Senin, Juni 15, 2009

Appreciative Inquiry, Metode Alternatif Untuk Kegagalan Pembangunan


-->

I (right) sail over seven seas...!
SERING terjadi berulangkali. Suatu proyek social development yang digagas Pemerintah Daerah harus berakhir dengan sia-sia. Padahal, sudah dirancang dengan bagus serta menelan biaya cukup besar. Dan hasilnya? Tidak sesuai harapan. Paling banter masuk kategori: ‘biasa-biasa saja’ dan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan yang diinginkan. 


Pendekatan yang sedang trend dewasa ini -- dikenal dengan Asset Based Community Development-- menawarkan metode Appreciative Inquiry dalam intervensi pembangunan, dengan hasil yang jauh lebih menjanjikan ketimbang cara lama. Inilah metode alternatif terbaik untuk kegagalan pembangunan selama ini. 

Pada setiap tahun anggaran, bisa kita saksikan bagaimana undangan pekerjaan (proyek) terpampang memenuhi halaman koran-koran. Tender digelar dengan judul yang sama dengan kegiatan tahun-tahun sebelumnya (boleh jadi dengan penekanan dan fokus yang berbeda). 

Maka, terjadi kesibukan sesaat. Berbagai ‘manuver’ hubungan relasional berlangsung sangat intensif diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Dan agenda paling hot adalah perbincangan soal share dan fee, yang dibahas terang-terangan, nyaris tanpa rasa malu (bermain-main dengan uang rakyat yang dipungut dari pajak). Begitu seterusnya, dari tahun ke tahun kesibukan yang sama berulang.....
Di luar arena, masyarakat --kepada siapa proyek-proyek itu diperuntukan— hanya menjadi penonton. Kehidupan mereka tak banyak berubah. Tetap marjinal dan berkutat di lingkaran kemiskinan. Inilah perkara yang dianggap lumrah di lingkungan Pemerintahan Daerah dan komunitas kita karena intervensi pembangunan selama ini, tidak memiliki elan vital yang berakar dari envision seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Tidak hanya pada proyek-proyek non fisik, seperti program-program ketahanan pangan, pemberdayaan usaha kecil dan lainnya. Tetapi juga terjadi pada proyek fisik yang vital, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.

Perkiraan data statistik menunjukkan, di Indonesia terdapat lebih dari 306 perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang sebagian diantaranya sudah menjangkau tingkat kecamatan. Tetapi, dari jumlah sebanyak itu, lebih dari 90% PDAM itu berada dalam kondisi tidak sehat dan sangat tidak sehat. Bebagai keluhan konsumen pun terus bertumpuk, mulai dari kenaikan tarif yang diberlakukan seenaknya, aliran air yang masih seret (tidak 24 jam), air yang buruk (keruh). Singkatnya, keluhan berkisar soal kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Padahal, badan usaha milik daerah itu sudah hadir sejak jaman baheula.

Bayangkan, menurut data Ditjen Air Bersih, Departemen PU (2005) tingkat penetrasi PDAM dengan kapasitas 95.540 liter/detik ternyata baru sanggup melayani hanya 8% penduduk pedesaan dan 38 persen di perkotaan atau rata-rata nasional sekitar 20 persen, yang baru bisa dilayani air bersih. Sisanya (80% penduduk Indonesia) harus mengatasi kebutuhan air bersih dengan caranya masing-masing. Itulah prestasi yang dicapai PDAM dari sejak jaman Belanda hingga kini (lebih 60 tahun Indonesia merdeka).

Padahal semua tahu, air adalah sumber kehidupan. Dan air bersih, adalah kunci pertumbuhan dan kesehatan keluarga, komunitas dan masyarakat. Hampir pada setiap pergantian musim, dari kemarau ke penghujan atau sebaliknya, sering terdengar berjangkitnya penyakit typhus, kolera, disentri, muntaber, diare, dan demam berdarah, serta lebih dari 30 jenis penyakit lainnya yang berhubungan dengan air (water borne disease water related vector). Kondisi yang sama (boleh jadi lebih buruk) jika berbicara tentang sanitasi. Fakta memprihatinkan, terjadi pada berbagai sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat pada tingkat yang paling mendasar (public service).

Tak heran jika kemudian muncul banyak kritik dan skeptisisme terhadap hasil-hasil pembangunan yang selama ini telah dicapai, karena masih jauh dari memuaskan dan perkembangannya dirasakan sangat lamban. Hasil survey sebuah lembaga internasional menunjukkan: Human Development Index Indonesia berada pada urutan ke-107 (sama dengan Palestina) sementara Corruption Index berada pada tingkat 144 (mendekati Gambia). Sudah sedemikian terpurukkah kualitas hidup kita dibadingkan dengan negara-negara lain?

Sudah terlalu banyak perbincangan, hasil-hasil studi, seminar, atau lokakarya yang mengupas sebab-sebab keterpurukan. Tetapi terlalu sedikit yang sampai pada tahap implementasi. Dan penyakit-penyakit sosial seperti korupsi --yang berkorelasi langsung dengan kemiskinan dan pengangguran-- tetap saja menjadi masalah besar. Lantas, kemana sebenarnya arah pembangunan dan pengembangan masyarakat selama ini? Sudah saatnya kita mengubah cara-cara lama dengan sesuatu yang lebih kuat dampaknya dalam membangun komunitas.

Pendekatan Berbasis Aset
ACCES (The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) , sebuah lembaga yang diprakarsai atas kerjasama pemerintah Australia dan Indonesia melalui Australian Agency for International Development (AusAID), belum lama ini, menawarkan gagasan yang menarik melalui program District Citizen’s Engagement Management Plan (DCEP) dalam upaya pengembangan komunitas di tingkat kabupaten. 

Lembaga yang sudah berkiprah sejak 2002 di sejumlah kabupaten termiskin di Indonesia itu (khususnya Indonesia Timur), bekerjasama dengan INSPIRIT INC., training provider dari Bogor, menyelenggarakan Lokalatih (lokakarya-pelatihan) tentang Asset Based Community Development (ABCD) melalui pendekatan Appreciative Inquiry.

Meskipun skala kegiatannya masih sangat terbatas, tetapi pengenalan metode appreciative Inquiry telah menanamkan kesadaran baru terhadap segala kemungkinan yang belum terbayangkan dan menumbuhkan tunas-tunas gagasan perubahan pada level komunitas. 

Peserta Lokalatih sekitar 37 orang, yang merupakan kader-kader fasilitator terpilih dari berbagai LSM di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), staf ACCES serta perwakilan pemerintah daerah. Diharapkan, para kader ini kelak meneruskan metode serupa kepada komunitas di kabupaten lainnya (termasuk Pemda dan DPRD masing-masing kabupaten). Dan nyatanya, ‘gerakan’ di tingkat akar rumput ini terus menggelinding ke kabupaten-kabupaten lainnya, bak bola salju yang terus membesar yang pada saatnya nanti akan larut menyatu ke dalam bentuk pola kerja keseharian mereka. Berupa adopsi nilai dan metode kerja, yang lebih memberikan harapan dan menjajikan hasilnya, dalam mengintervensi pembangunan.

Apa itu Asset Based Community Development?  
Asset Based Commuity Development (ABCD) adalah proses mobilisasi dan pengorganisasian suatu komunitas untuk menciptakan suatu perubahan yang diinginkan. Gord Cunningham dan Alison Mathie dari Coady International Institute dalam seminar di Bangkok, Thailand 21 Februari 2002, silam, mengungkapkan: ABCD didasarkan pada prinsip-prinsip menghargai (appreciating) dan memobilisasi seluruh talenta, kecakapan, keterampilan individu dan komunitas sebagai aset yang paling berharga dan menjadi landasan berpijak dalam menciptakan masa depan impian.

Berawal dari collecting stories kemudian mengorganisir kelompok inti, lantas pemetaan kapasitas dan aset-aset yang tersedia. Dari individu-individu, lalu melebar ke asosiasi-asosiasi dan institusi-institusi lokal lainnya hingga terbangun rencana dan visi bersama di tingkat kabupaten. Selanjutnya memobilisasi keterpautan aset-aset untuk membangun kabupaten.

Pendekatan ini melihat pentingnya modal sosial sebagai sebuah aset. Itulah mengapa ABCD memberikan perhatian kepada kekuatan asosiasi dan jaringan informal di masyarakat dan hubungan yang terbina diantara asosiasi-asosiasi dengan institusi-institusi atau kelembagaan eksternal lainnya.

ABCD menggunakan pilihan-pilihan terbaik yang berbasis sumberdaya masyarakat itu sendiri. Pendekatan partisipatif terhadap pembangunan didasarkan pada pemberdayaan dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembangunan. Untuk itu, dalam proses ABCD juga terjadi penguatan masyarakat madani (civil society), yang memusatkan perhatian pada bagaimana membangun keterlibatan penduduk sebagai warganegara yang mempunyai hak dan tanggungjawab (tidak hanya semata sebagai klien) dalam pembangunan, serta bagaimana ABCD membantu kinerja Pemerintah Daerah menjadi lebih efektif dan responsif terhadap perubahan.

Appreciative Inquiry

Pendekatan yang digunakan dalam ABCD adalah Appreciative inquiry. Suatu metoda tentang tangga perubahan bertahap yang menyerupai gerak melingkar spiral, mulai dari: tahap pencarian, membangun impian, merancang dan implementasi atau dikenal dengan rumus 4 D (discover, dream, design and deliver).

Istilah appreciative menurut World English Dictionary (1999)adalah: suatu perasaan atau ekspresi penghormatan; suatu opini menyenangkan mengenai sesuatu; menyukai dan mengakui kualitas sesuatu; pemahaman sepenuhnya terhadap arti penting sesuatu; dan suatu peningkatan nilai, khususnya yang sudah terjadi.

Sedangkan Inquiry diartikan sebagai: penjelajahan dan pencarian; mengajukan pertanyaan-pertanyaan; terbuka pada kemungkinan potensi-potensi baru. Persamaan katanya adalah discovery, search, dan systematic exploration, study.

Apprecitaive Inquiry adalah tentang: mencari, mengakui dan memberi makna pada apa yang terbaik di masa lalu serta apa saja yang sekarang sudah/sedang ‘berjalan’ dengan baik (discover). Keberhasilan masa lalu digunakan sebagai titik beranjak dalammenggambarkan suatu kondisi ideal yang dikehendaki terjadi di masa depan (dream).

Tentu saja, masa depan yang diinginkan harus dirancang secara visioner melalui rencana tindak dan tahapan kerja bersama dengan cara-cara yang lebih bernas, segar, dan jitu (design), selanjutnya diimplementasikan kedalam tindakan nyata (deliver) yang merujuk pada kompetensi dan pengalaman yang pernah dilakukan. Pandangan logis menunjukkan, jika sesuatu beranjak dari eksisting pengalaman yang dimiliki, akan membangkitkan rasa percaya diri komunitas tersebut. Maka, kabupaten impian pun menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi (destiny).

Apresiasi adalah proses penguatan. Tidak sama dengan kritik, yang mendasarkan pada skeptisisme dan keraguan. Apresiasi lahir dari pemahaman dan empati (terhadap rakyat) mengenai pendirian, kepercayaan dan keyakinan mereka. Dari proses penguatan itulah kemudian mengalir kekayaan pengalaman dan keseluruhan kekuatan yang dimiliki.

Inti dari Appreciative Inquiry sebenarnya terletak pada ‘seni mengajukan pertanyaan’ untuk melihat kemungkinan masa depan dengan dasar yang kuat yaitu pengalaman terbaik dan hubungan positif subjek (seseorang, organisasi, komunitas) terhadapnya. Dengan demikian, appreciative inquiry bekerja dengan asumsi bahwa lingkungan ini tercipta untuk mendukung sistem kehidupan dan selalu tersedia kapasitas yang sedang berjalan dengan baik. Untuk itu, proses Appreciative Inquiry menggunakan 4 (empat) penyelidikan dan penajaman dari pentahapan yang saling mengait dan berantai.

Gambaran sederhana adalah seperti berikut: Pertama, tahap DISCOVER: melihat dan mengidentifikasi suatu proses yang sudah dan sedang berjalan dengan baik. Tahap kedua DREAM: melihat gambaran ke masa depan dari proses tersebut yang mungkin bekerja dengan baik di masa yang akan datang. Ketiga, DESIGN: merencanakan dan memprioritaskan proses-proses apa yang mungkin bekerja dengan baik tersebut dan terakhir adalah tahap DESTINY (or DELIVER): adalah implementasi (eksekusi) dari rancangan (design) yang diajukan tersebut.

Salah satu tahapan penting dalam spiral 4D adalah impian (Dream). Bagi sebagian orang, seringkali untuk bermimpi saja sulitnya bukan main, karena itu Denis Waitley dan Reni L. Witt (The Joy of Working: Waitley International, Asia: 2002) menunjukkan cara yang mudah: ‘’Ciptakan impian yang membuat Anda merasa lebih hidup dan memberi Anda tujuan yang lebih tinggi. Luangkan sesaat beberapa kali dalam sehari untuk menayang-ulangkan impian Anda. Anda akan menemukan diri Anda sendiri berenergi, penuh tenaga kembali dan harga diri anda lebih kuat. Raihlan impian yang Anda kasihi, tetapi juga jadilah pelakunya. Angan-angan hanya dapat jadi kenyataan melalui tindakan. Selesaikan sekurangnya satu hal setiap hari yang membawa Anda lebih dekat kepada impian Anda.’’

Gagasan penting lain yang ditawarkan appreciative inquiry adalah lebih baik mengembangkan apa yang sudah berjalan dengan baik di dalam suatu komunitas /organisasi, ketimbang mencoba memperbaiki masalah. Ini berlawanan dengan cara lama yang cenderung mencari penyelesaian masalah (problem solving). Sebaliknya, ia justru memusatkan pada keberhasilan apa yang pernah terjadi dan apa yang sekarang berjalan dengan baik, kemudian memperkuatnya. Dan hasilnya, ternyata memberikan dampak yang melebihi dari penyelesaian masalah itu sendiri.

Joe Hall dan Sue Hammond (dari Universitas Columbia dan konsultan pada Kodiak Consulting), menegaskan perbedaan cara pandang proses tradisional dengan Appreciative Inquiry: 


Traditional Process

Appreciative Inquiry
Mendefinisikan masalah
Mencari solusi yang telah ada
Memperbaiki apa yang salah
Memperkuat apa yang bekerja
Fokus pada apa yang kurang
Fokus pada tenaga yang menjadikan hidup
Apa masalah anda?
Apa yang terbaik di sini?

Meskipun pada mulanya metode AI yang dikembangkan Dr. David L. Cooperrider dari Case Western Reserve University dimaksudkan untuk pengembangan organisasi, tetapi kini metode AI telah banyak digunakan oleh berbagai organisasi (profit dan non profit) dan telah banyak dipraktekan di beberapa negara-negara maju, dengan perkembangan yang semakin jelas, bahwa metode praktis AI menawarkan suatu cara pandang yang berbeda dalam melihat dunia (lingkungan sekitar). Ia membuka sisi lain dalam cara berpikir, bertindak dan menjadikan apa yang dikehendaki.

Dani Wahyu Munggoro, inisiator INSPIRIT Inc., yang baru-baru ini memperoleh penghargaan (award) dari Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai The Best Practitioner of Change, mengungkapkan keunggulan Appreciative Inquiry atau ‘Menggali Kekuatan Kita’ (MKK). Bahwa MKK selalu bertujuan menggali Apa yang Membuat Kita Lebih Hidup bagi anak-anak kita, keluarga kita, organisasi kita maupun masyarakat kita.

MKK pasti bekerja karena dunia ini dirancang untuk mendukung kehidupan kita. ‘’Inilah keajaiban untuk menanggalkan cara berfikir yang meniru pikiran seorang dokter: cari tahu gejala, periksa dan obati. Atau, dalam berorganisasi juga mengenal pendekatan bertumpu masalah: cari masalah, cari kemungkinan jawaban dan pilih tindakan jitu. Proses MKK bertumpu pada mengembalikan rasa percaya diri, menumbuhkembangkan harapan, menangkap masa depan dan membuka segala kemungkinan menuju masa depan,’’.

Lebih jauh, disebutkan bahwa ‘’Prinsip MKK memberikan kepada semua orang menjadi istimewa. Karena, setiap orang luar biasa maka ia menjadi subyek dalam menentukan masa depan yang diinginkan. Sukses perubahan terjadi bila setiap orang merasa berharga dan terlibat dalam menangkap masa depan yang dibayangkan.’’

Optimalkan Cara Kerja Otak Kanan

Dalam Lokalatih (semacam ToT) yang diselenggarakan INSPIRIT di Bali itu, sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini, para peserta diajak mengenal asset-based approach menggunakan metoda 5 to 

1. Peserta diminta mengungkapkan 5 aset pribadi yang berkaitan dengan kekuatan, bakat, ketrampilan dan sikapnya sebagai seorang fasilitator. Peserta juga diminta untuk menuliskan 1 (satu) kekurangan/kelemahan yang akan menghambat efektivitas peserta sebagai fasilitator. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara mengatasi kelemahan dengan menggunakan kelima aset pribadi yang dimiliki? Refleksi dari latihan yang dilakukan adalah ternyata banyak orang yang menemukan bakat-bakat dirinya, yang selama ini belum banyak digunakan, seperti kapasitas coaching, kekuatan relasi, dan juga compassion.

Secara bertahap peserta diperkenalkan cara lain dalam memandang diri sendiri, kemudian cara memandang orang lain. Jika kita sudah dapat melihat orang lain dengan cara yang berbeda, kita dapat mengubah cara pandang diri kita dalam melihat situasi.

Cara pandang yang berbeda dalam melihat situasi menjadikan seseorang bila menemukan tantangan, ia dapat menciptakan solusi kreatif. Jika menemukan kemunduran, ia akan mendorong kinerja baru. Ia akan menjadikan kesalahan sebagai pemahamandan pembelajaran baru, dan ia juga mengubah peluang sebagai jalan yang menyediakan inovasi dan meningkatkan keahlian. Dengan pendekatan ini, bukan berarti kita tidak berbicara tentang problem sama sekali. Justru karena kita menyadari bahwa masalah ada dan akan selalu ada, maka perlu kekuatan lebih untuk menyelesaikannya.

Sebagian orang berpendapat, Apprecitive Inquiry adalah seni melihat apa yang orang lain tidak melihatnya. Ini tentang bagaimana meningkatkan kesadaran terhadap nilai-nilai, kekuatan, dan potensi yang kita dan orang lain miliki. Dan menembus batas-batas yang kita tentukan dengan memadukan penggunaan yang optimal dan seimbang dari perbedaan cara kerja otak kiri dan otak kanan manusia. 

Otak Kiri

Otak Kanan
Logical
Random
Sequential
Intuitive
Rational
Holistik
Objective
Synthesizing
looks at parts
looks at whole

Salah satu aset komunitas adalah visioning yang ternyata menjadi urusan otak kanan. Bagaimana kemudian mengaktifkan “otak kanan” di dalam sebuah komunitas? Resep paling ampuh adalah dengan membangkitkan antusiasme. Antusiasme berasal dari imajinasi yang ceria dan penuh warna. Imajinasi ini, bila disambungkan dengan pikiran, akan menghasilkan energi yang beresonansi hingga membesar. Inilah yang disebut antusiasme. Tidak ada yang lebih menular dari antusiasme!

Mungkinkah kita mengubah ketidakberdayaan dan kemiskinan pada suatu komunitas dengan cara semacam ini? Berikut ini (sebagai contoh) beberapa deskripsi eksplisit sebagian visi kerakyatan dari sebuah kabupaten termiskin di NTT, yang menghendaki perubahan di bidang pendidikan dan kesehatan: ‘’Kami ingin Pendidikan dan kesehatan yang murah, berkualitas serta mudah diperolah (akses) oleh masyarakat miskin, perempuan dan anak-anak,’’

Nah, kemudian apa kekuatan yang dimiliki untuk mencapai impian tersebut? ‘’Kami mempunyai daerah sejuta ternak, sabana yang luas, tenunan yang indah, hasil kebun yang melimpah. Kita mempunyai SDM yang tulus, terampil dan dengan kekuatan yang ada. Perempuan, orang terpinggirkan dan anak-anak, berhak mendapatkan pemenuhan hak dasar yang berkualitas’’ katanya. Kemudian apa pernyataan paling penting bagi mereka? “Mari rebut kembali kekayaan milik rakyat!’’

Lain lagi impian kelompok fasilitator dari Sulawesi Tenggara. ‘’Harapan Sultra: disamping kami mempunyai tanah dan kekayaan alam yang melimpah, kami mempunyai sumber daya manusia yang bersemangat untuk bekerja, kami juga mempunyai nilai-nilai agama (religi), serta kekayaan seni budaya. Dan itu semua untuk anak-anak, keluarga dan tetangga kami.’’

Maka, kami berpendapat, keterlibatan warga adalah mutlak dalam pengelolaan dan pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Karena itu, jangan memberi ruang bagi eksploitasi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan rakyat yang berdaulat, organisasi yang terorganisir dan mandiri serta pemerintahan yang bersih dan profesional, kami yakin mampu mewujudkan impian kabupaten kami.

Lantas apa yang akan mereka lakukan? ‘’Reformasi regulasi di sektor pertanian dan perkebunan. Melalui reformasi kebijakan agraria, organisasi masyarakat dapat mengakses kredit, penyaluran dan perlindungan terhadap akses pertani. Pengelolaan sumber daya air yang berpihak pada petani, mengubah pola pikir petani agar mandiri, serta mempertahankan stabilitas harga dan kemudahan mendapatkan akses pasar’’.

Itulah petikan dari rekaman hasil Lokalatih yang harus direspon secara positif oleh para pemangku kebijakan di tingkat Pemerintah Daerah (lebih lengkap, lihat: Rekam Proses Hari Kelima, Refleksi bersama tentang Appreciative Inquiry).

Citra Menginspirasi Tindakan

Dewasa ini, Appreciative Inquiry lebih menjadi suatu paradigma baru dalam konsep pengembangan manusia dan inovasi sosial. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan positif, kita dapat meningkatkan bayangan/citra masa depan yang baru, suatu gambaran yang bangkit dari kenangan terbaik masa silam. Citra yang kuat (powerful images) tentang diri kita (organisasi dan lingkungan sekitar) akan merangsang inovasi dan tindakan.

Contoh terbaik, ditunjukkan oleh Winston Churchill ketika menyerukan rakyat Inggris agar bangkit dari masa yang paling kelam pada Perang Dunia II. Ketika itu, kebanyakan orang sudah tenggelam dalam keputusasaan, terbius oleh apatisme dan penuh sesak dengan ironi, konflik, dan pandangan negatif. Tetapi Churchill telah mendemontrasikan dengan keyakinannya bahwa kita dapat melihat harapan dan tanda-tanda kehidupan, jika kita memang menginginkannya. Dan memang, beberapa tahun kemudian perubahan itulah yang terjadi.


David L. Cooperrider dan Diana Whitney dalam tulisan (draft) bertajuk A Positive Revolution in Change: Appreciative Inquiry,mengatakan: ‘’terdapat sesuatu yang sangat indah dan mengagumkan yang bisa kita temukan, jika kita mengangkat pandangan kita menuju kepada jantung terdalam yang menghidupkan sistem kemanusian’’

Lebih jauh dikatatan, bahwa Appreciative Inquiry mencari secara mendasar bangunan konstruktif yang menyatukan manusia secara keseluruhan. Kapasitas-kapasitas apa saja yang menjadi pembicaraan orang pada masa lalu dan masa kini, seperti: puncak-puncak pencapaian/ prestasi, aset-aset yang tersedia, potensi-potensi yang tidak/belum dijelajahi, inovasi-inovasi, kekuatan, nilai-nilai kehidupan, kemajuan pemikiran, peluang-peluang, benchmarks, momentum paling bernilai, tradisi-tradisi, kompetensi-kompetensi stratejik, kisah-kisah, ungkapan kebijakan, penelusuran ke relung yang paling dalam dari jiwa dan semangat- dan itu semua terangkum dalam visi yang bernilai dalam menangkap kemungkinan-kemungkian pada masa depan.

Appreciative Inquiry menggunakan semua ini dalam segala hal yang dilakukan. Dan ia bekerja pada inti perubahan positif, karena Appreciative Inquiry memgasumsikan bahwa sistem kehidupan memiliki kekayaan yang beragam dan banyak hal yang belum digunakan yang bisa memberi inspirasi positif. Menhubungkan inti energi secara langsung terhadap apapun agenda kemungkinan perubahan yang tidak pernah terpikirkan. 

Satu bukti yang jelas dari hasil refleksi tentang apa yang terpenting dipelajari didalam Appreciative Inquiry adalah, bahwa: sistem manusia tumbuh dan berjalan sesuai (mengikuti) arah yang secara persis menjadi bahan pertanyaan. Dan kecenderungan ini kian menguat dan berkelanjutan ketika arti dan akhir dari pencarian (subjek) secara positif berkorelasi. 
Ketika kita dihadapkan pada sejumlah masalah di tingkat kabupaten yang masih terbelakang dan miskin, saya hanya teringat apa yang dikatakan P. Troxel dari Partner Millennia Consulting, LLC, Chicago, Illinois, yang menyatakan bahwa satu-satunya yang kita perlukan adalah perubahan. 

Dalam tulisan bertajuk Appreciative InquiryAn Action Research Method For Organizational Transformation and its Implications to the Practice of Group Process Facilitation, dia mengatakan: kita semua tahu, bahwa hanya satu hal yang bisa kita pastikan yaitu…perubahan. Dan, kita juga tahu bahwa terdapat satu hal lagi yang bisa kita pastikan …bahwa akan ada penolakan terhadap perubahan. Dan itulah tantangan terbesar kita.
Namun sesunguhnya, yang benar bukan ‘tantangan terbesar’ tetapi ini hanya tentang kemauan. Apakah warga beserta seluruh pemangku kepentingan di suatu kabupaten itu mau berubah (menjadi lebih baik) atau tidak? Ahli ilmu jiwa Carl Gustav Jung sudah lama mengingatkan kita:

Semua masalah terbesar dan terpenting dalam kehidupan kita secara fundamental tidak terpecahkan…mereka hanya menyingkir dan membesar di luar sana. Penyingkiran dan pembesaran ini menujukkan perlunya investigasi lebih lanjut yang menuntut tingkat kesadaran pada tahapan yang baru. 

Beberapa daya tarik yang lebih tinggi atau lebih besar muncul pada horison di ufuk sana. Dan melalui pandangan yang lebih jauh ini, masalah yang tidak terpecahkan menjadi kehilangan arti pentingnya. Ia tidak terpecahkan secara logis dalam terminologinya, tetapi terhapus ketika dihadapkan pada sesuatu yang baru, yang lebih kuat dari kehendak hidup.

                                              (Thanks to INSPIRIT Innovation Circle)




2 komentar:

Unknown mengatakan...

Appreciative Inquiry adalah metode yang keren, mengajarkan kita bagaimana perubahan yang keren

kapan ya para praktisi ai bisa sharing pengalaman bareng?

Semy Havid mengatakan...

Ya, p. Bukik 'Appreciative Inquiry' memang menarik. Dan saya juga berharap, suatu saat para praktisi AI bisa berkumpul, berbagi pengalaman.

Salam,