Pasca Pengesahan RUU Pilkada, Karangan Bunga Dikirim ke Istana
Hasil sidang paripurna DPR tentang
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang menyerahkan
kepada mekanisme DPRD, melalui voting di gedung MPR-DPR, Jumat (26/9)
dini hari, menuai kecaman dari berbagai pihak. Proses
persidangan RUU Pilkada menjadi UU, yang diwarnai aksi walk out partai
Demokrat, dinilai sebagai drama terburuk bagi Presiden SBY.
Penentang RUU Pilkada lewat DPRD yang tergabung dalam Gerakan Dekrit
Rakyat Indonesia (GDRI), hari ini
dikabarkan mengirim karangan bunga ke Istana Negara, Senin (29/9), sebagai simbol
dukacita atas matinya demokrasi.
"Besok (hari ini_Red) kita ke Istana Negara pukul 13.00, berkabung mengucapkan
belasungkawa," kata Direktur Eksekutif
Lingkar Madani Indonesia (Lima),
Ray Rangkuti di Restoran Tong Tji, Jl Menteng Raya, Jakarta, Minggu (28/9).
Ray bersama dengan Rohaniawan Katolik
Romo Benny Susatyo, Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad, Ketua
Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi dan Peneliti Inded Arif Susanto yang
tergabung dalam GDRI merasa kecewa atas hasil voting memenangkan RUU PIlkada melalui
DPRD.
Mereka menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak
melakukan judicial review ke MK. Karena, mereka menilai langkah itu menambah
akhir dari drama yang buruk di penghujung pemerintahannya.
Lebih lanjut Roy mengatakan, DPRD bukan merupakan wajah perwakilan
rakyat sehingga tidak memiliki hak untuk menunjuk dan mengangkat kepala daerah
karena posisi mereka sejajar. "DPRD itu bukan wajah perwakilan publik, tapi perwakilan partai.
Kalau MPR itu perwakilan publik dan partai. Sekarang bagaimana kelompok partai
bernama DPRD diberi kewenangan? Mereka kan cuma dipilih 50 persen dari
masyarakat,"papar Ray.
Demo Menolak UU Pilkada (foto:tempo) |
Dia mengutarakan, bila Presiden SBY ingin mendapat respek dari rakyat diakhir pemerintahannya, disarankan
jangan menggugat ke MK. Pasalnya, gugatan yang dilakukan Presiden SBY yang juga
Ketua Umum Partai Demokrat itu, akan memperlemah
argumentasinya, dan akan kalah di MK.
Lebih Buruk dari ORBA
Sementara, Romo Benny menilai mekanisme Pilkada melalui DPRD akan
melahirkan zaman Orde Baru jilid 2, dan demokrasi bukan semakin baik,
sebaliknya akan semakin mundur dan buruk.
Benny, mengatakan, sia-sia demokrasi yang diperjuangkan pada 1998,
akhirnya kembali ke masa otoritarian, dan akan munculnya tirani demokrasi,
dengan kekuatan kapital akan mendikte keputusan dan menghabiskan kedaulatan
rakyat.
" Demokrasi kita bisa lebih rusak daripada zaman Orba," ungkap
Benny. Menurutnya, jika partai politik 'bermain api' dengan kapitalisme materi,
maka bisa terjadi seorang preman menduduki kursi pemimpin daerah
di masa yang akan datang.
"Tidak akan muncul pemimpin seperti yang diharapkan rakyat, seperti
Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Risma dan lain-lain. Preman nanti menjadi bupati
dan gubernur," ungkapnya.
Demo menolak UU Pilkada oleh DPRD (foto: antara) |
"Kalau kita lihat soal drama politik ini, sangat
telanjang, SBY dan Partai Demokrat melakukan drama yang gagal. Ini penghinaan terhadap rakyat seolah seperti keledai yang bisa
ditipu. Ini puncak kejahatan yang luar biasa," ujarnya.
Di tempat berbeda, Katua Harian Partai Demokrat Syarif Hasan mengatakan,
aksi walk out yang dilakukan fraksinya di DPR pada 26
September lalu bukan kebijakan partainya, atau pun Ketua Umum Partai Demokrat. "Kami akan memeriksa aksi tersebut kenapa bisa terjadi aksi walk
out, dan ini dilakukan Ketua Fraksi, bukan
intruksi ketua umum,"ujar Syarif. (ral)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar