Rabu, Juni 04, 2014

Bangsa Budak!

                                                 Oleh: Peter A. Rohi
Muriel Pearson, perempuan Amerika begitu cinta negeri ini. Dalam bukunya Revolt in Paradise, ia menuliskan kisah yang dialaminya sendiri dalam Pertempuran di Surabaya, November 1945, Muriel yang dikenal dengan nama samaran Ktoet Tantri mengibaratkan Sang Pembebas Perbudakan, Abraham Lincoln, sedang berjalan-jalan di kota, di mana rakyatnya sedang berjuang merebut kembali dan mempertahankan kebebasan yang baru saja mereka peroleh.

Muriel Pearson
Kita memang baru saja merdeka. Agen Polisi Ferdinand Nainggolan nekad mengibarkan bendera merah putih di Surabaya. Moh. Jassin memproklamirkan berdirinya Korps Polisi Istimewa untuk menjamin keamanan bagi rakyat. Tapi Sekutu mendaratkan kembali Belanda dan Surabaya seketika berubah bagai bara panas.

Soemarsono dan Munthalib mendirikan Pemoeda Repoeblik Indonesia untuk menghadang gerak Sekutu, dokter Angka Nitisastro melatih palang merah, Soengkono membentuk tentara, Alexander Abineno dan Soesetyo Mahdi merebut kapal perang Jepang. Putri – putri bergabung dengan laskar rakyat di dipimpin Lukitaningsih. Oemi Kalsoem memimpin perempuan Arab, sedang Sophia Elisabeth Sijun dan Francisca Fanggidae memimpin perempuan-perempuan Indonesia Timur yang tidak (bisa) ikut mengungsi.



Revolusi pun pecah. Bung Tomo melalui radio memberi perintah perlawanan. Tidak sedikit yang gugur. Muriel Pearson melaporkan seorang pejuang gugur, yang lainnya maju mengganti posisinya dan gugur bertimbun di atas mayat yang lainnya.

Semua berlangsung begitu dengan satu kesadaran:  jangan sampai kita kembali dijajah sebagai bangsa budak. Perjuangan membebaskan diri adalah perjuangan kemanusiaan. Tentu apa yang dikatakan Muriel sama persis dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kata Soekarno: Bangsa Indonesia yang Merdeka tidak akan lagi menjadi bangsa budak, dan juga tidak lagi menjadi budak bangsa-bangsa.   Selama dalam masa penjajahan kita tidak dapat menentukan nasib kita sendiri. Nasib kita tergantung kepada bangsa penjajah. Penduduk pribumi ditangkap dijadikan budak, pekerja di perkebunan-perkebunan, dengan paksa membuat jalan Anyer sampai Panarukan, bahkan dikirim ke perkebunan-perkebunan Belanda di Suriname.
Kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan
di masa kolonial Daendels 

Nasib rakyat itu yang menjadi renungan Soekarno bertahun-tahun. Bahkan sejak berusia remaja, terkonsep semangat perjuangan yang menjadi tekad Soekarno untuk memerdekakan bangsanya. Kini kita sudah merdeka, yang semestinya berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kita lengah, bodoh, bebal, sehingga penjajah datang kembali dengan topeng baru, topeng bercorak kemanusiaan, topeng investasi, topeng penyerapan tenaga kerja.

Kita pun tertipu. Semua diberikan dengan gampang pada asing, pada majikan baru, pada penjajah baru. Para pemimpin dan intelektual menjadi peliharaan. Kebijakan asing masuk dan merasuk dan  merusak semua sendi-sendi kehidupan bangsa. Dan kita pun kembali menjadi bangsa budak.     

Tampaknya Muriel Pearson lebih jeli memandang masalah. Dia mengerti mengapa Soekarno berjuang memerdekakan bangsa ini dari penjajahan dan perbudakan.

Sementara para pemimpin sudah terlanjur bermental budak, para intelektual peliharaan asing sama sekali tidak merasakan bahwa dirinya telah menjadi budak pula. Semua kekayaan alam kita sudah jadi milik bangsa lain. Ironisnya, kita sama sekali tidak memiliki hak menentukan besarnya keuntungan yang harus kita peroleh dari alam kita sendiri.


Kenyataan ini membuat kita menilai, bahwa para pemimpin  sedikit pun tidak malu dan terhina walau hanya diberi satu persen dari kekayaan yang diambil. Tentu wajar bagi mereka bila tidak ada lagi rasa malu dan hina. Mana ada budak yang punya rasa malu dan hina?  Maka siapa pun yang bakal terpilih menjadi Presiden RI tugas utamanya adalah bebaskan kembali bangsa ini sebagai bangsa budak agar tidak memicu revolusi!   

*) Penulis adalah Senior Journalist

Tidak ada komentar: