Minggu, September 28, 2014

Drama Terburuk, Duka Cita Matinya Demokrasi

Pasca Pengesahan RUU Pilkada, Karangan Bunga Dikirim ke Istana

Demo Menolak UU Pilkada 

IndonesiaWaters
Hasil sidang paripurna DPR tentang Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah  (RUU Pilkada) yang menyerahkan kepada mekanisme DPRD, melalui voting di gedung MPR-DPR, Jumat (26/9) dini hari, menuai kecaman dari berbagai pihak. Proses persidangan RUU Pilkada menjadi UU, yang diwarnai aksi walk out partai Demokrat, dinilai sebagai drama terburuk bagi Presiden SBY.   

Penentang RUU Pilkada lewat DPRD yang tergabung dalam Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI), hari ini dikabarkan mengirim karangan bunga ke Istana Negara, Senin (29/9), sebagai simbol dukacita atas matinya demokrasi.

 "Besok (hari ini_Red) kita ke Istana Negara pukul 13.00, berkabung mengucapkan belasungkawa," kata Direktur Eksekutif  Lingkar Madani Indonesia  (Lima), Ray Rangkuti di Restoran Tong Tji, Jl Menteng Raya, Jakarta, Minggu (28/9).

Ray bersama dengan Rohaniawan Katolik  Romo Benny Susatyo, Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad, Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi dan Peneliti Inded Arif Susanto yang tergabung dalam GDRI merasa kecewa atas hasil voting memenangkan RUU PIlkada melalui DPRD. 

Mereka menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak melakukan judicial review ke MK. Karena, mereka menilai langkah itu menambah akhir dari drama yang buruk di penghujung pemerintahannya.

DPRD Perwakilan Partai
Lebih lanjut Roy mengatakan, DPRD bukan merupakan wajah perwakilan rakyat sehingga tidak memiliki hak untuk menunjuk dan mengangkat kepala daerah karena posisi mereka sejajar. "DPRD itu bukan wajah perwakilan publik, tapi perwakilan partai. Kalau MPR itu perwakilan publik dan partai. Sekarang bagaimana kelompok partai bernama DPRD diberi kewenangan? Mereka kan cuma dipilih 50 persen dari masyarakat,"papar Ray.

Demo Menolak UU Pilkada (foto:tempo)
Wakil Koordinator Advokasi KontraS, Yati Indrayati menegaskan, disetujuinya RUU Pilkada melalui DPRD ini dirinya bersama dengan elemen civil society lainnya akan melakukan perlawan baik hukum dan politik.

Dia mengutarakan, bila Presiden SBY  ingin mendapat respek dari rakyat diakhir pemerintahannya, disarankan jangan menggugat ke MK. Pasalnya, gugatan yang dilakukan Presiden SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat itu, akan memperlemah argumentasinya, dan akan kalah di MK. 

Lebih Buruk dari ORBA

Sementara, Romo Benny menilai mekanisme Pilkada melalui DPRD akan melahirkan zaman Orde Baru jilid 2, dan demokrasi bukan semakin baik, sebaliknya akan semakin mundur dan buruk.
Benny, mengatakan, sia-sia demokrasi yang diperjuangkan pada 1998, akhirnya kembali ke masa otoritarian, dan akan munculnya tirani demokrasi, dengan kekuatan kapital akan mendikte keputusan dan menghabiskan kedaulatan rakyat.

" Demokrasi kita bisa lebih rusak daripada zaman Orba," ungkap Benny. Menurutnya, jika partai politik 'bermain api' dengan kapitalisme materi, maka bisa terjadi seorang preman menduduki kursi pemimpin daerah di masa yang akan datang.

"Tidak akan muncul pemimpin seperti yang diharapkan rakyat, seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Risma dan lain-lain. Preman nanti menjadi bupati dan gubernur," ungkapnya.

Demo menolak UU Pilkada oleh DPRD
(foto: antara)
Dia menegaskan, rakya saat ini sudah melek politik, dan semakin pintar melihat mana yang benar atau tidak. "Jadi gak usah berbohong, atau membodohi rakyat seolah-olah tidak tahu," tegasnya. Hal senada juga diutarakan, Sri Palupi. Sri meminta agar Presiden SBY jangan lagi menambah panjang episode drama ini. Pasalnya, bukan hanya rakyat saja yang lelah melihatnya, tetapi juga negara yang dicabik-cabik konstitusinya.

"Kalau kita lihat soal drama politik ini, sangat telanjang, SBY dan Partai Demokrat melakukan drama yang gagal. Ini penghinaan terhadap rakyat seolah seperti keledai yang bisa ditipu. Ini puncak kejahatan yang luar biasa," ujarnya.

Di tempat berbeda, Katua Harian Partai Demokrat Syarif Hasan mengatakan, aksi walk out yang dilakukan fraksinya di DPR pada 26 September lalu bukan kebijakan partainya, atau pun Ketua Umum Partai Demokrat. "Kami akan memeriksa aksi tersebut kenapa bisa terjadi aksi walk out, dan ini dilakukan Ketua Fraksi, bukan intruksi ketua umum,"ujar Syarif. (ral)

Tidak ada komentar: