mereka tidak menyadari [youtube] |
Bencana terbesar sepanjang 40 tahun terakhir dalam sejarah ini, kemudian mengundang simpati dari berbagai kalangan masyarakat internasional. Berbagai perwakilan pemerintah asing termasuk lembaga-lembaga/organisasi kemanusiaan kemudian berdatangan ke sana. Mereka membaur, berinteraksi dan bahu membahu di dalam kegiatan darurat hingga proyek rehabilitasi dan resosialisasi, termasuk pembangunan kembali berbagai fasilitas dan infrastruktur vital di sana. Bencana alam itu, memang telah berlalu, hampir 8 tahun silam. Aceh kini telah kembali normal. Tetapi, belakangan muncul berita menarik, yakni mulai terdeteksi dan merebaknya kasus HIV/AIDS di sana.
Fenomena gunung es HIV/AIDS |
Penurunan sistem kekebalan tubuh, membuat penderitanya menjadi rentan terhadap serangan berbagai penyakit karena sel darah putih yang seharusnya membantu melawan infeksi dan bibit penyakit yang menyerang masuk ke dalam tubuh, sudah tidak berdaya akibat masuknya virus HIV.
Fenomena global ini mulai mengkhawatirkan sejumlah kalangan, karena justru terjadi di Aceh, wilayah yang dikenal sebagai benteng moral terkuat di Indonesia. Berikut ini tulisan yang merunut perjalanan masuknya insiden HIV/AID di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang kami turunkan atas kerjasama http://www.Indonesiawaters.com dengan http://www.aidsindonesia.com.
“ …. tingginya perkiraan tingkat penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan semakin terbukanya daerah tersebut terhadap masyarakat luar yang datang dengan misi kemanusiaan merehabilitasi Aceh pasca tsunami Desember 2004 lalu.” Ini pernyataan Direktur UNAIDS perwakilan Indonesia, Jane Wilson, di Banda Aceh (3/12-2006) yang diberitakan oleh Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh (4/12-2006).
Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 120, sedangkan dalam laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI tanggal 15 Agustus 2012 disebutkan kasus 65 HIV dan 99 AIDS yang bercokol pada peringat 26 dari 33 provinsi di Indonesia.
Pernyataan Jane Wilson itu menyesatkan karena ada beberapa fakta yang justru bertentangan dengan pernyataan tersebut.
Pertama, sebelum tsunami ada satu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, sehingga kemungkinan ada kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat. Kasus yang terdeteksi (1) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar Fenomena Gunung Es).
Kedua, sebelum tsunami survailans tes HIV hanya dilakukan satu kali. Hal ini terjadi, seperti yang pernah disampaikan oleh staf Dinkes Aceh pada sebuah seminar di Banda Aceh, karena situasi keamanan di Aceh yang tidak kondusif sehingga kegiatan survailans tidak bisa dilakukan (Lihat Gambar 3).
Ketiga, ada kemungkinan orang-orang yang tertular HIV sebelum tsunami belum masuk masa AIDS sehingga mereka tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena tidak ada keluhan kesehatan.
Keempat, sebelum tsunami kegiatan penyuluhan dan penjangkauan terhadap komunitas yang perilakunya berisiko tidak ada.
Kelima, sebelum tsunami fasilitas kesehatan terkait dengan konseling dan tes HIV tidak ada. Sebaliknya, setelah tsunami:
Keenam, mulai banyak aktivitas penyuluhan dan penjangkauan terkait dengan HIV/AIDS yang dilakukan oleh berbagai kalangan, seperti dinas kesehatan, LSM, serta pembentukan komisi-komisi penanggulangan AIDS (KPA).
Ketujuh, penyebarluasan informasi tentang HIV/AIDS mulai digencarkan.
Kedelapan, wartawan dilatih untuk mengembangkan tulisan HIV/AIDS yang komprehensif. Kalangan LSM pun dilatih untuk mendukung kerja wartawan. Selain itu dilatih pula beberapa ustad untuk membuat ceramah dan khutbah dengan materi HIV/AIDS. Pelatihan-pelatihan tersebut berlangsung beberapa kali yang didukung oleh MAP (Medan Aceh Partnership).
en.wikipedia.org |
Kesepuluh, beberapa kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat karena keluhan penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Ada juga kasus yang dirujuk oleh puskesmas di Aceh ke rumah sakit di Medan.
Celakanya, pernyataan Jane Wilson itu menjadi ‘pegangan’ bagi sebagian besar masyarakat Aceh sehingga membawa mereka kepada situasi yang menggiring mereka ke tepi jurang. Soalnya, pernyataan itu disampaikan oleh ‘bule’ yang dianggap lebih berkompeten. Pernyataan itu mengesankan kasus HIV/AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami (Desember 2004). HIV/AIDS dibawa oleh pendatang karena dikabarkan setelah tsunami Aceh terbuka sehingga banyak yang datang ke Aceh.
Dalam “Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008” (Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) disebutkan: “ …. data survei ini dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam terhadap HIV-AIDS yang jumlah dan sebaran kasusnya meningkat pasca gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 yang lalu."
Sebelum tsunami pun Aceh bukan daerah tertutup karena ada mobilitas penduduk dari Aceh ke luar Aceh atau dari luar Aceh ke Aceh melalui jalur darat dan udara.
pengenalan HIV/AIDS di Kabupaten Bireun, NAD [wartaaceh.com] |
Seorang penduduk di sebuah kota di Kab Aceh Tengah dirujuk ke RS H Adam Malik di Medan, Sumut, karena puskesmas setempat melihat penyakit yang diderita laki-laki itu terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV kemudian menunjukkan laki-laki itu mengidap HIV/AIDS. Dia mengaku pernah merantau ke Jakarta.
Karena informasi yang menyesatkan membuat sebagian masyarakat Aceh menganggap penduduk Aceh tidak ada yang berisiko selama tidak ada kontak dengan pendatang. Seorang peserta pelatihan di Banda Aceh mengatakan bahwa penduduk Aceh yang bekerja di kantor-kantor donor asing berbahaya karena bisa tertular HIV/AIDS.
Kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi pasca tsunami umumnya diketahui di rumah sakit. Penduduk yang sudah tertular HIV sebelum tsunami memasuki masa AIDS pasca tsunami. Mereka itu berobat ke rumah sakit karena penyakit yang mereka derita tidak sembuh biar pun sudah berobat ke puskesmas. Karena pasca tsunami tenaga medis di rumah-rumah sakit di Aceh sudah diberi bekal tentang HIV dan AIDS maka mereka bisa mendeteksi kasus HIV dan AIDS pada pasien yang berobat (Lihat gambar 4).
Buku “Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008” merupakan hasil pemantauan terhadap perilaku seksual berisiko di beberapa daerah di Aceh yang terkait dengan penularan HIV. Salah satu perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Aceh dan di luar Aceh.
Laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat atau pendatang yang sudah mengidap HIV (ada kemungkinan tertular di Aceh atau di luar Aceh) tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV kepada PSK. Sebaliknya, laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat atau pendatang yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK akan berisiko pula tertular HIV. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.
Persentase Asal Pelanggan PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Lihat Tabel I).
Data menunjukkan 46 persen pelanggan PSK di empat daerah itu adalah penduduk setempat. Tingkat risiko penyebaran HIV dari penduduk setempat ke PSK dan sebaliknya tergantung pada tingkat pemakaian kondom.
Tingkat penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir dengan PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Lihat Tabel II).
Data survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK mencapai 69,6 persen. Ini angka yang besar karena satu dari dua laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak memakai kondom. Kondisi ini akan mendorong penyebaran HIV secara horizontal karena laki-laki ‘hidung belang’ itu bisa saja sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya serta PSK.
Risiko penyebaran HIV di Aceh melalui hubungan seksual yang berisiko yaitu dilakukan tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK, sangat tinggi karena pemakaian kondom secara konsisten sangat rendah.
Tingkat penggunaan kondom yang konsisten pada PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Tabel III).
Data survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak pernah memakai kondom 35,4 persen, sedangkan yang kadang-kadang memakai kondom 47,3 persen.
Informasi perilaku berisiko yang disebarluaskan selama ini tidak komprehensif sehingga banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak merasa dirinya berisiko tertular HIV. Soalnya, dalam materi informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan disebutkan: perilaku berisiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti.
Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang mempunyai PSK sebagai pasangan tetap di lokasi atau lokalisasi PSK terbuka atau terselubung. Di Pulau Jawa pacar atau ‘suami’ PSK dikenal sebagai ‘kiwir-kiwir’. Di kalangan PSK yang ‘beroperasi’ di Aceh pun ada pacar atau pasangan tetap PSK.
Asal pacar atau pasangan tetap PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Lihat Tabel IV).
Data survai menunjukkan pacar PSK justru didominasi oleh penduduk setempat yaitu 58,3 persen. Laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pacar PSK ini dalam kehidupans sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga mereka menjadi jembatan penyebaran HIV dari PSK ke masyarakat atau sebaliknya.
Karena informasi yang disebarluaskan selama ini hanya menyebutkan perilaku berisiko jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti, maka ‘pacar’ atau pasangan tetap PSK itu tidak merasa berisiko sehingga mereka tidak memakai kondom. Ini meningkatkan risiko penularan dari dan ke PSK.
Tingkat penggunaan kondom pada pacar PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Lihat Tabel V).
Lagi-lagi data survai menunjukkan 78,4 persen ‘pacar’ atau pasangan tetap PSK tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.
Risiko tertular HIV dapat juga dilihat dari tingkat insiden IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dan lainnya) di kalangan PSK. Jika PSK terdeteksi mengidap IMS maka risiko tertular HIV kian besar. Maka, ada kemungkinan PSK yang mengidap IMS juga sekaligus mengidap HIV. Akibatnya, laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular IMS dari PSK bisa jadi sekaligus juga tertular HIV.
Persentase PSK yang pernah mengalami gejala IMS di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Tabel VI).
Data menunjukkan ada 35 persen PSK yang pernah terdeteksi menunjukkan gejala IMS. Jika laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK maka mereka berisiko tertular IMS, bahkan sekaligus HIV kalau PSK itu mengidap HIV pula.
Bisa saja terjadi laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat dan pendatang tidak melakukan perilaku berisiko di Aceh, tapi ke Medan. Di Medan pun ternyata perbandingan antara yang mengidap IMS dan tidak mengidap IMS di kalangan PSK juga tinggi. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan IMS dan sekaligus HIV pada laki-laki ‘hidung belang’ asal Aceh yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di Medan.
Bahkan, prevalensi IMS di kalangan PSK tidak langsung juga tinggi. PSK tidak langsung adalah PSK tidak langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, ’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dan lainnya) serta pelaku kawin-cerai.
Prevalensi IMS pada kalangan PSK langsung adan PSK tidak langsung di Sumatra Utara, 2007 (Lihat Tabel VII).
Dikhawatirkan laki-laki ’hidung belang’ merasa aman karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung. Padahal, prevalensi IMS di kalangan ini juga tinggi. Di Medan ada beberapa hotel yang menawarkan potongan harga tarif kamar untuk pemegang KTP Aceh.
Sudah saatnya paradigma penanggulangan epidemi HIV dibalik yaitu meningkatkan pemahaman kepada laki-laki yang cenderung sebagai ‘hidung belang’ agar menghindari perilaku berisiko. Tidak lagi menjadikan PSK sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena risiko penyebaran HIV justru ada juga di kalangan PSK tidak langsung. (lihat gambar)
Pelacuran terjadi karena ada permintaan dan ada pula pasokan. Dua sudut ini tidak akan bisa dihentikan karena menyebar di dunia. Tapi, di sudut lain ada sisi yang bisa disentuh yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar