Senin, Juli 11, 2016

Kenikmatan Berbagi di Hari Raya Idul Fitri 1437 H


Sebuah kegiatan terbesar bangsa Indonesia, yang tidak masuk ke dalam kalender resmi adalah: Hari Mudik Nasional. 

Together We Strong
Hari mudik ini rentangnya cukup panjang, bisa seminggu bahkan dua minggu, yaitu Hari Minus 7 hingga Hari Plus 7, yang puncaknya tahun ini jatuh pada tanggal 6 Juli 2016 atau bertepatan dengan 1 Syawal 1437 H dalam kalender Islam.

Bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, merayakan Idul Fitri atau hari kemenangan, setelah menahan diri selama sebulan penuh. Inilah saatnya, kembali kepada keadaan sebagaimana ketika seseorang dilahirkan laksana bayi yang terlahir suci, bersih tanpa dosa (fitrah). Dan hari itu, sekaligus menandai berakhirnya bulan Ramadhan.

Kenikmatan dan kegembiraan ini, sejatinya, terasa belum lengkap tanpa kehadiran orang-orang tercinta, termasuk yang utama adalah anggota keluarga, kedua orang tua, sanak saudara dan kaum kerabat.

Kerinduan dan berbagi suka duka, adalah kebutuhan batin dan awal keceriaan. Dan inilah pula magnet yang menyedot jutaan orang dari kota-kota besar di Indonesia untuk melakukan 'perjalanan' setahun sekali pulang ke kampung halaman masing-masing.

Jutaan orang yang berasal dari berbagai kota-kota besar di Indonesia, sejak Hari-7, mulai meninggalkan pekerjaannya dan mempersiapkan diri untuk perjalanan: pulang ke kampung, tempat dari mana mereka berasal.

Maka munculah istilah Mudik, yang artinya kembali ke UDIK (kampung). Tidak hanya rakyat jelata, bahkan para pejabat tinggi, mulai dari Menteri Negara hingga Presiden Jokowi pun meninggalkan Jakarta dan memilih berlebaran di Padang, Sumatera Barat. Yang ingin saya dengar, apakah ada pernyataan yang menyebutkan bahwa sudah sepatutnya para pejabat tinggi/negara meminta maaf kepada rakyatnya?!

Para pejabat, memang patut meminta maaf atas ketidaknyamanan yang diberikan kepada rakyat selama, menjelang dan pasca lebaran karena terciptanya 'horor' di jalan raya, akibat manajemen mudik yang amburadul yang kurang dipersiapkan dengan baik, hingga mengakibatkan kemacetan di sana-sini.

Bertumpuknya ratusan ribu hingga jutaan kendaraan dari berbagai jenis dalam waktu yang relatif bersamaan di jalan-jalan tol hingga ke jalan-jalan protokol ditambah dengan minimnya informasi yang memadai bagi pengendara. 

Para pengguna jalan sudah sepatutnya bisa mendapat informasi memadai tentang situasi terkini melalui berbagai media yang sekarang ini lumayan canggih, sehingga mereka bisa memutuskan kapan akan mudik dan melalui alternatif mana yang paling memungkinkan serta apa saja rekayasa lalu lintas yang sudah/sedang berlangsung di suatu area.

Jangan heran, jika Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, seakan tak percaya jika kemacetan lalu lintas bisa mengakibatkan melayangnya jiwa?! Karena kita tidak tahu lagi berapa kerugian yang ditimbulkan sebagai dampak dari kemacetan: berapa juta liter bensin tertumpah sia-sia di jalan raya setiap tahun? Berapa lama waktu tersita oleh para pengguna jalan sehingga mereka menjadi tidak produktif, serta berapa besar tekanan psikologis yang diderita masyarakat pengguna jalan? Apakah ada yang berinisiatif menghitungnya? Supaya Pak Menteri tidak lagi keheranan bahwa kemacetan lalu lintas memang melahirkan kerugian dan penderitàan beruntun di masyarakat.

Tradisi MudikSejak kapan kebiasaan mudik yang sudah menjadi bagian dari tradisi bangsa Indonesia bermula? Tak ada catatan resmi yang mengungkap dengan pasti. Namun tradisi mudik itu, dilakukan oleh sebagian besar orang Islam Indonesia. Dan kehendak untuk pulang itu bisa ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari perjalanan darat, laut dan udara, menggunakan alat transportasi apa saja yang memungkinkan dengan berbagai barang bawaan apa saja, yang mereka pikir akan berguna atau diperlukan di Udik sana.

Ibukota Jakarta, dalam beberapa hari tampak sepi dan lengang. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi Jakarta digerakan oleh kaum urban, Cobalah Anda bepergian di dalam kota Jakarta, pada Hari -3 dan Hari + 3, akan jauh terasa lebih nyaman, lalu lintas lancar tetapi terasa aneh, agak asing bahkan serasa 'tidak bernyawa'. Mengapa? Karena Jakarta sudah dan sedang ditinggalkan para pendatang dari berbagai daerah, yang 'menghidupkan' denyut nadi kota ini.

Fenomena yang menarik, tampak ketika para mudikers ini berusaha menunjukkan wajah baru, pakaian baru, kendaraan baru, bahkan berbagai asesories baru, yang menunjukkan simbol-simbol status sosial di mata masyarakat. Seperti kepemilikan mobil baru, peralatan komunikasi canggih dengan gadget terbaru, hingga perilaku, gaya atau logat bicara baru yang mungkin diadopsi dari lingkungan tertentu, kemudian mereka tularkan bahkan dipamerkan di kampung-kampung!

Keajaiban Memberi
Aspek terbaik yang terlihat dalam suasana Idul Fitri kali ini, adalah munculnya arus pergerakan uang dalam jumlah besar, tak kurang dari Rp 150 Trilyun dan diantaranya sekitar Rp 40 Trilyun beredar di Jabodetabek, sebagian berpindah tangan dari sekelompok orang kini menyebar ke sejumlah besar kelompok manusia dan tersebar pula ke berbagai pelosok di tanah air. Baik dalam bentuk zakat fitrah, zakat mal (harta), sedekah, infak, atau bentuk pengalihan kepemilikan atas penguasaan lahan dan/atau benda berharga lainnya, seperti (wakaf tanah dan bangunan untuk kepentingan ibadah) termasuk ungkapan kasih sayang lainnya (amal atau karitas).

Semua orang Islam adalah bersaudara, dan Anda tidak boleh membiarkan Saudara Anda dalam kesulitan. Jika ada bagian tubuh Saudara kita yang sakit, maka badan Anda pun merasa sakit. Jika ada Saudara Anda yang tidak bisa memberi, maka dia pantas menerima.

Setiap jiwa, yang usianya memasuki bulan Ramadhan, wajib mengeluarkan zakat, yang besarnya (jika dihitung sekarang) setara 3,1 kilogram beras (yang biasa Anda konsumsi) untuk diberikan kepada mustahiq atau mereka yang memenuhi persyaratan sebagai penerima zakat, yakni seseorang atau orang-orang yang tidak memiliki persediaan makanan di hari raya hingga malam harinya.

Tuhan telah mengatur dengan teramat sangat teliti, bagaimana pranata suatu masyarakat harus dibentuk atas dasar kemanusian, jauh sebelum konsep Hak Asasi Manusia (HAM) diagungkan masyarakat barat. Islam membuat jembatan agar tidak ada disparitas yang jauh, tidak ada kesenjangan ekonomi dengan jurang yang dalam, dengan tetap menghargai hak-hak atas kepemilikan individu dan kelompok.

Memang, tidak ada yang lebih indah selain berbagi. Buat diri Anda sendiri, secara kejiwaan, dengan berbagi membuat perasaan lebih nyaman. Anda tidak perlu merasa khawatir jika kendaraan, mobil atau motor Anda akan digondol maling meski di parkir di luar rumah, karena kita peduli kepada orang-orang sekitar.

Sebaliknya, mereka pun menjadi sama pedulinya kepada harta Anda, yang mungkin tidak bisa Anda jaga selama 24 jam. Itulah salah satu rahasia kenikmatan berbagi, saling peduli mendatangkan rasa tentram. Singkatnya, biarlah harta Anda yang menjaga diri Anda dan keluarga Anda, bukan sebaliknya Anda terus menerus merasa was-was oleh harta Anda.


Bahkan, pemberian kita pada berbagai keadaan (susah dan/atau senang) akan kembali kepada kita dalam bentuk yang jauh lebih baik kepada Anda. Mengapa?

Tuhan menjanjikan dengan jelas pada berbagai ayat di dalam kitab suci Al Quran tentang pentingnya berbagi, kepada kedua Orang Tua, Saudara kandung, dan kepada kaum kerabat. Begitu juga, pemahaman manusia, bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia di alam semesta ini. Albert Einstein bilang hal ini sebagai hukum kekekalan energi! Itulah yang sering disebut Ust. Yusuf Mansur sebagai keajaiban memberi (miracle of giving). Ada dialektika yang sebenarnya tidak sulit dipahami jika kita mengacu kepada hukum kesetimbangan semesta.

Bahwa harta yang Anda berikan, akan kembali menjadi berlipat ganda menghampiri Anda, dalam bentuk yang (boleh jadi) berbeda, bahkan mungkin tidak sesuai dengan harapan ketika Anda memberikannya. Namun Tuhan menciptakan alam ini dengan keseimbangan yang sempurna. Maka jika yang terlihat adalah ketidakadilan, mestilah ada aspek kebaikan lain yang mungkin tidak terlihat yang Anda terima. Namun diatas segalanya, setiap pemberian harus disertai dengan syarat utama: tidak terpaksa atau ikhlas hanya karena Allah.

Maka, jangan biarkan hati dan pikira Anda terus-menerus diselimuti perasaan gundah gulana karena harus mengawasi harta benda. Terus menerus juga, mengawasi perilaku anak gadis atau pria yang berada di luar rumah karena kita tidak pernah memberinya kepercayaan untuk bisa menjaga dirinya sendiri. Pola hidup seperti ini, justru yang banyak dirasakan 'orang kota' hingga mereka pun kemudian rentan dihinggapi berbagai penyakit. Mereka sangat giat mencari uang, kemudian dihabiskan untuk membayar biaya pengobatan.

Beramal yang ikhlas (di bulan puasa dan pasca Ramadhan), semestinya menimbulkan bekas pada bulan-bulan selanjutnya dalam siklus tahunan, hingga sepanjang hidup. Ini tidak saja membuat diri kita sendiri merasa nyaman, terlebih lagi bisa membuat orang lain bergembira. Apalagi jika perbuatan itu disertai dengan hati yang tulus, tanpa bermaksud meningkatkan harga diri Si Pemberi dan sebaliknya merendahkan Si Penerima.

Jika Anda berada dalam posisi tidak bisa memberi, juga tidak bisa disebut layak menerima (mustahiq), anjuran bersedekah tetap berlaku, minimal dengan TERSENYUM, hindari bermuka masam kepada tetangga dan/atau kerabat, pancarkan air muka 'bersahabat' dan siap membantu dengan ringan tangan, setidaknya turut bersimpati atas kemalangan dan derita orang lain, itulah selemah-lemahnya amal sedekah. Dan sembunyikan tangan kiri Anda, ketika tangan kanan sedang memberi, dengan kata lain, jangan mengumbar pemberian dengan maksud meningkatkan harga diri Anda di depan banyak orang.

Pemberian Berpamrih
Namun di lingkungan bisnis dan administrasi Pemerintah, masih sering kita saksikan yang terjadi sebaliknya, ketika seseorang (atau sesuatu perusahaan entah Kontraktor atau Konsultan), yang memberikan sesuatu dengan tujuan mendapatkan yang lebih banyak, lebih besar atau lebih bernilai.

Pemberiaan semacam ini, bisa beragam bentuknya. Bisa berupa uang, barang-barang seperti kendaraan, parcel, cinderamata yang nilainya di atas kewajaran, yang diberikan kepada seorang/beberapa pejabat.

Dilain pihak, si Penerima juga sepatutnya sudah bisa menduga jika menerima sesuatu pemberian yang diluar kewajaran. Dia bisa melaporkan hal tersebut sebagai gratifikasi atau penyuapan terselubung. Maka, Anda selaku pejabat janganlah tergoda pula untuk membalasnya dengan memberikan janji tertentu. Transaksi dengan selubung THR seperti ini adalah berpamrih!

Sesuatu janji, yang diberikan oleh seorang pejabat (yang menggengam kekuasaan di tangannya), kepada seseorang atau sesuatu lembaga atau perusahaan, yang telah memberikan sesuatu pemberian --dengan maksud mendapatkan sesuatu yang lebih besar (nilainya) baik berupa pekerjaan/proyek tertentu-- meski belum dilaksanakan, termasuk ke dalam perbuatan tercela dan memiliki implikasi pidana.

Hal semacam inilah yang termasuk kategori perusak amal, yang menghanguskan makna puasa yang telah dijalani seseorang selama satu bulan penuh. Dan itu artinya, saya dan Anda, belum termasuk orang-orang yang keluar sebagai pemenang, tidak tergolong sebagai orang-orang yang kembali kepada kesucian. Baik suci jasmani (tidak memakai atau mengonsumsi barang-barang atau fasilitas yang diperoleh secara tidak sah dan/atau ilegal), maupun suci secara ruhani. Untuk perkara yang terakhir ini, hanya Anda dan Tuhan yang tahu.

Semoga kita dijauhkan dari segala tindakan tercela yang dapat menghapus seluruh amal ibadah yang telah kita laksanakan selama berpuasa. Selamat hari raya Idul Fitri 1437 H, selamat menikmati kegembiraan, berbagi kasih bersama orang-orang yang Anda cintai.
Mohon maaf lahir dan bathin...!

Tidak ada komentar: