Jumat 27 Maret 2009, dini hari, sebuah waduk seluas 10 hektar di kawasan Cirendeu, Ciputat, provinsi Banten, ambrol ketika para penghuni di sekitar tebing waduk tengah tertidur lelap. Lebih dari 100 jiwa melayang (termasuk jiwa-jiwa tak berdosa seperti bayi dan anak-anak). Hingga hari ini, tim SAR masih mencari kemungkinan jasad-jasad yang masih bisa ditemukan dari sisa perjalanan air bah yang kini mengering setelah dilanda jutaan debit air yang meluncur deras dari lekukan waduk buatan Belanda tahun 1932 itu.
Para petinggi di negeri ini, sontak berdatangan, seperti Presiden SBY dan Wapres JK, termasuk sejumlah elit parpol yang tak mau melewatkan moment penting itu sebagai sarana kuda troya dalam meraih simpati di masa kampanye ini! Terlepas dari soal itu, benarkah jebolnya Situ Gintung memang sebuah bencana alam, tragedi di luar kuasa manusia atau justru akibat dari ketidakmampuan petugas terkait (Direktorat waduk dan sungai, Dinas PU, atau Pemda setempat) yang pernah memonitor waduk tersebut enam bulan lalu tetapi tidak menemukan tanda-tanda bahaya sedikitpun? Siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab?
Pertanyaan terakhir itu, selalu diselimuti jawaban yang terdengar arif: "Tragedi Situ Gintung adalah bencana alam sebagai peringatan dari Tuhan." Padahal Tuhan sendiri sudah memberikan seperangkat kemampuan luar biasa kepada manusia untuk digunakan dengan sebaik-baiknya, tetapi kebanyakan kita lalai menggunakannya karena berbagai alasan.
Memang benar, jika sudah kasip, tak ada yang mampu mengembalikan jiwa-jiwa yang menjadi korban itu kepada keadaan seperti semula, secanggih apapun teknologi yang pernah dicapai oleh peradaban manusia.
Tetapi, satu hal penting yang jelas tidak boleh diabaikan adalah: apa sebenarnya yang menyebabkan situ itu bisa jebol? Mengapa tingginya curah hujan tidak bisa diantisipasi oleh daya tampung waduk? Jika benar tidak bisa, mengapa tidak ada peringatan dini yang menunjukkan akan datangnya bahaya supaya sejumlah penghuni di sekitar waduk diberikan pilihan: mau mengungsi, bersiap-siap atau pasrah?
Jika melihat dari sudut pandang kamera TV tampak jelas, waduk itu tidak mempunyai 'pertahanan' sama sekali kecuali gundukan tanah setinggi lebih dari lima meter. Apakah sejak dibuat Belanda 77 tahun silam hingga kita tidak ada upaya fisik untuk membuatnya lebih tangguh? Lantas, siapa saja yang semestinya bertanggungjawab dalam soal pengelolaan dan pertanggungjawaban di situ gintung? Kemana saja larinya bujet yang selama ini ditarik dari berbagai pungutan pajak rakyat itu digunakan?
Mari sejenak menoleh ke belakang. Setelah bangsa ini mampu melaksanakan Pemilu yang tercatat dalam seajrah sebagai Pemilu yang paling jurdil pada Pemilu 1955, bahkan para petugasnya pun masih banyak yang buta huruf! Tetapi, hebatnya, para pakar sejarah politik mengatakan baru pada pemilu itulah kali pertama, bangsa kita sanggup menyelenggarakan Pemilu dengan asas: Jujur dan Adil.
Setelah serangkaian Pemilu berikutnya, hingga kini tak seorangpun lahir figur negarawan yang muncul hingga menjelang Pemilu tanggal 09 April 2009 mendatang (kalau pun ada, ia dengan mudah dikalahkan kepentingan kelompok dan golongan yang bernama aturan dan mesin parpol atau bisa jadi karena dia memang tidak ada yang melamar atau mau mencalonkan diri).
Para Pemimpin dari 38 parpol itu, kini tampak berlomba berebut simpati, mengecam sana-sini, mengobral janji-janji manis, dan melontarkan jurus-jurus membasmi korupsi dan memerangi kemiskinan secara instant. Malah tidak sedikit figur yang menyatakan sangat siap menjadi orang nomor satu di negeri ini. Anehnya, tak tampak seorangpun yang berani muncul dan menyatakan sanggup bertanggungjawab pada setiap bencana yang jelas-jelas terjadi akibat dari kelalaian manusia! Bukankah seseorang baru bisa disebut 'pahlawan' setelah ia terbukti berani melawan tirani, setidaknya menolak bencana akibat keserakahan dan sikap buruk manusia sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya sendiri?
Benarkah istilah law enforcement di negeri ini cuma ada di dalam buku-buku teori dan bangku-bangku kuliah sehingga keluar dari kampus kita menjadi mati suri bak menegakkan benang basah? Padahal, para filosof dulu mengatakan kita harus menegakkan hukum sekalipun langit mau runtuh! Mengapa seorang manusia bernama Eddy Tansil (ET) yang sempat meraup trilyunan rupiah itu, kini bisa menghirup udara bebas? Setelah dia kabur dari penjara...sekarang tak jelas lagi di mana rimbanya. Bukankah ia turut andil dalam kebangkrutan Indonesia yang berujung pada krisis moneter berkepanjangan sejak akhir 1998 hingga kini?
Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang sanggup menunjukkan dimana 'The Notorious' itu berada, karena memang ia tidak kemana-mana, tidak tenggelam di luasnya daratan Cina atau konon kabarnya berada di sebuah negara di Eropa atau sibuk berbelanja di negeri tetangga Singapura. Tidak! ET justru berada di negerinya sendiri dan kini hidup dengan tenang...! Waduh....! padahal kita punya jaringan interpol di mancanegara, punya BIN atau intelijen canggih, punya Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian, Kamtibmas dan lainnya. Seolah menangkap ET ibarat mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Nyatanya, kita disuguhi berita-berita kriminal di Televisi yang cuma menayangkan prestasi polisi yang berhasil menangkap pencuri sandal jepit (atau HP) yang babak belur dihajar massa!
Eddy Tansil manusia biasa. Ia tak lebih dari pengusaha yang licin. Dan karena kepiawaiannya (termasuk mempersembahkan seorang wanita cantik kepada mantan Pangkopkamtib yang kini menjadi istrinya), ia berhasil memasuki kelompok Ring -1. Dan karena berbagai kedekatannya dengan elit penguasa ketika Pak Harto masih berjaya, ia dengan mudah memanfaatkan dana BLBI untuk keuntungan kelompoknya. Jelas, ET bukan manusia monosoliter (ia punya teman, keluarga, kerabat atau kelompoknya dan karena itu mudah dilacak!).
Era reformasi lahir. Soeharto jatuh. Dan serangkaian persidangan digelar, termasuk ET yang diseret dan setelah terbukti bersalah, ia pun dipenjarakan. Soalnya kemudian, mengapa para petugas sipir penjara begitu mudah 'membiarkannya' pergi hanya karena segepok uang? Ya, bisa jadi karena gaji sipir di negeri ini sangat rendah, sehingga mereka mudah tergiur selain karena sumpah jabatan dan moral etika yang meleleh...alasannya karena sekoper uang! Dan kini, setelah bertahun-tahun, kepergian sang maestro pengusaha kakap itu, bangsa kita sekarang sudah melupakan bahwa ET pernah ada dan bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan, yang (sebagian) menyebabkan bangsa ini terpuruk dalam lilitan utang luar negeri berkepanjangan.
Contoh lain, kasus lumpur Sidoarjo di Jawa Timur, yang belum lama ini membuncahkan lumpur panas, menenggelamkan sejumlah rumah dan menelan harta benda, akibat penggalian perut bumi yang diloloskan oleh petugas AMDAL. Hingga kini, sejumlah korban masih belum mendapat ganti rugi yang layak! apakah ini bencana alam atau kelalaian kita?
Kembali ke lapTop! Situ Gintung...yang jebol itu... ! Si Gintung kini cuma menyisakan lumpur-lumpur dan serakan material bangunan yang hancur, serta sebagian penghuninya yang masih meratap, pedih....atas kepergian mereka yang dicintai. Tetapi, kemana perginya orang-orang yang pantas bertanggungjawab dalam kasus itu?
Jelas bin jelas, banyak aparatur yang segera bertiarap menyembunyikan kepalanya di gundukan pasir! Tetapi kalau anda cukup jeli, Anda dengan mudah menemukan sebagian diantara mereka yang berani muncul ke permukaan. Bahkan tampak berkoar-koar di panggung kampanye dan tampak riang sambil berjoget dangdut, seraya melantunkan lagu: "Pi-lih-lah- Aku, ja-di pa-car-mu!"
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar