Selasa, Agustus 06, 2013

PAPUA, Persoalan Yang Tak Kunjung Tuntas

Meskipun proses integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah final -- dengan lahirnya Resolusi PBB N0. 2505 yang mengesahkan jajak pendapat/referendum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 -- namun sejak 1963 hingga kini, berbagai konflik (horisontal maupun vertikal)  masih kerap  terjadi di Papua.

OPM dan upacara 
pengibaran 'Bintang Kejora' 
Fenomena Ini  menggambarkan adanya ancaman serius terhadap proses disintegrasi bangsa di Papua, dalam waktu dekat ini.   Berbagai upaya  Pemerintah (pembangunan), memang telah banyak  dilaksanakan, namun isu Papua dengan bayang-bayang Organisasi Papua Merdeka (OPM), sepertinya tidak pernah kunjung tuntas ibarat 'duri dalam daging' bagi Pemerintah Indonesia. 

Mengapa Papua masih saja bergolak? Apa sesungguhnya yang diinginkan rakyat Papua? Mengapa Pemerintah Daerah tidak berhasil merangkul  para pemangku kepentingan yang signifikan, seperti :  para Pemimpin Adat Papua; para tokoh berpengaruh di lingkaran OPM; para aktivis dan pelaku pemberdayaan masyarakat, serta aparat keamanan TNI yang bertugas di Papua? 

Sekilas Latar Belakang Papua

Sejak tahun 1828, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda, ditandai dengan dibangunnya Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton. Pada masa Kolonial Belanda, Papua Barat merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Karena itu, sebagaimana pulau-pulau lain di Nusantara, menurut azas uti possidetis juris (batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka) dalam hukum internasional, yang telah diakui dan dipraktekkan oleh berbagai Negara, maka Papua Barat otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kami ingin negara 
federal Papua Barat 
(source: indonesiaucanews.com)

Dalam konteks Hindia Belanda hanya NKRI sebagai legal successor state di wilayah Nusantara, termasuk Papua/Irian. Dalam sejarahnya, memang Belanda telah mengingkari kemerdekaan Indonesia atau menolak mengakui proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dengan berupaya mendirikan Hindia Belanda setelah selesainya Perang Dunia II.

Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah NKRI menjadi beberapa negara boneka, termasuk salah satunya wilayah Papua/Irian Barat. Terakhir melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pemerintah Hindia Belanda menunda integrasi wilayah Papua/Irian Barat ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan penguatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua/Irian Barat.
Konferensi Meja Bundar,
Den Haag, Belanda,
23 Agustus- 2 Nopember 1949

Karena Pemerintah Hindia Belanda mengingkari hasil KMB 1949, maka pada 1954 Pemerintah RI mengajukan permasalahan ini kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Atas dukungan penuh dari negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) maka pada April 1955, PBB membuat Resolusi untuk mendorong Indonesia dan Belanda menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai.

Hingga tahun 1961, Irian Barat masih dalam status quo dan tidak terlihat tanda-tanda itikad baik dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Akhirnya Pemerintah RI mengumandangkan TRIKORA, hingga pada 1962 terjadi pertempuran bersenjata yang dahsyat antara Indonesia dan Belanda di Pantai Barat Irian.

Situasi ini disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal dengan New York Agreement (http://www.suarahatipapua.blogspot.com). Inilah cikal bakal lahirnya, Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).

Mengenal Militansi OPM
Kombatan OPM
(photo:westpapuainfo.wordpress.com)
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.

Tidak lama berselang, Organisasi Papua Merdeka (OPM) didirikan tahun 1963 oleh sekelompok orang yang bertujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang sah di Papua, yang sebelumnya bernama Irian Jaya, namun mereka memisahkan diri  dari Indonesia dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. 

Sebuah sumber menyebutkan, OPM sebagai kelompok separatis mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Khadaffi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois, yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat. (Wikipedia bahasa Indonesia, wikipedia bebas, http://www.wikipedia.org).
''Tinggalkan Kami Sendiri''
(photo:tempo.co)

Sementara Pemerintah RI menilai OPM sebagai organisasi illegal yang tidak sah. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. 

Sejak berdirinya, bulan Desember 1963 OPM mendeklarasikan: "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri!"

OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya mengusung bendera Bintang Kejora dan simbol-simbol persatuan Papua lainnya.  Seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia berjalan aktif, sejak bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.
mewakili orang-orang
sentimen anti Indonesia
(photo:ramalanintelijen.net)

Pada Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional Nugini yang dipilih Dewan pada 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua. Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, ketika itu mengatakan bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia".

Selanjutnya, pada tanggal 14 Juli - 2 Agustus 1969.Pemerintah Indonesia menunjuk Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Pepera (Act of Free Choice).   

Sementara, perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22 Agustus 1968 dan meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan sistem satu orang satu suara (proses yang dikenal dengan nama referendum atau plebisit), namun permintaan itu ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak tercantum dalam Perjanjian New York 1962. Kemudian, sebanyak 1.025 tetua adat Papua dipilih dan diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian New York. Hasil dari referendum Pepera 1969 itu, melahirkan kesepakatan integrasi Papua dengan Pemerintah Indonesia.

Sejak pelaksanaan Pepera 1969 semestinya tidak ada lagi yang mempertanyakan
Peta Konsesi PT. Freeport 
nasionalisme keindonesiaan orang-Orang Papua. Namun realitasnya, ternyata tidak demikian. 

Faktanya, sejak tahun 1976, para pejabat perusahaan pertambangan emas, perak dan tembaga, PT. Freeport Indonesia, sering menerima ancaman dari OPM dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. 

Maka, sejak 23 Juli- 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka dengan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugian ketika itu,  mencapai $123.871,23. (Wikipedia bebas, http://www.wikipedia.org).

Berbagai pertentangan dan konflik, baik konflik antar etnis yang bersifat  horisontal maupun konflik vertikal dalam bentuk penentangan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat, hingga kini masih terjadi. Bahkan, pada Agustus 2012, di Melbourne, Australia, terjadi protes yang mengusung jargon  "Bebaskan Papua Barat". Isu utama yang mencuat adalah keadilan dan tuntutan bagian yang layak atas hasil dari perut bumi Papua yang dieksploitasi PT. Freeport.di Timika, Papua. 
Kembali Menuntut Referendum

Hingga kini tuntutan itu masih mengemuka, seperti terungkap belum lama ini. Bahwa Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe bersama 16 Bupati di wilayah Pegunungan Papua, direncanakan bertolak ke Amerika Serikat (AS) untuk bertemu dengan Presiden AS Barack Obama bulan Juli 2013. Selain itu, Gubernur dan para bupati akan menggelar pertemuan dengan pemilik PT Freeport Indonesia di Amerika Serikat. (http://www.detiknews.com).

Problem Papua sudah  berlangsung cukup lama. Dari akumulasi berbagai masalah yang tidak segera ditangani, kemudian mengerucut menjadi stigma terhadap sekelompok (separatis), yang bercita-cita memisahkan diri dari NKRI. 

Sementara peluang memisahkan diri untuk kemudian mendirikan negara baru hanya utopia, karena hukum internasional telah mengakui bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, sebagaimana tertuang dalam resolusi Dewan Keamanan PBB N0.2505.   
OPM  dan Simpatisan di Luar Negeri
(photo:beritabulukumba.com)
Pertanyaannya, apakah masyarakat Papua dengan kondisi terkini memiliki jiwa nasionalisme? Tak disangkal lagi, berbagai isu kritis Papua belakangan ini telah menyita perhatian publik dalam dan luar negeri. Benarkah mereka memiliki nasionalisme ganda?

Kondisi Papua dewasa ini, harus diakui memang kurang kondusif bagi penguatan integrasi dan semangat nasionalisme. Mengapa? Beberapa indikasinya, antara lain: masih lemahnya manajemen pembangunan daerah. Selain itu, kurang profesionalnya birokrat lokal dalam melayani kepentingan publik, serta berbagai permasalahan lain yang kompleks. Seperti adanya stigmatisasi terhadap OPM. Terlebih penting, adalah isu tentang kapitalis global yang (dirasakan) tidak memihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ironisnya, jalan keluar dari semua permasalahan tersebut disederhanakan dengan stigmatisasi bahwa Papua ingin merdeka, berdiri sendiri di luar NKRI. Padahal belum tentu merepresentasikan keinginan seluruh rakyat Papua. Isu-isu Papua lainnya yang mencuat adalah eksploitasi kekayaan sumber daya alam secara besar-besaran, tetapi justru menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi dan terjadinya pelanggaran HAM.

Papua saat ini, berpenghuni  sebanyak 2,83 juta jiwa. Provinsi ini terletak di ujung paling timur Indonesia. Terdiri dari wilayah darat dan laut meliputi kawasan seluas 420.540 km  persegi. Topografi kawasan yang eksotik ini, terdiri dari kawasan hutan yang masih perawan dan wilayah pegunungan yang fenomenal. Salah satunya adalah Puncak Jaya Wijaya, yang memiliki  puncak bersalju di daerah beriklim tropis, yang ditemukan seorang peneliti Belanda (Carstenz).  


eksotik Raja Ampat, Papua
Telah banyak didiskusikan bahwa di Papua tidak saja terdapat dikotomi antara wilayah pantai dan pegunungan, tetapi juga kerap terjadi pertentangan antar entitas lokal. Seperti perang antar suku, yang sebenarnya menjadi bagian tradisi mereka untuk mengambil jalan pintas  dalam menyelesaikan konflik

Keragaman suku dan bahasa (di Papua terdapat 268 bahasa daerah dan 255 suku dengan bahasa masing-masing), menyebabkan perang antar suku menjadi sebuah realita yang sulit dicegah karena telah menjadi bagian hidup keseharian mereka. 

Maka penyelesaian problem Papua, membutuhkan pendekatan khusus, berupa keberpihakan Pemerintah kepada rakyat Papua secara tulus serta menerima,  mengakui dan menghargai  karakteristik 'Orang Papua' dengan segala keberagaman budayanya.

Tidak ada komentar: