Rabu, April 08, 2009

Father (TNI-AU) Can Do No Wrong!




Jatuhnya Fokker 27 Di Landasan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat


Senin, 06 April 2009, siang. Sebuah pesawat Fokker 27 dengan nomor penerbangan Alpha 2703, diberitakan jatuh terjerembab menimpa hangar pesawat Batavia Air di landasan udara Hussein Sastranegara, Bandung. Seluruh awak pesawat sebanyak 24 orang (6 kru, 18 perwira dan tamtama Paskhas) tewas seketika.

Isak tangis keluarga korban, tak terperikan. Baik di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, maupun di RS lainnya. Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) - Angkatan Udara (AU) melansir press conference, intinya membenarkan terjadinya kecelakaan yang merenggut sejumlah korban jiwa itu, tetapi peristiwa penyebab jatuhnya pesawat, tidak disebutkan karena masih menunggu hasil penelitian.

Jatuhnya sebuah pesawat terbang, selalu mengundang perhatian. Pasalnya, pesawat terbang mengandung kecanggihan teknologi dan yang menggunakannya, mestilah orang-orang terpandang (meski sekarang dengan motto flying cheap dan swasta-nisasi dunia penerbangan, dengan tarif relatif murah, kini praktis siapa pun bisa naik pesawat terbang (komersial).

Beberapa saat setelah diketahui Fokker 27 itu jatuh, para petugas keamanan langsung melokalisir area supaya tidak bisa sembarang orang bisa masuk, melihat-lihat, apalagi ikut evakuasi. Sejumlah pemburu berita, harus puas menonton di luar pagar. Itulah yang terjadi, kalau pesawat militer mengalami ’gagal terbang’. Seolah tak boleh dilihat akibat dari suatu kegagalan, meskipun kalau sudah terjadi orang bilang: Itu sudah takdir, Mas! Tetapi, kalau manusia tak mau belajar, atau tak bisa mendapatkan pelajaran dari suatu peristiwa, maka takdir pun akan selalu datang berulang!


Keangkuhan Dibalik Seragam


Pernah suatu ketika, seorang anak muda tiba-tiba terkejut. Ketika itu, ia tengah bekerja di sebuah gedung bertingkat, sebuah kantor media di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Suara sirene ambulan di jalan raya, meraung-raung minta prioritas menyibak kemacetan. 


Apa yang terjadi? Nun di ufuk sana, tampak kepulan asap hitam mem-bumbung ke angkasa! Naluri rasa ingin tahu si pemuda itu, kontan ke menjalar ke seluruh tubuhnya, adrenalin nya menjalar cepat ke seluruh ubun-ubun dan jaringan urat sarafnya. Kontan ia menyambar kamera dan melesat pergi, mengejar sumber asap hitam yang tampak kian meninggi di atas kebun salak langit Condet!

Alhasil, di sebuah kawasan kebun salak dekat gedung Balai Latihan Kerja, tampaklah terbentang sebuah kawasan yang berantakan. Sebuah kawah kecil bak lobang menghitam diameter 10 meter dan kedalaman 1-2 meter tampak mengangga...diantara tanah dan ilalang hangus terbakar, menghitam. Puing-puing badan pesawat berserakan, sebagian tampak nyangkut di cabang, dahan dan ranting-ranting pepohonan. 


Rupanya, sebuah pesawat Hercules berlambang segi lima putih bergaris merah, telah benar-benar hancur berantakan! Sudah sulit lagi dikenali, bagian-bagian dari badan pesawat yang tampak utuh. Jangan tanya bagaimana nasib awak pesawatnya, cuma serpihan daging di sana-sini yang bisa ditemukan.

Sang pemuda, dengan tenang namun penuh rasa ingin tahu, segera mencangklong kamera manual nya (ketika itu kamera produk digital belum menjadi mode), langsung saja: jepret sana-jepret sini. Seakan mendahulukan mata-kamera ketimbang mencari jawaban dari rasa ingin tahunya.

Hampir habis satu rol film. Tiba-tiba saja, satu regu petugas berseragam bergegas datang merangsek, menyibak ilalang, mendekati puing-puing reruntuhan di antara kepulan asap. Setengah berlari mendekat mendatangani tempat persis dimana si pemuda itu berdiri. Seorang perwira dari kesatuan Angkatan Udara (TNI-AU), diikuti beberapa staf dan para pengawalnya, terheran sejenak memandangi sosok sipil bercelana jeans yang sudah berada lebih dulu di sana.

Sang komandan langsung mengamati situasi, sementara di belakangnya, terdengar suara menghardik: ’’Mana kameranya? Mana kamera?’’ ujarnya. Dan kamera yang digenggam Si pemuda itu pun segera direnggut!

Terdengar seseorang membentak: ’’Keluarkan isinya!’’. Rupanya, petugas pertama yang merenggut kamera itu, tak paham cara mengeluarkan gulungan rol film negatif dari badan Nikon F-1. Saking kesalnya, hampir saja dibanting kamera yang memang terkenal bandel itu ke tanah, kalau tak segera dicegah si pemuda yang berusaha merebutnya kembali dengan dalih: kamera itu bukan miliknya, tetapi inventaris dari sebuah perusahaan penerbitan koran! Kontan terdengar balik menghardik: Tampar saja! Tampar saja!! Dan plaaar…!

Maka esok, lusa, sebulan, dan puluhan tahun kemudian, dunia tetap tidak tahu, bagaimana gambaran dari sebuah peristiwa itu. Dan karena itu, proses belajar pun terhenti di balik keangkuhan berseragam karena adagium: Father Can Do No Wrong!: Tidak boleh Tentara (terlihat) salah. Apalagi dipublikasikan gambarnya dalam keadaan yang menyedihkan.


Cuaca Apa Cuaca?


Di dalam setiap musibah jatuhnya sebuah pesawat, hanya ada tiga ketegori, yang bisa ditunjuk sebagai penyebabnya. Pertama, kesalahan manusia (human error), kedua masalah teknis engine system trouble dan ketiga: cuaca (buruk). Dan apa yang terjadi? Mari kita simak: dari pada mengundang masalah lain yang bisa berkepanjangan, maka banyak orang lebih suka memilih jalan pintas yang mudah dengan menyalahkan Tuhan! Mengapa? Alasan yang paling mudah dimunculkan untuk menutupi kesalahan manusia dan kegagalan mesin adalah Cuaca Buruk!

Padahal, para perwira penerbang apalagi dari pasukan elit (pasukan khas), kita tahu pasti mereka sudah digembleng terbang di dalam segala medan cuaca seburuk apapun! Berbagai simulasi penerbangan dan ketahanan tubuh jelas sudah teruji, sebelum mendapat lisensi atau brevet penerbang.

Adakah technical problem? Konon Fokker 27 itu buatan tahun 1975, jelas bukan alasan kalau sudah dinyatakan laik terbang. Kendala teknis sejelek apapun, selalu didahului dengan peringatan. Dan kalau itu diabaikan, maka ia pindah kelas menjadi: human error! Tetapi, memastikan hal itu, akan berujung kepada beberapa gelintir penanggungjawab: Komandan langsung, komandan tidak langsung dan ujungnya adalah Kepala Staf TNI-AU sebab bukankah di setiap medan tempur "Tidak ada prajurit yang salah, kecuali komandan yang salah memberikan perintah atau instruksi’’.

Jadi, sebenarnya tidak sulit menunjuk siapa yang (harus) bertanggungjawab dalam jatuhnya Fokker 27 di Lanud Husein Sastranegara. Kalau mau berkampanye: inilah saatnya menunjuk diri sendiri: Saya Bertanggungjawab! Dan rakyat pasti salut akan sikap-sikap ksatria ketimbang lekas-lekas berlindung dibalik berbagai lencana penghargaan yang tersemat di pundak atau bahu para jenderal dan laksamana.

Itulah makna professionalisme sebenarnya! Berani bertanggungjawab sebab (memang) tidak ada anak buah yang salah, sebagaimana rezim Orde Baru di masa tirani Presiden Soeharto ketika mengajar rakyatnya: ’Father Can Do No Wrong!’’ Maka, kalau bapak –bapak tidak mau (disebut) bersalah, biarkan kamera pers ‘melihat’ apa yang telah terjadi. Supaya para bintara, para tamtama mendapat pelajaran paling berharga tentang apa yang harus dan/atau tidak harus dilakukan ketika dia berada dibalik kokpit pesawat. Dengan kata lain: tidak terulang kesalahan yang sama di kemudian hari. Nah, bagaimana pendapat Anda, Bapak Kepala Dinas Penerangan?

Tidak ada komentar: