Kamis, September 20, 2012

Peningkatan Kasus HIV/AIDS di Bali, Perlu Langkah Kongkret Pencegahan


Pulau Bali yang dijuluki Pulau Dewata merupakan primadona daerah tujuan wisata terpopuler di Indonesia, konon nama Bali lebih dikenal daripada Indonesia. Jumlah pengunjung (baik wisatawan lokal maupun mancanegara) dari tahun ke tahun terus meningkat. Seiring dengan peningkatan kunjungan wisatawan, meningkat pula insiden HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus) / AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome).yang terdeteksi di sana.   Sangat disayangkan, upaya-upaya kongkret untuk mencegah penyebarluasan HIV/AIDS, belum ditangani secara serius. 

Data statistik Pariwisata menunjukkan, Pulau Bali dikunjungi lebih dari 6.924 juta wisatawan, meningkat sebanyak 1.172.978 orang (20,39 persen). Dari jumlah sekitar 7 juta wisatawan (lokal dan mancanegara, pada 2010) yang mengunjungi Bali. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen adalah wisatawan asing. Bagaimana gambaran mengenai penyebaran HIV/AIDS di pulau Dewata ini? Berikut ini tulisan Syaiful W. Harahap untuk IndonesiaWaters.com sebagaimana juga terungkap dalam AidsIndonesia.com. 

Dikabarkan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, keduanya di Provinsi Bali, dijadikan proyek percontohan dalam mencapai program NOL kasus baru HIV di Pulau Dewata.

Program itu tentu saja  ibarat ‘pungguk merindukan bulan’ atau hanya  mimpi belaka karena mustahil Bali mencapai kondisi ‘nol kasus infeksi HIV baru’. Mengapa?

Dengan kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi, terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan ibu-ibu hamil, ’Pulau Dewata’ dikhawatirkan akan semakin membengkak. Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Bali sampai akhir tahun 2011 terdeteksi sebanyak 5.222 kasus.

Di Kota Denpasar dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS tahun 1987 - 2012 mencapai 1.284. Sedangkan di Kabupaten Badung sampai Desember 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS dilaporkan sebanyak 744 kasus terdiri atas 380 HIV dan 384 AIDS dengan 70 kematian.

Persoalannya, kasus yang dilaporkan itu, hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, dari kasus yang ada di masyarakat, digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 1). 

Mengapa ’nol infeksi HIV baru’ mustahil?
fenomena gunung es
Pertama, di Kab Badung dan Kota Denpasar ada penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini bisa laki-laki atau perempuan. 

Laki-laki akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang perempuan akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya secara vertikal (Lihat Gambar 2 dan 3).

Apakah Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa mendeteksi laki-laki dan perempuan yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat pada kondisi di atas.

Kalau jawabannya BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung dan Kota Denpasar akan terwujud.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung dan Kota Denpasar hanya mimpi. 

Kedua, perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga, yang mengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Apakah ada program konkret yang dilakukan Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar untuk untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Tidak ada! Maka, penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan terus terjadi sehingga tidak mungkin lagi tercapai ’nol infeksi HIV baru’.

Ketiga, ada penduduk Kab Badung dan Kota Denpasar yang akan atau sering melakukan perilaku berisiko, yaitu (Lihat Gambar 4):

(a). Laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di luar Kab Badung dan Kota Denpasar atau di luar negeri.

(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dan lainnya.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di luar Kab Badung dan Kota Denpasar atau di luar negeri.

(d) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di luar Kab Badung dan Kota Denpasar atau di luar negeri (Gambar 5).

Apakah Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa melakukan intervensi terhadap laki-laki dewasa dan perempuan dewasa pada kondisi ketiga? Tentu saja tidak bisa!

Maka, adalah hal yang mustahil di Kab Badung dan Kota Denpasar akan terwujud ‘nol infeksi HIV baru’. 

Memang, Pemkab Badung sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda itu hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.


Kalau saja Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali melihat fakta di dunia terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, maka yang bisa terjadi bukan ’nol infeksi HIV baru’, tapi menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Ini fakta.


Sayang, KPA Bali rupanya memilih bermimpi daripada mewujudkan fakta.

Upaya untuk memutus mata rantai penularan HIV dari laki-laki lokal ke pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di dua daerah itu juga tidak ada. 

Thailand sudah membuktikan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yaitu melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir.

Program itu mustahil dilakukan di Kab Badung dan Kota Denpasar karena pemerintah di dua daerah itu tidak memberikan peluang untuk meregulasi pelacuran, yaitu dalam bentuk lokalisasi pelacuran. Ide untuk melokalisir pelacuran di Kota Denpasar beberapa tahun yang lalu menuai penolakan dari berbagai kelangan.

Apakah di Kab Badung dan Kota Denpasar tidak ada (praktik) pelacuran?

PSK di Bali
Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa saja menepuk dada dan mengatakan: Tidak ada. Lho, koq, bisa? Ya, karena di Kab Badung dan Kota Denpasar tidak ada lokalisasi pelacuran.

Tapi praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung tetap ada. Tapi, karena selalu ingin menampilkan wajah moral, maka fakta terkait dengan (praktik) pelacuran sebagai realitas sosial pun diabaikan.

Pemprov Bali menutup sebuah lokalisasi pelacuran di Kota Denpasar, tapi ’wisma-wisma’ yang menjadi tempat (praktik) pelacuran tidak bisa ditutup karena terkait dengan masalah sosial. Dikabarkan pemilik wisma-wisma itu mempunyai kedudukan yang tinggi dalam tatanan masyarakat.

Disebutkan ada tujuh prioritas kegiatan, al. program pencegahan melalui hubungan seksual (PMTS paripurna), dan penyelenggaraan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (PMTCT).

Sampai hari ini program pencegahan melalui hubungan seksual di Indonesia tidak realistis. Tidak ada sistem yang konkret untuk menjalankan program itu. Program ini mengedepankan kondom. Sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV di Indonesia ditentang habis-habisan. Selain itu tidak ada pula mekanisme yang konkret dalam pemantauan pemakaian kondom, terutama di tempat-tempat pelacuran.

Sedangkan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak berjalan mulus karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Daripada membuat program di mengawang-awang akan jauh lebih baik kalau KPA Bali menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dengan membuat regulasi yaitu melokalisir pelacuran.

Perda AIDS Kab Badung, Bali, Tidak Menyentuh Akar Masalah

Salah satu reaksi yang muncul terhadap penemuan kasus HIV/AIDS yang terus terjadi adalah merancang peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Tapi, karena perda-perda itu dirancang dengan pijakan moral, maka perda-perda itu tidak bisa dijadikan patokan untuk penanggulangan HIV/AIDS.

Lihat saja Perda Kab Badung No 1 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ini. Sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom.”

Pertama, dalam perda tidak ada penjelasan tentang ‘perilaku seksual berisiko’. Kedua, di mana setiap orang wajib melakukan pencegahan? Ketiga, kalau kewajiban berlaku di wilayah Kab Badung, maka penduduk bisa saja melakan perilaku berisiko tanpa terikat kewajiban memakai kondom di luar wilayah Kab Badung. Keempat, di dalam perda tidak ada penjelasan yang rinci tentang mekanisme pemantauan kewajiban memakai kondom. Karena pemakaian kondom terinspirasi dari program di Thailand, maka pemantauan pun harus mengacu ke program tersebut. Di Thailand program itu berhasil karena ada mekanisme pemantauan yang konkret. Germo atau mucikari diberikan izin usaha.

bali.panduanwisata.com
Pada kurun waktu tertentu dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi berupa peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Di Indonesia yang menerima sanksi justru PSK, seperti yang sudah dilakukan oleh Pemkab Merauke dan KPA Kab Merauke, Papua. Padahal, posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki bisa memaksa PSK meladeninya tanpa kondom dengan bantuan germo. Lagi pula 1 PSK ditahan, maka puluhan PSK (baru) akan menggantikan posisi PSK yang ditangkap. Lain halnya kalau izin usaha yang dicabut tentulah tidak otomatis ada germo baru karena harus mengusur izin usaha baru.


Di pasal 1 ayat 6 disebutkan: “Pencegahan adalah upaya memutus mata rantai penularan HIVdan AIDS di masyarakat, terutama kelompok berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV dan AIDS seperti pengguna narkoba jarum suntik, penjaja seks dan pelanggan atau pasangannya, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, warga binaan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, ibu yang telah terinfeksi HIV ke bayi yang dikandungnya, penerima darah, penerima organ atau jaringan tubuh donor.” Tidak ada kaitan yang konkret antara pasal 1 ayat 6 dan pasal 9.

Di Pasal 7 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan.” Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari. Lagi pula orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku sudah berjanji akan memutus penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Perda ini menggalang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 21 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS….”

Cara yang ditawarkan perda ini hanyalah sebatas mitos. Bahkan, pasal ini justru menodorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perbedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena huruf a dan b mengesankan Odha tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan.

Lagi pula, siapa, sih, yang berhak mengukur perilaku seseorang apakah sehat atau tidak? Apa pula ukuran yang dipakai? Seberapa besar ukuran ‘hidup sehat’ dan ‘ketahanan keluarga’ yang bisa mencegah HIV?

Perda ini pun hanya copy-paste dari perda yang sudah ada. Tidak ada satu pun pasal yang manawarkan pencegahan dan penanggulangan HIV yang konkret. 

Meningkatnya arus kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara ke Pulau Bali, secara langsung/tidak langsung telah meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat Bali. Tetapi, sudah saatnya ditempuh upaya-upaya untuk menekan/meminimalisir dampak negatif  penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, dengan metode yang jelas, terarah dan terukur serta melalui tindakan nyata. Tidak cukup hanya dengan imbauan moral.  

Tidak ada komentar: