Mulai dari banjir besar yang menenggelamkan Jakarta sebagai Ibukota Indonesia, hanya berselang beberapa bulan setelah Fauzi Bowo (incumbent Gubernur) dikalahkan dalam Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta oleh Jokowi, mantan Walikota Solo, yang fenomenal itu.
Munculnya Jokowi-Ahok (lihat: Akhirnya Wong Solo itu, Memimpin Jakarta) hampir bertepatan dengan terjadinya banjir besar lima tahunan yang menyebabkan Jakarta mengalami banjir besar, bahkan istana negara juga tergenang air. Analisis dari peristiwa banjir Jakarta, akan saya tulis tersendiri, dengan fokus: Saat Yang Tepat Menata kembali Ibukota (Mengurai Benang Kusut Kemacetan Lalu Lintas Jakarta Dengan WaterWays).
Tetapi, ada alasan saya yang kuat seakan mendesak pikiran saya untuk menulisnya, bahwa: saya dapat menggambarkan bagaimana perasaan umum orang-orang awam yang menjadi 'korban' dari permainan politik. Sehingga saya harus mengakui kebenaran pendapat yang mengatakan: jika Anda tidak perduli dengan politik, maka bersiap-siaplah Anda menjadi korban (permainan) politik. Dengan kata lain, jika Anda membiarkan orang-orang yang tidak bermutu berkiprah di arena politik, maka siapkan diri Anda untuk dipimpin oleh orang-orang yang lebih jelek dari Anda!
Pada dasarnya, politik itu bertujuan mulia. Tetapi para politisi inilah yang kemudian mengubah citra mulia itu menjadi kepentingan/interest pribadi, golongan dan/atau kelompoknya sendiri. Dalam banyak kasus, mereka menggunakan dan 'memanfaatkan' posisi dan jabatan mereka untuk mendahulukan kepentingan mereka sendiri dari pada kepentingan orang-orang yang menyebabkan mereka berkuasa. Entah ketika mereka duduk di kabinet pemerintahan ataupun di parlemen sebagai anggota dewan perwakilan rakyat.
Presiden SBY |
Suhu politik di tanah air dewasa ini semakin memanas. Apalagi Pemilihan Umum mendatang (2014) semakin dekat. Hiruk-pikuk dan gonjang-ganjing seputar politik nasional, mengarah kepada beberapa partai politik besar, yang menjadi sasaran tembak.
Bermula dari sebuah laporan/pengaduan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang sepak terjang sejumlah politisi, baik di Pemerintahan maupun di DPR. Kemudian muncul hiruk pikuk, yang dihembuskan oleh media massa sehingga berita itu kemudian saling berkaitan, semakin lama semakin membesar. Ibarat bola salju.
Anas Urbanigrum |
Mengapa berita ini menarik? Bagaimanapun, partai Demokrat adalah partai pemenang Pemilu yang lalu (2004 dan 2009). Sebagai partai pemenang pemilu, para kader partai ini kemudian menjadi penguasa dengan menduduki berbagai jabatan penting. Puncaknya, ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat pada saat ini, sedang menduduki jabatan eksekutif paling top di negei ini, yaitu sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahkan dua kali masa jabatan berturut-turut.
Angelina Sondakh |
M. Nazaruddin |
Jika arena politik itu terkait erat dengan faktor pencitraan di mata publik, maka tanpa harus menunggu benar atau salah terhadap apa yang disangkakan kepada mereka di Pengadilan, publik dengan cepat segera merespon dengan tudingan dan pandangan miring.
Harus diakui, berpolitik itu sangat erat dengan kemampuan seni mengolah, menciptakan dan berselancar di atas opini publik dengan memanfaatkan media massa sebagai kuda troya . Jika mereka berhasil dalam seni pencitraan, kemudian para politisi inipun tampil bersinar secepat kilat sebagai public figure! Ini berbeda dengan kasus-kasus korupsi biasa, yang tidak melibatkan public figure.
Andi Mallarangeng |
Di dalam teori pencitraan, tidak demikian. Seseorang bisa dengan cepat melambung namanya bak meteor! Tetapi dalam sekejap pula bisa jatuh terhempas hanya dalam hitungan detik! . Inilah pertanda kejatuhan sebuah partai politik yang dengan cepat meraih tangga kekuasan di Indonesia. Tetapi, dengan cepat pula sinarnya segera kuncup meredup. Maka, gurita kasus korupsi yang melilit kader-kader petinggi partai Demokrat ini, merupakan pertanda awal kejatuhannya. Elektabilitas partai ini, pada Pemilu mendatang (2014) diperkirakan akan merosot drastis!
Dengan kata lain, era partai Demokrat beserta rezim Susilo Bambang Yudhoyono akan segera surut dan perlahan menghilang dari peta politik nasional Indonesia. Sungguh tragis! Kenyataan ini, mengingatkan kita pada pernyataan politikus dan negarawan besar Lord Acton: bahwa penguasa cenderung korup. Semakin mutlak kekuasaan mereka, semakin mutlak tingkat korupsi mereka. "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely!"
Celentring....Arrhhh...tanpa sengaja sikut saya menyenggol secangkir kopi, yang baru sedikit saya cicipi. Ini artinya saya harus mengakhiri tulisan ini.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar