Rabu, Mei 02, 2012

Kapan Seharusnya Seorang Nahkoda Meninggalkan Kapal?

(blog.mirror.co.uk)

Sekitar jam 21.30 tanggal 13 Januari 2012, terasa hentakan keras pada lunas kapal ‘Costa Concordia’ kapal pesiar mewah dengan bobot 114.000 Ton milik pengusaha Italia itu. Kemudian kapal mulai terkulai miring disertai rembesan air menerobos masuk. Tidak beberapa lama terdengar melengking tiupan peluit yang disusul suara dari pengeras suara “Abandon Ship! Abandon Ship! Abandon Ship!.
Peristiwa  terjadi di dekat pulau Giglio di depan pantai Tuscan.  

Musibah ini mengakibatkan  13 orang tewas dan 21 lainnya masih dinyatakan hilang, disertai kerusakan pada kapal yang cukup parah. Kapal terperosok dengan kondisi miring di atas batu karang. 

Dengan kondisi seperti ini pihak asuransi kapal, mungkkin saja akan menyatakan sebagai, ’Total Lost’ apabila diperhitungkan biaya mengapungkan  dan renovasinya akan lebih besar dari insured value kapal tersebut.

Musibah Dan Peraturan Pencegahannya

Abandon Ship” di kapal laut atau “Bail Out” di pesawat terbang tempur, adalah upaya untuk menyelamatkan diri untuk segera keluar di saat kapal / pesawat itu situasinya sangat kritis (akan segera tenggelam, jatuh atau meledak). Pelaksanaan “Abandon Ship” (Peran Peninggalan Kapal) tentunya harus atas perintah komandan / nahkoda.

Sejak terjadi peristiwa tenggelamnya Titanic , kapal pesiar mewah terbesar milik Inggris, sekitar    seratus tahun lalu ,pihak organisasi maritime sedunia (IMO / International Maritime Organization) menilai musibah itu diakibatkan karena masih kurangnya kelengkapan peralatan navigasi, sarana keselamatan kapal dan kurangnya keterampilan awak kapalnya. Maka secara beruntun dikeluarkanlah berbagai peraturan baru yang dicantumkan dalam aturan SOLAS (Safety Of Life At Sea).

Namun musibah di laut masih terus sering terjadi yang diakibatkan makin bertambah banyaknya kapal-kapal niaga yang berseliweran lalu-lalang dilaut. Layaknya kesemerawutan lalu lintas di depan pasar Blauran, yang ternyata kapalpun bisa saling senggol. Maka dikeluarkan lagi aturan Collreg (Collision and Prevention Regulation at Sea / Peraturan Pencegahan Pelanggaran di Laut).

Belum selesai dengan acara saling tabrak antar kapal pengangkut barang (cargo ship), terjadi pula musibah banyaknya kapal pengangkut minyak (tanker ship) yang mengangkut ratusan ribu ton minyak yang juga bertabrakan maupun kandas. Mengakibatkan kebocoran yang menumpahkan minyak ke laut, menimbulkan pencemaran  yang membinasakan biota laut dan merusak lingkungan sekitarnya. Dengan adanya inisden ini kapal-kapal tanker tersebut saat ini harus sudah Double Bottom, Double Skin (lunas ganda dan lambung ganda) dan  kemudian setiap kapal diatas 500 GRT diwajibkan dilengkapi juga dengan peralatan ODMS (Oil Discharge Monitory System) dan dilengkapi tangki penampung limbah  minyak dan sanitary, (sludge-tank dan Seawage).

Sebetulnya musibah-musibah kapal di laut sama-sama membuat pusing para pengusaha pemilik kapal maupun pihak Asuransi kapal. Tidak cukup hanya pada pertanggungan Hull & Machinary/H&M (pertanggungan untuk bangunan kapal dan permesinan) dan Protection & Indemnity/P&I (pertanggungan bagi keselamatan manusia dan barang muatan).

 Musibah masih terus berlanjut karena ulah manusianya sendiri, baik secara external maupun internal, misalnya kena ranjau laut atau roket nyasar, akibat peperangan di sekitar jalur pelayaran, serangan teroris, dan juga pembajakan, sehingga dalam perjanjian asuransi, berikutnya dimunculkan klausul-klausul  baru mulai dari “War Risk” sampai “Kidnap and Ransom” (pembajakan / penculikan dan uang tebusan).ini tentunya menambah beban biaya operasi kapal.

Pengelolaan manajemen di kapal maupun perusahaannya itu sendiri diperketat, demikian pula aturan keselamatan dan keamanan di atas kapal dan di  pelabuhan. Perusahaan pelayaran diwajibkan untuk mengakses aturan ISM code (International Ship Management) dan ISPS Code (International Ship-Port Security).

Keterangan-keterangan di atas menggambarkan segala upaya betapa concern nya manusia untuk meminimalisir kecelakaan dilaut yang ekses nya kemudian memerlukan upaya untuk meninggalkan kapal  ‘Abandon Ship’ demi menyelamatkan jiwa manusia.

PROSEDUR DAN PELAKSANAAN

Kembali kepada masalah “Bail Out” yang untuk para pilot pesawat tempur hanya perlu menekan tombol “kursi lontar” saja, tetapi untuk para komandan kapal / nahkoda kapal banyak pekerjaan lain yang lebih rumit lagi, sementara harus memimpin dan mengatur evakuasi. 

Komandan kapal / nahkoda kapal harus merasa yakin bahwa semua perwira dan awak kapalnya selalu siaga dan siap untuk pelaksanaan “Peran Penanggulangan Kebocoran, Kebakaran” dan juga “Peran Peninggalan Kapal” dengan mengutamakan lebih dulu keselamatan penumpang terutama anak-anak dan wanita, apabila kapal tersebut adalah kapal pesiar / kapal penumpang.

Peran Meninggalkan Kapal
(thesun.co.uk)
Sang komandan kapal / nahkoda kapal harus berada di posnya, karena dia harus yang paling akhir keluar dari kapal, dia harus sudah terbiasa menyelesaikan perhitungan-perhitungan yang rumit, mengutak-atik garisan pada lembar gambar diagram (Drawing Stability Curve, Hydrostatic Curve dan Imaginary Permissible Length ( garis semu yang dipersyaratkan untuk amannya kapal) yang artinya bila semua garis-garis yang menghubungkan beberapa kompartemen yang telah digenangi air itu, titik temunya telah melewati garis semu tersebut, tak ayal lagi kapal itu pasti tenggelam, tinggal pilih ikut tenggelam bersama kapalnya atau segera loncat keluar bila masih ingat anak istri di rumah.

Musibah kapal Costa Concordia milik Italia itu, akan bertambah rumit permasalahannya karena menurut berita-berita pers, banyak saksi mata yang mengetahui bahwa pada saat  kejadian itu sang Captain sedang setengah mabuk gara-gara kebanyakan minum “wine”, malah sudah duluan turun dari kapal sebelum semua penumpang dan awaknya dapat diselamatkan.

Meskipun yang paling bertanggung  jawab itu adalah  Nahkoda, mengingat jam saat kejadian, bila mengikuti aturan jam jaga kapal bendera Indonesia, itu giliran jaganya Chief Officer (Mualim Satu/Palaksa) 20.00 s/d 24.00, yang katanya sudah sering melewati jalur itu. Setidaknya dia harus membaca Tides and Tidals Table (buku daftar Arus pasang –surut). Mungkin selama ini bisa lolos karena saat itu lagi pasang tertinggi.

Perbedaan permukaan air dalam setiap harinya bisa berbeda beda, tergantung akibat gaya tarik bulan terhadap bumi karena rotasinya. Misalnya, di sekitar Tanjung Priok/Teluk Jakarta hanya 1-1,5m tapi bisa lebih beberapa meter bila kapal sandar di sekitar dermaga Krakatau  Steel (Cilegon) atau di pelabuhan Bitung (Manado). Malah di pelabuhan Incheon (Korea Selatan) bisa lebih dari 13 m sehingga dibuatkan Dam bendungan dipelabuhannya untuk keamanan kapal-kapal.

Demi menghindari terjadinya korban jiwa yang lebih besar, maka sudah seharusnya seorang Nahkoda adalah orang yang paling akhir meninggalkan kapal setelah diyakininya semua penumpang termasuk para perwira kapal di bawah tanggungjawabnya, sudah meninggalkan kapal.

(ditulis oleh Capt. Gita Arjakusuma, mantan Nahkoda)

Tidak ada komentar: