pada air tanah  yang disedot dengan pompa dan sumur bor, yang cadangannya di kota-kota besar semakin menipis dan tercemar berbagai limbah polutan.

Itulah susahnya menjadi kaum pinggiran. Mulai dari para gelandangan, pengemis, tuna wisma, barisan pemulung dan pekerja kasar seperti buruh angkut, pekerja serabutan, kuli bangunan, hingga para pekerja pabrik di rumah-rumah petak, pedagang kaki lima, sampai para pekerja seks komersial kelas bawah, dan lainnya.

Mereka pada umumnya mengadu nasib di kota-kota besar,  tetapi kemudian tersisih bukan karena tidak adanya keinginan untuk bekerja, tetapi kesempatan dan kemudahan dari Pemerintah memang tidak menyentuh dan enggan menghampiri mereka. Termasuk dalam mengatasi kebutuhan yang paling mendasar, seperti sarana air minum (air bersih) dan sanitasi yang sehat.

Maka, setelah bertahun-tahun, beban hidup mereka kian bertambah karena  harus menghidupi dan menyekolahkan anak-anak dengan biaya pendidikan dan sarana transportasi yang semakin berat. Maka, tak jarang mereka berkilah, jangankan memperhatikan air bersih, pengadaan fasilitas WC  atau kesehatan lingkungan sekitarnya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah susah.

Terpaksa minum Air Kotor
Jika sesekali Anda melancong ke Ibukota, cobalah menaiki Kereta Rel Diesel/listrikl (KRD/KRL) jurusan Bekasi – Jakarta Kota (Beos) atau Gambir. Tengoklah keluar jendela. Wajah-wajah mereka segera tampak di balik gubuk-gubuk beratap seng, ditambal kardus dan plastik yang ditopang kayu dan bambu seadanya.

Mereka  nekad mendirikan ‘tempat berteduh’ dengan jarak kurang dari dua meter dari lintasan rel KA. Jika kereta lewat, mereka bisa tidak acuh. Dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti menanak nasi sambil menyusui bayi.

Pemandangan semacam itu di Jakarta, dengan mudah kita temukan di sepanjang jalur Cakung-Jatinegara-Kramat-Senen-hingga Kota. Belum lagi mereka yang berhimpitan di pasar-pasar tradisional, di gang-gang sempit, dan mereka yang ‘menempel’ dibalik gedung-gedung tinggi, bahkan tidak sedikit mereka yang terpaksa bertahan di sepanjang bantaran sungai-sungai. Sungguh pemandangan kumuh yang serba kontras dengan gemerlapnya gedung-gedung pencakar langit di Ibukota dan berseliwerannya kendaraan-kendaraan mewah di depan mata mereka.

  
                             

Tidak ada komentar: