Jokowi santai [rimanews.com] |
Jokowi bersama Fauzi Bowo, pesaing kuatnya, incumbent Gubernur DKI Jakarta [seputarkampus.com] |
Juga bukan kerabat atau famili dari Jokowi,walaupun istri saya keturunan Solo. Jadi buat saya tidak penting siapa yang jadi Gubernur DKI, asal bukan Sarlito. Namun, saya kenal Jokowi. Bukan berteman sejak kecil (masa balita sampai ABG saya di Tegal, jauh dari Solo), tetapi pertama kali tahu dari mahasiswa saya, namanya Okky Asokawati (dulu peragawati, sekarang anggota DPR dari Fraksi PPP).
Waktu dia berpraktik dalam kuliah S-2 Psikologi UI, dia dan timnya mengambil Solo sebagai objek studi dan dia berkenalan dengan Jokowi. Kemudian Okky dan timnya tentu membuat laporan buat suhunya. Setelah saya membaca laporannya, saya berkesimpulan bahwa Jokowi bukan wali kota biasa. Mungkin banget dia manusia fenomenal (maksud saya: unik, langka). Karena itu saya minta Okky mengundang Jokowi ke kampus untuk memberi kuliah kepada mahasiswa saya (kalau tidak salah ada 23 mahasiswa di kelas saya).
Maka pada hari yang ditentukan Jokowi datang ke Kampus UI, Depok. Langsung dari Solo dan seusai kuliah juga langsung pulang ke Solo. Naik taksi. Okky menjemputnya di depan gedung fakultas, karena takut tidak ada yang mengantar beliau ke lantai atas, karena memang penampilannya tidak bonafid (maksud saya: tidak tampak seperti seorang pejabat sekelas Solo-1), sehingga mungkin sekali dia akan dicuekin satpam.
Saya pun hampir-hampir salah, karena tidak bisa membedakan mana yang Jokowi dan mana yang ajudan. Untung ada Okky, jadi tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian kuliah pun berlangsung, dilanjutkan dengan diskusi, selama hampir tiga jam. Materi kuliahnya adalah tentang proses pemindahan PKL (pedagang kaki lima) dari Taman Banjarsari (dulu: Balapan) ke Pasar Klithikan, Notoharjo, Semanggi. Kisahnya sangat kondang dan banyak yang sudah mengetahuinya.
Tetapi buat yang belum tahu, bisa disampaikan bahwa Taman Banjarsari dulunya taman terbuka, asri, elite, tempat warga Solo berekreasi dengan keluarga mereka. Tetapi sejak krisis moneter tempat itu dijadikan ajang usaha oleh PKL yang jumlahnya makin lama makin meningkat, sehingga taman itu berubah jadi daerah kumuh.
Kemudian datanglah Wali Kota Jokowi untuk mengembalikan fungsi taman kota itu. Satu- satunya cara adalah dengan memindahkan para PKL. Tetapi Jokowi tidak datang dengan satu kompi Satpol PP untuk mengusir para PKL berdasarkan perda, melainkan diundangnya para PKL itu ke kediamannya untuk makan-makan saja. Ada 52 kali makan-makan mingguan bersama PKL diselenggarakan oleh Jokowi.
Prof. Sarlito Wirawan Sarwono |
Tetapi PKL tidak bisa protes lagi, karena bangunan pasar sudah disiapkan, pihak bank sudah menyiapkan pinjaman dana dengan cicilan hanya beberapa ribu rupiah per hari, perizinan semua digratiskan, bahkan sudah dikeluarkan perda yang mengatur jalur angkot untuk melalui Pasar Klithikan. Singkatnya, para PKL tinggal memboyong barang-barang mereka ke lokasi yang baru.
Pada hari boyongan pun disiapkan kirab yang diawali dengan pembesar-pembesar Keraton Mangkunegaran dan para pejabat Kota Solo (termasuk wali kota) yang menunggang kuda, diiringi oleh barisan pusaka-pusaka keraton dan tentara tradisional keraton, gamelan yang bertalu-talu, diakhiri dengan barisan para PKL. Arak-arakan yang terjadi tanggal 26 Juli 2006 ini menjadi peristiwa yang menarik wisatawan domestik dan asing— dan tentu saja media massa dalam dan luar negeri.
Gegap gempita. Semua bergembira. Proyek pemindahan PKL Taman Banjarsari hanya awal dari gebrakan Jokowi untuk membangun Kota Solo. Program-program Jokowi dan wakilnya (Hadi Rudyatmo) berlanjut terus sehingga Solo menjadi kota wisata yang nyaman dan menyenangkan. Taman Banjarsari sudah kembali ke fungsinya sebagai taman kota yang asri.
Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau dua kali bertemu dengannya dalam acara-acara tertentu di Solo dan kisah pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat, hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau menyebut “hati nurani”, karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan).
*** Ketika saya menulis artikel ini, sambil menonton televisi saya melihat Jokowi diwawancara di televisi. Pertanyaan reporter di layar kaca itu, seperti biasa, pasaran juga, “Pada putaran kedua nanti Anda akan berkolaborasi dengan siapa?” Maksud reporter tentu dengan yang mana di antara empat calon gubernur yang sudah gugur. Tetapi jawaban Jokowi di luar dugaan, “Aaah, tidak. Yang terbaik adalah berkolaborasi dengan masyarakat DKI, dengan rakyat Jakarta.” Luar biasa.
Ini adalah jawaban yang cerdas, keluar dari akal sehat. Dalam kesempatan paparan DPR, Jokowi dan pasangannya, Ahok, menyampaikan fakta Banjir Kanal Timur yang dibangun oleh pemerintah pusat, bukan dari dana Pemprov DKI, dan bahwa Gubernur Sutiyoso bisa membangun 10 jalur Busway, tetapi Gubernur Foke hanya bisa menambah satu jalur saja. Maka Jokowi-Ahok akan memprioritaskan angkutan umum, termasuk meneruskan pembangunan monorel.
Selain itu Jokowi-Ahok merencanakan Kartu Sehat (berobat gratis) dan Kartu Pintar (sekolah gratis) untuk warga tidak mampu. Yang perlu diperhatikan di sini bukan janji pelayanan kesehatan dan pendidikan gratisnya (ini merupakan janji semua calon Gubernur di mana pun, tidak hanya di Jakarta), tetapi cara dia memberi nama kepada dua pelayanan itu.
Dengan menggunakan istilah “kartu”, setiap warga yang kurang mampu nantinya akan mengantongi dua kartu (sehat dan cerdas) yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa digunakan sewaktu-waktu (tidak usah minta surat ke RT atau lurah dulu, dan sebagainya). Jokowi tidak menjanjikan membangun rumah sakit atau memberi fasilitas kepada sekolah-sekolah (seperti bantuan operasional sekolah alias BOS yang bukan boss), melainkan menjanjikan kartu buat setiap warga yang memerlukan.
Maka jelas sasarannya adalah hati warga DKI sebagai perorangan yang sudah penuh unek-unek. Suatu pemecahan yang benar-benar cerdas, yang keluar dari akal sehat. Masyarakat Jakarta tidak semuanya cerdas, apalagi berpendidikan, terlebih pendidikan tinggi. Tetapi rakyat yang paling jelata pun bisa membedakan antara akal sehat dan akal-akalan. Berpuluh tahun bangsa kita terlatih untuk akal-akalan (menggunakan akal untuk sesuatu yang tidak masuk akal).
Di zaman Soeharto dana reboisasi diakali, sehingga hutan- hutan malah makin gundul. Perjalanan dinas dua hari diakali sehingga jadi lima hari, sehingga sisa dana perjalanan dan akomodasi bisa masuk kantong sendiri. Di zaman sekarang ada akal-akalan proyek Hambalang, ada Gayus yang mengakali pajak dan sebagainya. Masyarakat yang sudah capai dengan akal-akalan ini langsung melihat peluang pada diri Jokowi yang berakal sehat.
Jokowi akan berhasil sebagai gubernur DKI, bukan karena dia manusia ber-okol (berotot) yang didukung oleh partai besar atau birokrasi atau militer (seperti Hosni Mubarak, Khadafi, atau Saddam Husein), melainkan karena dia didukung oleh rakyat Jakarta. Insya Allah, dengan rahmat- Nya, Jokowi akan bergeser dari Solo-1 menjadi Jakarta-1.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Jokowi meringis (republika.co.id) |
Universitas Persada Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar