Konflik antara Israel dan Palestina, kata sastrawan Israel Amos Oz,
adalah tragedi setragis-tragisnya. Karena yang menyulut konflik tersebut adalah
benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau mengalah. Lantas bagaimana mungkin
tragedi semacam ini bisa disudahi? Amos Oz menyebutkan dua pilihan cara
penyelesaian: model Shakespeare atau model Chekov.
Akhmad Sahal [courtesy:Tempo.Co] |
Pada model Shakespeare, konflik berakhir ketika semua pihak yang terlibat
saling menghabisi satu sama lain, sehingga pada akhir cerita semua mati
terbunuh. Lihatlah misalnya babak akhir lakon Hamlet. Duel antara
Hamlet dan Laertes tidak hanya berujung pada kematian keduanya, melainkan juga
menyeret ibunda Hamlet, Gertrude, dan raja Claudius ke liang lahat.
Sebaliknya, pada model Chekov, konflik diselesaikan melalui resolusi yang
sama sekali jauh dari memuaskan siapapun, mengecewakan, dan bahkan mungkin
menyisakan luka. Namun, masing-masing pihak tetap hidup.
Oz sendiri menaruh harapan agar negaranya memilih model Chekov dan bukan
Shakespeare dalam menangani perseturuannya dengan Palestina. Artinya, jalan
perundingan, bukan jalan militer. Sebab menurutnya, sejelek-jeleknya kompromi
tetap lebih baik daripada perang habis-habisan a la duel Hamlet.
Harapan yang masuk akal, mengingat Amos Oz adalah pendiri gerakan Shalom
Achshav (Damai Sekarang Juga) yang gencar menentang kebijakan
pemerintahnya menyangkut West Bank dan Gaza. Namun harapan novelis Israel itu
tampaknya hanya menjadi suara sayup yang melemah, ketika politik Israel semakin
diwarnai oleh menguatnya kelompok sayap kanan, yang dibarengi dengan merosotnya
kekuatan gerakan kiri.
Harap diingat, dikotomi "kanan-kiri" dalam nomenklatur politik Israel lebih banyak terkait dengan isu keamanan nasional ketimbang ekonomi. “Kanan” di sini bukan berarti liberalisme, melainkan sikap hawkish yang mengandalkan jalan militer dan anti kompromi menyangkut tanah pendudukan. Sedangkan “kiri” tidak mengacu pada sosialisme, tapi pada sikap dovish yang mengutamakan negosiasi,dan juga kesediaan melepas Gaza dan Tepi Barat kepada rakyat Palestina demi tercapainya solusi damai antara Israel dan Palestina (land for peace).
Gejala ini secara nyata tercermin dalam pemilu Israel baru-baru ini
(2009). Fakta bahwa tokoh seperti Netanyahu atau Avigdair Lierbeman semakin
meroket popularitasnya menujukkan betapa sikap hawkish sedang
laku keras di Israel
Netanyahu yang kini memimipin partai Likud jelas-jelas menyatakan hendak
mempertahankan wilayah pendudukan. Sedangkan Lieberman, pemimpin partai baruYisra’eli
Beininu, merupakan politisi ultranasionalis yang dikenal rasis
terhadap warga negara Israel keturunan Arab, yang jumlahnya hampir mencapai 20
persen dari total populasi negeri itu. Ia bahkan menuduh mereka sebagai musuh
dalam selimut, yang lebih loyal terhadap Palestina dibanding kepada negerinya
sendiri.
Pada tingkat tertentu, penguatan kubu hawkish di Israel
ini dipicu oleh supremasi Hamas di Gaza yang bertekad menghancurkan Israel.
Begitu juga sebaliknya. Naiknya pamor Hamas tak bisa dilepaskan dari menguatnya
kelompok kanan di Israel, yang terdiri dari para pemilih dan simpatisan partai
Likud, kaum Yahudi ultra-Orthodox, dan mayoritas imigran dari Rusia pasca
tumbangnya Soviet.
Kita sering mendengar alasan membela diri sebagai faktor yang mendorong
Israel menyerang Gaza. Tapi tunggu dulu. Hamas pun bisa mengklaim hal yang
sama, misalnya dengan berdalih serangan roketnya ke Israel juga demi membela
diri dari blokade ekonomi dan sosial yang diberlakukan Israel atas Gaza. Dengan
kata lain, yag sesungguhnya terjadi adalah ini: kedua belah pihak mengalami
militansinya masing-masing.
Bagaimana kita memahami fenomena itu? Sejauh menyangkut Israel, akar
masalahnya sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Hamas lahir. Tepatnya setelah
Israel berhasil meluluhlantakkan, dalam waktu singkat, kekuatan bersenjata
gabungan Mesir, Jordan, dan Syiria pada peperangan tahun 1967, yang lazim
dikenal sebagai “Perang Enam Hari.”
Sebelum tahun 1967, sikap Israel terhadap Arab secara umum mengacu pada
konsep “tembok besi” yang dirumuskan oleh Vladimir Jabotinsky. Nama ini memang
sering diasosiasikan dengan Zionisme revisionis yang menjadi sumber inspirasi
partai sayap kanan Likud. Tapi esainya berjudul “Tembok Besi: Kita dan Arab”
yang terbit pada 1920-an menunjukkan bahwa pandangan Zionis kelahiran Odessa
ini sejatinya mengandung muatan yang tak bisa begitu saja dinisbatkan ke
ideologi hawkish Partai Likud.
Apa itu strategi “tembok besi’? Menurut Jabotinsky, Israel harus mengakui
adanya pertautan alamiah antara bangsa Palestina dengan tanah kelahiran mereka,
“seperti halnya pertautan bangsa Aztecs pada Mexico atau suku Sioux pada tanah
rerumputan mereka.” Karena itu bisa dimaklumi kalau mereka menentang berdirinya
negara Yahudi di Palestina, yang mereka anggap sebagai kolonisasi. Kata
Jabotinsky, “seandainya kita Arab, kita akan menentangnya juga.”
Dari situ ia kemudian menegaskan bahwa bangsa Arab tidak akan dengan
sukarela mengakui kehadiran negara Yahudi di Palestina. Karena itu menurutnya,
untuk merealisasikan proyek Zionisme, kaum Yahudi mesti membangun kekuatan
militer yang betul-betul kokoh laksana tembok besi, sehingga setiap usaha
bangsa Arab untuk menghancurkannya akan berakhir dengan sia-sia
Jabotinsky meyakini kegagalan terus menerus yang diderita bangsa Arab
akan membuat mereka lambat laun menjadi kompromistis, dan akhirnya menerima
kehadiran Israel. Dengan kata lain, buat Jabotinsky, kekuatan militer bukanlah
tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana pemaksa agar pihak Arab bersedia
berunding dengan Israel.
Tapi setelah berhasil menduduki Gaza, Tepi Barat, dan wilayah Arab lain
menyusul kemenangannya pada perang 1967, Israel seperti terpukau dengan
kedigdayaannya sendiri. Strategi tembok besi ala Jabotinsky lantas
ditinggalkan. Israel tidak lagi menempatkan kompromi sebagai tujuan akhir dari
kebijakan politik mereka.
Sikap anti kompromi ini menjadi semakin mengeras dengan adanya dukungan
dari kelompok yang senantiasa bersinergi. Pertama kelompok fundamentalis Yahudi
yang tergabung dalam Gush Emunim, yang meyakini Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem
sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa Yahudi di Israel, dan karena itu “haram”
hukumnya dikembalikan ke bangsa Arab. Kedua adalah partai Likud yang sejak awal
getol memperjuangkan gagasan tentang “Israel Raya” yang mencakup keseluruhan
wilayah Israel dan Palestina.
Sikap anti kompromi yang ditampilkan Israel inilah yang terbukti selalu
menjadi batu sandungan bagi setiap pembicaraan damai dengan pihak Arab. Sampai
sekarang.
Pada 2002, misalnya, Liga Arab dengan juru bicara Pangeran Abdullah dari
Arab Saudi menawarkan hubungan penuh dengan Israel asalkan Israel mau kembali
ke wilayahnya sebelum perang 1967. Tapi dengan ketus Israel menolaknya. Bahkan
Hamas juga pernah menawarkan gencatan senjata 30-40 tahun dengan catatan Israel
menarik diri dari pendudukan. Israel lagi-lagi menampiknya.
Artinya apa? Kalau kita kembali kepada Amos Oz, Israel menempuh jalan
Chekov ketimbang Shakespeare bukan karena semata-mata pengaruh faktor luar (
Hamas), melainkan terutama justru akibat dari dinamika internalnya sendiri.
Ironisnya, Israel juga didera oleh rasa terkepung yang akut sehingga
senantiasa melihat sekelilingnya sebagai ancaman. Setidaknya itu terlihat pada
serangan mereka ke Gaza. Rasa terkepung ini muncul karena Israel selalu melihat
dirinya sebagai korban anti semitisme berabad2 yang berpuncak pada Holocaust,
dan pada saat yang sama punya kekuatan militer yang tak tertandingi di Timur
Tengah, plus dukungan yang hampir total dari Amerika. Nah, kombinasi antara
kekuatan yang tak tepermanai yang dimiliki Israel plus persepsi diri sebagai
korban pada akhirnya menyebabkan Israel selalu merasa terancam. Ungkapan “Jika
yang anda punya hanya palu, dunia sekitar akan tampak seperti paku” rasanya
tepat sekali melukiskan tabiat Israel.
Apa yang terjadi pada Israel saat ini sungguh terasa absurd, bahkan kalau
hal itu dilihat dari perspektif zionisme. Ketika Theodor Herzl, mencetuskan ide
negara Yahudi pada akhir abad 19, bapak Zionisme itu mendambakan agar dengan
mempunyai Negara sendiri, bangsa Yahudi, yang bisa hidup normal seperti
bangsa-bangsa lain.” Menurut Herzl, dua ribu tahun lamanya bangsa Yahudi hidup
abnormal, yakni terpencar dalam diaspora tanpa negara. Oleh karena itu mereka
rentan menjadi target serangan antisemitisme di Eropa . Berdirinya Negara
Israel oleh Herzl dimaksudkan agar bangsa Yahudi bisa keluar dari abnormalitas
tersebut. Harapannya adalah agar ancaman antisemitisme lenyap.
Tapi setelah lebih enam dasawarsa berdiri, Israel mengidap sindrom
mentalitas terkepung. dan antisemitisme justru semakin meluas. Apakah kehidupan
semacam ini yang dibayangkan oleh Herzl sebagai "normal" sebagaimana
bangsa-bangsa lain?
Entahlah. Yang pasti, mentalitas terkepung semacam
inilah yang menyebabkan harapan Amos Oz terhadap negerinya tidak tercapai.
Karena terbukti Israel condong kepada model Shakespeare dan menjauhi model
Chekov.
(* kolom TEMPO, 16
Februari 2009, dengan sedikit revisi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar