''Siapa mengambil, dia harus memberi. Jika Anda mengambil tetapi tidak memberi, Anda pantas dipermalukan di mata publik,''
Bumi yang rentan, ditangan Anda |
PROPER kini jadi semacam instrumen untuk memantau perusahaan/industri di tanah air. Apakah mereka sudah patuh, taat aturan terkait dengan kelestarian lingkungan atau belum atau justru bandel dan tidak peduli terhadap segala limbah yang mereka buang? Bisa jadi, juga malah sudah melebihi dari ketaatan yang dipersyaratkan (beyond compliance)?
Dalam waktu dekat ini, Kementerian Limgkungan Hidup dan Kehutanan akan mengadakan tasyakuran, yang dihadiri selain para Pejabat Pusat dan Daerah, juga sejumlah Pengusaha Industri kelas kakap di Indonesia. Sebut saja, Pertamina (berikut anak-anak perusahaannya), Badak, Medco, Star Energy, Bio Farma, Chevron, dll. Mereka diundang, tentunya sebagai wujud apresiasi terhadap sejumlah perusahaan di tanah air, yang telah turut menjaga dan memelihara lingkungan.
Bahkan ada beberapa diantaranya, yang sudah melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat lokal melalui CSR, terkait dengan isu-isu lingkungan. Juga ada perusahaan terpuji lainnya, yang justru menilai pengelolaan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai bagian dari investasi. Dan terbukti, secara finansial meningkatkan nett profit margin bagi perusahaannya. Luar biasa!
Sebaliknya, para pengusaha industri yang termasuk kedalam kategori HITAM, siap-siap saja menghadapi punnishment karena kelakuannya yang mbandel dombreng! Saya menduga,mereka-mereka ini tidak diundang, sekalipun diundang dipastikan mereka tidak bakalan datang. Bagaimana bentuk punnishment nya? Gampang saja, cukup bu Menteri undang para wartawan, dan sebutkan saja nama-nama perusahaannya. Selesai. Selanjutnya, biarkan masyarakat dan mekanisme pasar yang bicara.
Para pengusaha dari kalangan industi berplat Hitam inilah, yang kelakuannya, buang sampah seenaknya. Entah ke sungai, ke laut, ke udara bebas atau di rembeskan ke tanah. Mending kalau cuma sampah organik, yang bisa pulih cepat, bagaimana kalau sampahnya dari jenis buangan zat kimia yang berbahaya dan beracun?
Termasuk kategori HITAM ini, para pembakar ladang di Sumatera yang sebagian di backup (setidaknya atas suruhan atau sepengetahuan) pengusaha Sawit. Dampaknya, kejahatan ini sungguh luar biasa. Bayangkan saja, ketika sebatang rokok dilempar ke timbunan ranting-ranting kering di musim kemarau, maka tunggulah sejenak: api segera meruyak disertai kepulan asap yang bergumpal-gumpal menyelimuti seantero kota! Kita pun merasa sesak, bayi-bayi harus dipasangi slang udara segar supaya bisa selamat. Dan yang tidak beruntung, menjadi korban.
Para pengusaha jenis ini, adalah PENJAHAT. Tidak cukup dengan hukuman 'dipermalukan' saja, tetapi memang pantas, dan layak (proper_juga) untuk dihukum seberat-beratnya!
PROPER memang bukan barang baru. Tetapi jelas, telah menjadi trend bagi dunia yang cenderung melihat pentingnya gerakan back to nature.
Berawal Dari PROKASIH
Berpuluh tahun silam, saya sempat berbincang dengan Nabiel Makarim (eks Menteri Lingkungan Hidup) di kediamannya di kawasan permukiman kompleks Menteri Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia bicara panjang lebar tentang banjir, AIR, SUNGAI, PROKASIH dan LINGKUNGAN. Betapa menyedihkannya Sungai-sungai yang ketika itu sudah banyak tercemar, padahal sungai-sungai itu menjadi sumber air minum kita.
Satu hal yang masih saya ingat, tak lain bahwa bencana lingkungan yang datang silih berganti, bukan karena Tuhan MARAH! Tetapi karena kita yang SERAKAH. Mengambil sesuatu dari alam, tetapi lupa memberi, tidak mengembalikannya. Tanpa peduli dengan hari esok.
Kini, di era Jokowi-JK, Siti Nurbaya Bakar, anak betawi yang pernah dinobatkan sebagai PNS Teladan itu, menjadi Menneg Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melanjutkan visi yang sama, dengan mengangkat PROPER sebagai program unggulan di jajarannya. Tapi apa itu Proper?
Belajar Dari PROKASIH
Prokasih sejatinya merupakan cikal
bakal lahirnya PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) di
Indonesia. PROKASIH
pada mulanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas Air Sungai, yang ketika itu
sudah banyak tercemar. Betapapun sederhananya konsep itu, namun telah menjadi landasan bagi lahir dan
berkembangnya PROPER, yang hingga kini
telah sedemikian jauh dari konsep awal
ketika PROKASIH pertamakali dicanangkan.
Makna
terpenting yang diperoleh dari PROKASIH, menunjukkan bahwa pendekatan pengelolaan lingkungan, yang
menitikberatkan pada rumusan “command and control” ternyata tidak mampu mendorong
kinerja pengelolaan lingkungan
perusahaan secara menyeluruh. Masih teramat banyak perusahaan yang tidak peduli lingkungan.
Sulitnya pihak Perusahaan di Indonesia untuk berpartisipasi di dalam pengelolaan
lingkungan,
disebabkan: masih lemahnya sistem
penegakan Hukum Lingkungan juga kapasitas serta
jumlah pengawas lingkungan hidup yang sangat terbatas.
Siti Nurbaya, Menneg LH dan K |
Pada periode
tahun 1990-an, Pemerintah sulit
mengharapkan pihak industri
yang patuh
terhadap peraturan,
apalagi bersedia menginvestasikan uangnya untuk membangun
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).
Sekalipun ada diantara mereka yang bersedia melakukan investasi, tetap saja masih sulit mengharapkan bahwa IPAL tersebut akan dioperasikan secara benar. Indikasi ini, dinyatakan oleh Bank Dunia (1990), yang menemukan terjadinya ketimpangan dalam pola pembuangan beban pencemaran industri ke sungai.
Sekalipun ada diantara mereka yang bersedia melakukan investasi, tetap saja masih sulit mengharapkan bahwa IPAL tersebut akan dioperasikan secara benar. Indikasi ini, dinyatakan oleh Bank Dunia (1990), yang menemukan terjadinya ketimpangan dalam pola pembuangan beban pencemaran industri ke sungai.
Data menunjukkan,
sekitar 10% industri peserta
PROKASIH ternyata menghasilkan 50%
dari total BOD
(Biological Oxygent Demand) yang dibuang oleh
seluruh industri yang diawasi.
Jika distribusi ini
ditarik lebih ke atas,
ternyata 75% dari
total BOD yang dibuang
oleh industri PROKASIH
“hanya” dihasilkan oleh 20% industri. Industri yang benar-benar “bersih”
jumlahnya kurang dari
50% dan kontribusinya relatif
kecil, yaitu 5% dari total beban pencemarannya yang dibuang ke sungai PROKASIH.
Kebijakan Pemerintah yang menerapkan strategi "to command
and to control" jelas tidak efektif.
Dengan jumlah pengawas yang terbatas, maka tentu saja Pengawasan akan efektif jika dilakukan
pada target-target
pengawasan selektif, yakni
industri-industri yang
menimbulkan dampak besar dan meluas terhadap
lingkungan. dengan kata lain, perusahaan/industri besar.
Lantas mengapa
industri yang berada
pada kondisi pengawasan yang sama-sama masih lemah menunjukkan tingkat
ketaatan yang sangat berbeda? Ada industri yang
setelah diawasi menunjukkan lompatan kinerja
pengelolaan lingkungan yang luar biasa; mereka sangat peduli dan
menempatkan urusan ini sebagai salah satu prioritas utama. Namun ada
juga industri yang hanya ‘berjalan di
tempat’. Mereka tidak
peduli dengan limbah yang
dihasilkan, tidak peduli dengan sungai
yang tercemar dan bahkan tidak
juga peduli dengan teguran pejabat
pengawas lingkungan hidup.
Mengapa begitu? Ternyata faktor penyebabnya
adalah sifat pendekatan pengelolaan konvensional (command
and control), hanya melibatkan dua aktor, yaitu pemerintah sebagai PENGAWAS dan Industri sebagai
pihak yang DIAWASI.
Sesuai dengan hukum aksi-reaksi, maka jika pengawasan
dilakukan dengan ketat,
pihak yang diawasi merespon
dengan patuh terhadap peraturan atau
berpura-pura patuh pada
saat diawasi. Sebaliknya, jika pengawasan lemah maka pihak yang
diawasi merasa bebas
untuk berbuat sembarangan dan
melanggar peraturan.
Sementara, proses penegakan hukum formal
memerlukan waktu dan
biaya yang besar bagi kedua belah pihak, di mana kedua
belah pihak harus saling berkonfrontasi untuk
membuktikan argumentasi
masing-masing, maka pengawasan oleh Masyarakat dan Pasar, itulah yang paling tepat sesuai sifat dasar manusia.
Prinsip Sosial
Tanpa izin sosial, industri tidak
dapat beroperasi dengan
nyaman. Bahkan pada
tingkat interaksi tertentu,
industri harus membayar ongkos
yang tinggi untuk
menangani ketidakharmonisan hubungan dengan masyarakat. Waktu, tenaga
dan aset yang semestinya digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan laba,
harus tersita habis
untuk berurusan dengan
masalah sosial. Industri sebagai
pengejawantahan orang-orang yang
ada di dalamnya,
tentu merasa tidak nyaman
kalau teralieniasi dari
lingkungan sosialnya.
Sementara
itu, Pasar juga dapat ‘menghukum’ perusahaan yang memiliki reputasi buruk di bidang
lingkungan, melalui mekanisme supply-and-demand-nya. Di sisi lain, pihak Konsumen yang
sadar lingkungan akan
memilih produk dan jasa yang ramah lingkungan. Dengan semakin
tingginya kesadaran
masyarakat terhadap perlindungan lingkungan -- jumlah konsumen jenis
ini, tentu akan semakin
banyak-- maka industri yang mempunyai reputasi buruk
dalam pengelolaan lingkungan akan ditinggalkan pasar.
Jika industri tersebut menjual
sahamnya ke publik,
maka nilai asetnya akan
mengalami depresiasi karena dianggap memiliki resiko
usaha yang tinggi. Resiko
akibat kewajibannya membayar 'kompensasi' bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkannya, resiko membayar proses litigasi yang dihadapinya, resiko menghadapi
tuntutan ganti rugi dari
masyarakat yang terkena
dampak, tentu akan membuat pusing para Pemegang saham yang tidak berharap uangnya
disedot untuk membiayai masalah-masalah tersebut.
Maka, peran masyarakat
dan pasar, sangat penting. Mereka dapat ‘menghukum’ perusahaan
dengan cepat dan telak
hanya bermodalkan satu senjata,
yaitu informasi. Apalagi kalau informasi tersebut diperoleh dari
sumber yang kredibel.
Informasi sangat ampuh untuk membentuk
pencitraan atau reputasi. Namun, informasi harus dikemas dalam bentuk yang sederhana dan mudah diingat. Pencitraan
akan semakin melekat dan tersebar luas dalam ingatan masyarakat. Karena itu, sejumlah perusahaan yang 'mengambil' sesuatu dari alam harus dan wajib memberikan sesuatu sebagai gantinya.
Untuk memudahkan kita, Menneg Lingkungan Hidup an Kehutanan telah menggunakan beberapa simbol warna yang diberikan kepada kalangan perusahaan/industri.
b). Hijau adalah untuk
usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan
lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) melalui
pelaksanaan sistem
pengelolaan lingkungan dan mereka telah memanfaatkan sumber daya
secara efisien serta melaksanakan tanggung jawab
sosial dengan baik.
c). Biru
adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan
lingkungan,
yang dipersyaratkan sesuai
dengan ketentuan atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d). Merah adalah bagi mereka yang telah melakukan upaya pengelolaan
lingkungan tetapi
belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
e). Hitam diberikan kepada mereka yang dalam melakukan usaha dan/atau
kegiatannya,
telah dengan sengaja
melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran atau
kerusakan lingkungan, serta melanggar
peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan/atau
tidak melaksanakan sanksi administrasi.
Label warna apakah yang Anda miliki? Are You Proper?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar