Seorang pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur |
Apa yang dirasakan? Jika dulu dengan uang Rp 20,000 bisa membeli sayur mayur lengkap dengan bumbunya, kini uang sejumlah itu masih terasa kurang! Mereka dipaksa untuk merogoh koceknya lebih dalam lagi hingga Rp.30,000 atau bahkan sampai Rp. 50,000. Sementara pendapatan sang suami tidak bertambah. Alhasil, terpaksa mereka harus rela untuk mengurangi kenikmatan, karena tidak bisa mengkonsumsi daging sapi, yang harganya terus membumbung!
Seorang rekan di situs jejaring sosial, dengan singkat dan tajam mengomentari tindakan Pemerintah dalam merespon mahalnya daging sapi, dengan gaya bercanda yang cerdas. Ini dia, Kafi Kurnia: ".... begimane ngak runyam ...... pertama harga daging naik gila-gila-an ..... terus Presiden minta di lakukan impor daging segera ..... eeeeh .... ijin-nya telat ..... terpaksa impornya pake kapal terbang .... tetap aje jumlahnya terbatas dan harganya tetep mahal (wong daging naik kapal terbang ..... gimane ngak mau mahal ???) ..... daging udah masuk ..... yang jualan dipasar ogah jual .... lha yang diimpor daging beku .... ??? .... konsumen maunya daging segar ...... KESIMPULAN : ancur total !!! dan gagal ngurus !!!
Tahukah Anda bagaimana Gita Wirjawan tidak blingsatan, setelah disemprot Presiden karena harga daging sapi yang terus melambung justru disaat sebagian besar masyarakat tengah berpuasa dan sebentar lagi memasuki hari raya Lebaran, kemudian berlanjut ke Hari Natal dan Tahun Baru?
Kenaikan harga daging sapi sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba, tetapi terdapat pemicu yang mendahuluinya. Selain diperiksanya Dirut sebuah perusahaaan importir terbesar.daging sapi oleh KPK, menyusul dugaan keterlibatan para tokoh partai Keadilan Sejahtera, yakni Luthfi Hasan Ishak dan Fathanah. Namun pemicu terbesar lainnya adalah kenaikan harga BBM, yang konon mengundang reaksi berantai dalam bentuk kenaikan harga-harga sembako, yang membuat rakyat miskin semakin susah.
Tetapi, benarkah rakyat makin menderita? Saya teringat pernyataan Napoleon Hill, yang mengatakan: "Setiap kesulitan, setiap kegagalan, setiap sakit hati disertai dengan benih manfaat yang sama atau lebih besar."
Bahwa dari setiap kesulitan selalu muncul peluang bagi lahirnya kemudahan. inilah yang terjadi di bulan Ramadhan kali ini. Sang Maha Pencipta menciptakan segala sesuatu dalam hukum kesetimbangan. Bahkan, Einstein pun mengatakan, tidak ada energi yang tebuang di alam raya ini, mereka hanya akan berubah bentuk dan wujudnya saja. Dengan kata lain, tidak usah cemas dan gentar dengan gejolak apapun di luar sana, sebab kita telah dibekali dengan seperangkat daya tahan luar biasa untuk tetap bisa bertahan hidup.
Jika begitu, mengapa kita harus marah atau frustrasi dengan menghujat Pemerintah yang gelap mata karena APBN nya terkuras habis untuk menyubsidi BBM, padahal mereka sendiri pun tidak mengetahui kepada siapa subsidi itu diberikan?
Mari sejenak melihat ke belakang. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas Armida Alisjahbana, beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa Pemerintah memastikan harga premium dinaikkan sebesar Rp 2.000/ liter dari harga Rp 4,500 menjadi Rp 6,500 dan harga solar juga dinaikkan sebesar Rp 1.000/liter dari Rp 4,500 menjadi Rp 5,500.
Supaya inflasi tidak melambung tinggi pasca kenaikan BBM, Pemerintah menyiapkan kompensasi kepada masyarakat sebesar Rp 14 Trilyun, yang diambil dari APBN-P 2013, yang akan memiliki potensi penghematan sebesar Rp 37 triliun. Dari jumlah itu, seluruhnya diberikan untuk memberikan proteksi bagi rakyat miskin berbentuk Bantuan Langsung (BLSM). Memang ada juga pemberian dalam bentuk beasiswa dan program kesejahteraan lainnya. Termasuk pembangunan infrastruktur. Tetapi, tujuan Pemerintah yang utama adalah juga menekan defisit anggaran yang sudah di atas 3,8 persen.
Harga BBM, sebenarnya tidak perlu naik. Mengapa? Persoalan yang mendasar adalah: apakah Pemerintah mengetahui bahwa subsidi yang diberikan melalui harga BBM yang murah itu, telah diterima oleh mereka yang memang benar-benar berhak menerimanya?
Mengapa harga BBM harus dipatok sama bagi setiap orang, bagi setiap pengguna kendaraan? Padahal, fakta objektif menunjukkan begitu banyak ragam dan jenis kendaraan / alat angkut transportasi pengguna BBM yang mengonsumsi BBM dengan jumlah yang tidak sama! Tentu Bapak Kapolri tahu dan mempunyai data, berapa jumlah kendaraan yang teregister dan beroperasi di seluruh Indonesia. Dari jenis dan kekuatan mesinnya saja, kita akan tahu berapa perkiraan jumlah konsumsi BBM minimal yang diperlukan, untuk setiap kategori kendaraan..
Lantas, siapa sebenarnya yang berhak menerima BBM bersubsidi? Yang jelas, bis-bis Angkutan Umum (bis umum antar kota, bis umum antar pulau, antar propinsi dan bis Sekolah); Kapal-kapal ferry, kapal pengangkut Sembako, sarana Angkutan/Transportasi Rakyat, Kapal-kapal Ikan Nelayan, Kapal-kapal Penyeberangan Sungai dan Danau, Angkutan Kota (Angkot) dan kendaraan pribadi mobil roda 4 di bawah 1500 CC, serta Sepeda Motor roda 2, yang hanya memerlukan konsumsi BBM 2-3 liter/hari.
Diluar itu, tidak perlu diberikan BBM dengan harga subsidi. Sebab mereka adalah para
pemilik kapal pesiar, kapal mewah, kapal industri, mobil mewah di atas 1500 CC, Moge (Motor Gede) di atas 250 CC, dan seterusnya, yang jelas termasuk ke dalam kategori golongan yang berpenghasilan diatas rata-rata untuk dapat mengoperasikan alat angkut tersebut.
Apakah ada larangan kapal dagang industri pelayaran membeli BBM subsidi? Jelas ada, tetapi tidak efektif. Apakah ada larangan kondaraan roda empat diatas 1500 cc untuk membeli BBM subsidi? Tidak ada. Hanya anjuran saja, yang tidak memiliki sanksi hukum.
Berapa alokasi pola konsumsi untuk setiap jenis kendaraan yang berbeda? Serta kemana larinya BBM subsidi itu mengalir? Tidak perlu pusing diketahui, karena nantinya hanya akan ditemukan sejumlah preman, penjahat dan pejabat negara serta gabungan dari keduanya yang bekerjasama demi keuntungan pribadi, golongan dan kelompok terbatas. Inilah yang semestinya menjadi prioritas penertiban mendahului terbitnya sebuah kebijakan publik, yang berdampak luar biasa terhadap denyut nadi geliat ekonomi masyarakat.
Faktanya, kita tidak pernah mengetahui dengan jelas, kemana BBM impor yang kita beli dari APBN itu larinya?Dengan menjawab pertanyaan sederhana ini saja, sebenarnya kita menjadi tahu: kepada siapa BBM bersubsidi yang kita impor dengan mahal itu, selama ini mengalir! Sebenarnya ini bukan perkara sulit bagi teknologi untuk mengontrol dan memantaunya!
Amanat Pemerintah jelas: Berikan BBM subsidi (hanya) kepada rakyat yang memang memerlukan bantuan. Sebaliknya, berlakukan harga pasar (non subsidi) bagi mereka pengguna kendaraan yang termasuk pada kategori: kendaraan industri; mobil mewah, kapal tanker yang bobotnya puluhan hingga ratusan ribu ton per hari, dengan tingkat konsumsi BBM luar biasa.
Ketika langkah ini tidak ditempuh, maka terjadilah 'gejolak' nyata di masyarakat. Harga-harga melambung menyusul adanya dampak psikologis. Hampir semua produsen (tidak hanya sembako) mendadak terserang penyakit latah. Produsen barang-barang sekunder dan tersier pun ikut-ikutan naik. Seperti bahan-bahan bangunan dan/atau meubeler, karena merasa memiliki alasan pembenar yang bisa dipahami semua orang.
Pemerintah menaikkan harga BBM bagi semua orang, tetapi kemudian memberikan uang (Bantuan Langsung Tunai) kepada rakyar miskin, tanpa mereka harus berusaha apapun, semata-mata berupa pemberian/karitas sebesar Rp 300,000/bulan selama tiga bulan. Tanpa disadari, kebijakan ini telah mendukung bagi lahir dan berkembangnya mentalitas bangsa pengemis!
Sementara, tidak ada pola apapun yang sifatnya berkelanjutan setelah bantuan uang tunai itu dihentikan nanti. Inilah sebuah kebijakan publik yang sungguh memprihatinkan dan memalukan, yang terjadi di era kemerdekaan Indonesia.
Padahal, bagi rakyat miskin, sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan bantuan dan menanggung kebutuhan hidupnya, sebagaimana amanat yang tercantum di dalam Undang-udang Dasar 1945. Bahwa kaum miskin, anak-anak terlantar dipelihara oleh negara!
Antrean BBM, di sebuah SPBU sepeda motor dan mobil mewah harga BBM sama saja |
Tetapi menunjukkan bahwa Pemerintah telah kehilangan inisiatif untuk mengoreksi terlebih dulu, apa yang telah dilakukan, kemudian memperbaiki yang salah. Mulai dari kebijakan di sektor HULU: (eksploitasi BBM dan Gas), kemudian efisiensi produksi bagi upaya peningkatan kapasitas Produksi di seluruh sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga ke masalah di sektor HILIR : seperti strategi dan kebijakan Penyaluran BBM, analisis kebijakan penjatahan (kuota) Pemasokan, perbedaan biaya pemasokan dan waktu Distribusi BBM bagi daerah-daerah terpencil, hingga masalah tata niaga dan penetapan harga pasar di tangan pengguna akhir /konsumen masyarakat. Inilah hal utama yang harus dilakukan, sebelum diputus opsi kenaikan harga yang semestinya merupakan jalan terakhir jika memang terpaksa!
Begitu banyak indikasi kerawanan, kebocoran dan praktik mafia BBM yang semestinya bisa dihentikan dan ditindak tegas! Seperti penjualan BBM impor di tengah laut lepas. Terjadinya penyalahgunaan pemberian kuota kepada kalangan industri. Kebocoran alokasi BBM berupa pemberian jatah-jatah preman yang di backing para jenderal dan tentara.
Lebih jauh lagi, Indonesia sebagai negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, memiliki demikian banyak ladang minyak yang terlantar menanti eksploitasi. Tidak hanya BBM tetapi juga sumber-sumber energi alternatif lainnya, seperti pemanfaatan panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, air terjun alam dan buatan, batubara dan bahan bakar fosil lainnya yang relatif masih perawan. Yang pasti, lebih dulu bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri, berapapun besarnya.
Kita juga melihat masih lemahnya kontrol manajemen di sektor alokasi, distribusi dan supply sumber-sumber energi. Ada hak eksploitasi yang terlanjur diberikan kepada pihak asing, hanya karena bangsa sendiri 'dianggap' belum mampu melakukan eksploitasi secara mandiri. Sehingga Pertamina terkesan masih seperti anak tiri dibandingkan dengan eksistensi perusahaan-perusahaan multi nasional asing yang beroperasi di seluruh wilayah Nusantara ini.
Kita belum melihat upaya yang efektif dan efisien dalam soal pengelolaan kebijakan BBM, baik di sektor Hulu hingga ke sektor Hilir, eh... tahu-tahu Pemerintah mengambil jalan pintas: menaikkan harga BBM. Dan sebagai bantalan pelindung yang menghibur rakyat, digelontorkan sebagian dana sebagai kompensasi berupa pemberian uang tunai langsung kepada rakyat miskin dan kaum papa.
Jika kebijakan seperti ini dianggap yang terbaik, maka dipastikan akan terus menerus terjadi kenaikan harga BBM di kemudian hari. Tanpa harus perduli rakyat menjerit, sementara akan selalu ada pihak yang diuntungkan dan mereka terus menerus pula tertawa senang menyaksikannya.
Kenaikan BBM memiliki dampak berantai yang panjang, yang hingga kini masih kita rasakan, yaitu masih tingginya harga-harga sembako. Termasuk harga daging di bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Iedul Fitri!
Kebijakan Pemerintah kali ini, sebuah blunder, keputusan yang absurd. Sebab tidak kreatif, dan terkesan kurang peka terhadap hati nurani sebagian besar rakyatnya! Padahal, masih banyak opsi lain yang semestinya bisa dilakukan, sebelum keputusan pahit ini diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar