Selasa, Agustus 09, 2011

The Wedding Drama

Ini kisah tentang liku-liku perjuangan hidup seorang pemuda Indonesia yang bertekad untuk mengubah jalan hidupnya (yang semula hanya seorang pemabuk yang tidak memiliki masa depan) tetapi kemudian berhasil menjadi seorang Pengusaha kaya yang terkenal setelah ia mengubah jalan hidupnya dengan bermigrasi ke negeri Kanguru, Australia. Tidak mudah memang upaya yang telah ditempuhnya bak jalan yang panjang nan berliku. Bermula dari seorang pendatang gelap yang selalu menjadi buronan Polisi, sampai berhasil mendapatkan status resident  karena perkawinan. Sebuah perjuangan yang harus ditebus dengan mahal. 

Ada teman lama, lebih 20 tahun tidak pernah terdengar kabarnya, apalagi berjumpa muka. Eh, tiba-tiba saja Ma’ruf, 45 tahun,  muncul bersama seorang perempuan berambut ikal pirang sebahu.  Si pria hitam legam, bercelana putih bersanding dengan wanita kulit putih kemerahan. Sungguh pemandangan kontras di sore itu! Tetapi keduanya tampak serasi, berdiri bergandengan tangan di pekarangan rumput depan rumah saya. Seolah ragu, memandang kiri kanan dan sekeliling rumah.

Saya tak percaya dengan mata kepala sendiri. Semula ragu ketika hendak menyambut mereka. Namun, tiba-tiba ia mengulurkan tangannya dan menyebut nama saya! Pusat komputer di kepala saya segera berputar keras, melacak jejak masa lalu. Maka, kamipun segera berangkulan. Sejurus kemudian, terlibat obrolan sengit yang tak henti-hentinya mengundang tawa lepas berderai...derai!  Sedang Si cewek, hanya tersenyum-senyum saja, penuh maklum. Seolah mengamini meskipun tak mengerti pembicaraan kami.

Katanya, mereka sedang berlibur panjang akhir tahun. Baru pulang dari Bali, terus ke Bandung dan sekarang berada di Jakarta, sebelum kembali ke Melbourne. Orangnya periang. Easy going dan mudah bergaul. Kelebihan lainnya, Ma’ruf pandai bercerita yang memang seru-seru! Dan semuanya ‘based on true story’  berdasarkan pengalaman nyata yang dialaminya sendiri. Jadi, sebenarnya Ma'ruf menertawakan dirinya sendiri dan menularkannya pada saya.  

Perjuangan hidup Ma’ruf ternyata sangat mengesankan. Selanjutnya, kami pun larut tenggelam dalam nostalgia. Setelah tamat SMA dia menganggur karena tidak bisa masuk perguruan tinggi negeri. Dan orang tuanya, yang pas-pasan tidak sanggup menyekolahkan ke universitas swasta. Bertahun-tahun hidupnya hanya keluyuran tak menentu sebagai penganggur. Ia sering tampak nongkrong di terminal, ‘’Sekedar mencari sesuap nasi,’’ katanya. Yang ia maksud, adalah menjadi calo yang kerjanya teriak-teriak sambil terkadang  menarik-narik lengan penumpang dengan setengah memaksa. Pergaulan di lingkungan itu nyaris mengubahnya menjadi preman terminal, yang kerap menenggak AO ‘anggur obat’ serta gemar berantem hanya karena soal sepele! Sungguh ironis dengan ayahnya, aktivis mesjid yang taat sebagai marboth.

Sampai suatu hari Ma’ruf mendengar ada salah seorang saudaranya yang menetap di Australia dan hidupnya sudah makmur. Tanpa berpikir panjang lagi, ketika orang tuanya sedang berada di luar rumah (ayahnya pergi bekerja dan Ibunya tengah mengikuti pengajian di rumah tetangga), ia menyelinap masuk rumah dan segera meraup semua barang berharga yang masih tersisa di rumah itu. Lantas, diangkutnya ke pasar dan melegonya!  Sejak itu, berhari-hari ia tidak berani pulang ke rumah. Di terminal juga tak tampak batang hidungnya.

Beberapa bulan kemudian, Ma’ruf baru muncul lagi. Menemui orang tuanya. Mencium tangan bapaknya, kali ini untuk pamit dan memohon doa restu! Dari kantong plastik keresek hitam yang dibawanya, ia menunjukkan sebuah buku paspor dan tiket pesawat, kepada ayahnya. Lantas dia merangkul Ibunya dan membasuh kedua kakinya. Bahwa ia kini serius bertobat sekaligus meminta maaf karena akan pergi jauh, ia khawatir tak sempat lagi melihat kedua oragtuanya. Bapaknya, yang terlanjur bersumpah akan menghajar anaknya kalau ia pulang, ternyata tak sanggup memenuhi sumpahnya sendiri. Sebaliknya, hatinya malah terkulai. Apalagi sang Ibu. Malam itu, mereka bercengkrama. Terasa lebih hangat dari hari-hari sebelumnya.

Pagi-pagi buta, Ma’ruf segera loncat dari ranjangnya. Lalu  berkemas. Hatinya sudah bulat segera terbang ke negeri Kangguru untuk mengadu nasib. Nyaris tanpa membawa bekal apa-apa lagi, selain kantong keresek hitam berisi dokumen perjalanan, cuma baju yang melekat di badannya saja.

Tiba di Australia

Perjuangan hidup selanjutnya, ternyata sangat menarik. Pada awalnya ia disambut baik saudaranya. Tetapi rasa malu kemudian muncul karena menumpang di rumah saudaranya berlama-lama, maka ia pun mencari pekerjaan. Padahal mestinya ia pulang karena visa kunjungannya, dua bulan sudah habis.

Memang tidak sulit mendapatkan pekerjaan, asal mau saja. Cuma, ia harus pandai bermain umpet-umpetan dengan petugas Imigrasi. Dan bersembunyi dari kejaran Polisi karena, sekarang ia menjadi seorang ‘pendatang haram’ alias illegal stayed, yang melanggar ketentuan keimigrasian di sana. Dan karena itu, para penegak hukum menilai: Ma’ruf harus ditangkap, kemudian diusir atau di-enyahkan. Istilahnya, di deportasi! 

Orang-orang yang sempat dia kenal, ia datangi untuk sekedar menumpang makan sekaligus numpang  bersembunyi, tetapi tuan rumahpun umumnya ketakutan. Mereka merasa tak nyaman dengan kehadirannya jika lebih dari satu-dua hari.  Ma’ruf pun pergi mendaki sebuah bukit, menyeberangi sungai lalu menghilang di hutan Eyk yang lebat. Entah bagaimana caranya, hingga ia bisa bertahan hidup berbulan-bulan menyingkir dari peradaban.  

Hingga suatu ketika seorang petani ‘menemukannya’ dan merasa kasihan dengan keadaannya. Pakaiannya compang-camping. Rambutnya gimbal. Badannya kurus penuh lumut. Si Petani membawa Ma’ruf pulang ke rumahnya. Ia pun bekerja di peternakan biri-biri dan kemudian dipercaya untuk bertugas menjaga ranch milik Petani, hingga tanpa terasa sudah hampir setahun ia menetap di rumah keluarga Petani itu. Perilakunya yang baik, sangat di senangi oleh anak-anak Petani itu. Dari keluarga itulah kemudian ia belajar banyak hal tentang lingkungan yang baru itu.

Menginjak tahun kedua, ia sudah bisa membaca apa yang tertulis di koran. Dan mengerti apa yang dibicarakan di televisi. Kini ia sudah menguasai bahasa Inggris dengan baik. ‘’ Ini penting, sebagai modal mencari pekerjaan yang lebih terhormat di downtown (kota), ‘’ pikirnya.   

Kini ia sering diminta pergi ke kota untuk belanja. Dari pergaulannya dengan orang-orang kota di bar-bar yang ia kunjungi. Ia pun tahu, tentang banyaknya peluang kerja yang lebih baik dari pada sekedar menjadi penjaga hewan ternak.

Ia  pun mencoba melamar ke kantor-kantor. Menemui orang-orang berdasi. Tetapi selalu terbentur dengan identitasnya yang tidak jelas, karena Ma’ruf sudah membuang semua dokumen perjalanan yang dimilikinya. Termasuk paspor Indonesianya. Dan ia baru tahu belakangan, jika perbuatannya itu menempatkannya pada status baru: seorang stateless atau imigran gelap!  Dan tentunya tak satupun perusahaan yang mau menerimanya.

Ia pun menurunkan cita-cita dan keinginannya. Dan mulai melirik sektor informal.  Beruntung, ia seorang yang ringan tangan, mau bekerja apa saja. Ya, apa saja. Bahkan, pekerjaan yang tidak mau dilakukan orang sana. Ia mau melakukannya. Mulai dari kerja mencuci piring di restoran Cina, menjadi pemotong hewan di rumah jagal milik orang Arab (karena tahu Ma’ruf seorang muslim), menjadi ‘pelempar lembing’ (istilah para Student asal Indonesia di sana yang maksudnya pengantar koran ke rumah-rumah), hingga membersihkan apartment sewaan dan mengecat rumah.

Umumnya, para majikan pemberi kerja tahu dengan status Ma’ruf sebagai  pendatang haram. Dan ‘memanfaatkan’  kelemahan itu  dengan memberinya gaji di bawah standar yang berlaku di sana. Tetapi, buat Ma’ruf itu tidak menjadi masalah sepanjang dia bisa tinggal dan bekerja dengan ‘aman’. Dan ternyata para pendatang  seperti Ma’ruf dari Asia, seperti Vietnam dan Indonesia, dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak. Mereka terus menerus masuk ke sana, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Dan Polisi pun tak menghentikan kegiatannya untuk mengejar dan menangkapi orang-orang seperti itu. Dan mendeportasikannya,  kembali ke negara asalnya jika ada konsulat perwakilan negara mereka di Australia. Jika tidak ada, maka mereka harus menjadi penghuni rumah detensi imigrasi (tahanan). Akan halnya Ma’ruf, meskipun ia orang Indonesia tetapi ia tak mempunyai dokumen apapun. Sehingga tak ada negara penjamin. Dan kalaupun KBRI mau mengakuinya, ia tetap harus masuk dulu karantina yang batas waktunya tidak tentu, sampai ada orang atau keluarga dari Indonesia yang menjaminnya.  

Karena itu, Ma’ruf tahu konsekuensinya jika ia sampai tertangkap. Keadaan akan menjadi semakin sulit. Apalagi dia sadar betul, di  Indonesia  orang harus bersusah payah mencari pekerjaan. Sedang di Australia, pekerjaanlah  yang mencari orang. Maka, untuk menghindari kecurigaan petugas, dia terpaksa harus berpindah-pindah profesi selain untuk mencari peluang  gaji yang lebih baik. Dan semua itu dilakukannya sambil sembunyi-sembunyi dari petugas Imigrasi, yang sering melakukan sweeping.

Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menempuh perkawinan ‘politik’ dengan seorang perempuan warga sana, sekedar untuk bisa mendapatkan pengakuan sebagai resident atau pendatang  sah karena status perkawinan.  Tentang soal ini, ada cerita tersendiri, bagaimana ia harus berjuang keras ‘mendekati’ Caroline, seorang guru TK sebuah sekolah di Melbourne. Dan tentunya bagaimana upaya dia sehingga bisa meyakinkan kedua orang tua Caroline. Bahwa ia tidak akan menelantarakan anak gadisnya.  Singkat cerita, ia pun berhasil membuat Caroline terpikat, hingga jatuh hati dan menyerahkan dirinya untuk siap menjadi istri Ma’ruf. Mereka pun sepakat melangsungkan pernikahan.

Tibalah saat pernikahan itu, di sebuah gedung apartemen milik salah satu mantan majikannya Ma’ruf. Para tamu undangan relasi calon mertuanya sudah berkumpul. Namun para petugas yang mengendus buruannya itu pun, sepertinya tak kenal lelah. Sekurangnya ada tiga buah mobil Polisi dengan lampu kelap-kelip tanpa suara sirine, tampak parkir di tengah jalan di antara puluhan mobil yang berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Para petugas berseragam, segera berkeliaran berpencar di luar gedung.

Ketika acara pernikahan mulai berlangsung, tiga orang anggota polisi yang semula berada di luar gedung, mulai memasuki apartemen. Mereka tampak celingukan. Tak berapa lama, para petugas bersenjata pentungan dan pistol dari pintu masuk yang berbeda merangsek ke dalam  gedung. Namun sebelum mencapai mimbar utama, beberapa orang tamu  yang ‘tahu situasi’ genting,  segera beranjak. Seseorang tampak menukar posisi sang calon mempelai pria, dengan salah seorang tamu yang berjas hitam. Sedang calon pengantin yang asli, segera disembunyikan ke toilet!

Sebelum petugas mencurigai toilet, Ma’ruf diam-diam menyelinap naik ke atap dan melopati balkon gedung.    Ia melepaskan jas hitam, hingga hanya tampak kemeja putihnya lalu  merapatkan badannya sedemikian rupa dengan tembok. Tak ada yang bisa melihatnya dengan jelas.  


Ia bertahan di sana, hingga para petugas merasa gagal menemukan Ma’ruf. Dan mereka pun pergi meninggalkan apartemen. Ma’ruf keluar dari persembunyian dan acara pernikahan yang sesungguhnya dilanjutkan, dalam suasana yang tegang sekaligus mengharukan, dan dan mengundang simpati. Bahwa kekuatan cinta terbukti bisa menghapus perbedaan dan menolak segala aturan yang dibuat manusia.

Begitu,  pernikahan dinyatakan sah, maka ia segera berdiri tegak. Menggandeng mempelai wanita keluar ruangan dengan berjalan tegak. Seolah ingin menunjukkan dadanya dan berteriak-teriak kepada para petugas yang mengejar-ngejarnya. Karena ia tahu, sekarang tidak ada lagi alasan petugas untuk menangkapnya!  Adegan inilah yang kemudian membuat heboh..warga setempat di kota kecil itu. Dan sempat muncul berkali-kali di pemberitaan utama Televisi  dan dicetak pada Headline Suratkabar-suratkabar Australia dengan judul: ‘The Wedding Drama’

Alhamdulillah, ternyata meskipun pada mulanya ia hanya berniat ‘kawin politik’ yakni untuk sekedar mendapatkan perlindungan hukum, agar tidak dikejar-kejar petugas Imigrasi dan aparat Polisi, tetapi dengan kejadian itu justru semakin menguatkan makna dan melanggengkan pertalian diantara mereka berdua. 

Ma’ruf kini menjadi seorang Pengusaha Real Estate sukses. Ia dikarunia dua anak yang sedang tumbuh remaja, dan bersekolah di tempat bergengsi di Sydney. Bisnisnya melambung berkat ‘the wedding drama’ yang membuat namanya mencuat dan relasinya berdatangan dari berbagai kalangan. Dan hebatnya, ia kini mempekerjakan puluhan bule-bule di sana sebagai karyawannya.

Akhir tahun lalu, ia sengaja mudik, pulang kampung. Ingin memperkenalkan Caroline kepada Emak dan bapaknya. Ia ingin berbagi kebahagiaan. Dan bermaksud menjemput kedua orangtuanya untuk membalas jasa mereka yang menjadi perantara keberadaannya di dunia ini. Ia tidak ingin lagi melihat orang tuanya hidup susah. Dan karena itu, ia berniat memboyong kedua orangtuanya untuk menetap di sana. Tetapi yang ditemuinya kini, hanyalah dua buah gundukan tanah merah kering yang terletak berdampingan, di tepian sebuah bukit. Di atas kedua gundukan tanah itu, tertancap papan kayu yang sudah kusam. Nyaris lapuk karena  sinar matahari dan guyuran hujan yang menerobos kerindangan pohon Kamboja. Hingga tak jelas lagi tulisan yang terbaca di papan kayu itu. Kecuali samar-samar: wafat ...1998.

Tidak ada komentar: