Gagasan pembebasan bersyarat sejumlah Narapidana (Napi) Umum, yang
disampaikan Menteri Hukum dan HAM Prof.
Yasonna Laoly, terkait merebaknya pandemi wabah COVID-19, dalam rapat dengar
pendapat dengan Komisi III DPR RI, belum lama ini, telah mengundang perhatian publik
dan berbagai reaksi pro-kontra serta polemik di masyarakat.
Pemicu polemik adalah munculnya misleading
atau lebih tepatnya penyesatan opini publik, akibat dari kesalahan berpikir
(logical fallacy) beberapa media massa di tanah air dalam merespon gagasan
Menkumham.
Sebut saja, presenter kondang Najwa Shihab dalam reportasenya yang disiarkan
sebuah televisi
nasional, kemudian juga diunggah ke channel Youtube yang
ditonton ribuan viewer. Terkesan bahwa Napi Koruptor, Narkoba dan Terorisme,
yang disebutnya sebagai kejahatan dengan kategori luarbiasa (Extra Ordinary
Crime), akan memperoleh pembebasan yang sama.
Presenter kondang ini pun menampilkan tayangan tentang satu dua tahanan (Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat dan Setya Novanto, mantan Ketua DPR) sebagai representasi tahanan Koruptor, yang menghuni lapas Sukamiskin dengan fasilitas mewah.
Najwa ketika Kunjungi Lapas Sukamiskin, Bandung |
Presenter kondang ini pun menampilkan tayangan tentang satu dua tahanan (Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat dan Setya Novanto, mantan Ketua DPR) sebagai representasi tahanan Koruptor, yang menghuni lapas Sukamiskin dengan fasilitas mewah.
Selain itu, tayangan-tayangan media kurang disertai dengan pemahaman tentang hakikat sebenarnya dari tujuan pembinaan sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga terkesan menggiring opini publik pada kebencian yang mendendam yang menumpulkan nilai kemanusiaan.
Bersyukur, seorang Jurnalis senior Karni Ilyas, penggagas acara Indonesia Lawyer’s
Club (ILC) sempat menayangkan topik ini
di TV One, Selasa (27/04), tadi malam. Tayangan ILC memang agak berbeda dengan
reportase biasa. Karni tampil dengan memenuhi asas the
cover of two both side dan memberi kesempatan yang cukup kepada Yasonna Laoly
untuk menjelaskan pandangan Pemerintah, selain dari pihak di seberangnya,
seperti LSM. Dan para pengamat dari kalangan ahli hukum.
Mengapa gagasan pembebasan bersyarat bagi para Napi di tengah merebaknya
pandemi Covid-19 ini, menjadi penting
dan perlu segera dipertimbangkan?
Over Capacity Problem Serius
Sebagaimana diketahui, hampir semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan
Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia saat ini mengalami Over Capacity. Pada saat ini terjadi over capacity 2 sampai 3
kali lipat dari kapasitas sehingga kondisinya berada dalam
kategori extreme over capacity.
Sementara, upaya untuk
membangun Lapas dan Rutan yang baru, selain memerlukan waktu dan biaya yang mahal, juga belum bisa menjawab masalah over
capacity. Merebaknya wabah pandemi COVID
19, memiliki dampak yang meluas di Indonesia hanya dalam hitungan bulan, minggu
dan bahkan hitungan hari, korban terus berjatuhan! Sementara laju napi yang masuk Lapas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan ruang atau penambahan kamar.
Asimilasi di Lapas Muara Bungo, disambut sujud syukur |
Masalah over
capacity merupakan masalah serius dan tidak
bisa dianggap enteng karena menimbulkan dampak negatif yang dahsyat. Diantaranya, pertama kondisi sanitasi di Lapas menjadi buruk, sehingga menimbulkan
tekanan psikologis dan memicu
datangnya berbagai penyakit kronis seperti penyakit disfungsi degeneratif dan
penyakit kronis (kulit, paru, hipertensi, diabetes, dan lainnya).
Banyaknya napi yang menderita penyakit dapat mengakibatkan endemik dan pandemik di
dalam Lapas, sehingga kalau tidak tertangani bisa mengakibatkan
kematian massal yang terencana (genoside).
Kalau hal ini terjadi, apa kata dunia jika Negara
dikecam karena telah melakukan pelanggaran HAM
berat?
Kedua,
over capacity juga telah dan akan menimbulkan kriminalitas baru dalam Lapas
berupa perkelahian sesama warga binaan dan tindakan lainnya yang seolah-olah
Lapas berubah fungsi menjadi universitas kejahatan (academy of crime). Jika
hal ini terjadi maka tujuan
pemasyarakatan untuk membina narapidana agar siap
kembali hidup normal di tengah masyarakat menjadi gagal total.
Ketiga, pemborosan
anggaran karena narapidana membutuhkan biaya yang besar, yaitu sekitar 2-3
triliun rupiah per-tahun, yaitu untuk
makanan (Rp.15.000/orang/hari); kesehatan (Rp.1000/orang/hari), biaya umum
(Rp.30.000/orang/hari) dan biaya perlengkapan seperti pakaian dan lainnya
(Rp.50.000/orang/tahun).
Keempat, kondisi
Lapas yang over capacity
akan sangat rentan terhadap penyebaran
dan penularan Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional non alam
sehingga jika ada salah seorang saja narapida yang ditemukan positif covid-19, maka
kemungkinan besar semua narapida akan tertular.
Sebagai upaya penyelamatan narapidana dari
penularan Covid-19, Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan
Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19 untuk membebaskan sekitar 30.000 napi dewasa
dan anak.
Dalam peraturan ini, narapidana khusus
kasus korupsi dan narkotika tidak bisa ikut dibebaskan karena terganjal PP 99
tahun 2012 sehingga Menkumham mengusulkan untuk merevisi PP 99 Tahun 2012
dengan kriteria sangat ketat.
Kriteria sangat ketat yang dimaksud Menkumham
adalah pertama, pemberian asimilasi bagi napi narkotika dengan masa pidana 5-10
tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya yang jumlahnya diperkirakan 15.422
orang. Kedua, adalah pemberian asimilasi kepada napi korupsi yang berusia di atas 60 tahun dan telah
menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya
300 orang, ketiga pemberian asimilasi terhadap napi tindak pidana khusus
(tipidsus) yang dinyatakan sakit kronis oleh dokter pemerintah dan telah
menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya 1.457 orang. Dan keempat, yaitu pemberian asimilasi terhadap napi asing
yang berjumlah sebanyak 53 orang.
Pembebasan
Bersyarat Juga Dilakukan di AS
Pembebasan narapidana dalam rangka mengatasi
pandemik covid-19 telah juga dilakukan oleh beberapa negara. Contohnya Jaksa
Agung Amerika Serikat, Bill Bar,
telah menginstruksikan sejumlah penjara federal di negara itu untuk membebaskan
sejumlah napi lansia yang
diperkirakan jumlahnya sekitar 2.000 orang, dengan tujuan untuk
mengurangi dampak pandemik Covid-19 karena napi lansia sangat berisiko terinfeksi
Covid-19.
Dengan pembebasan tersebut, Bill Bar ingin memastikan bahwa penjara tidak akan menjadi cawan
petri atau wadah pengembangbiakan bagi Covid-19. Perlu
diketahui bahwa yang dimaksud napi lansia adalah napi yang usianya 60 ke atas.
Selain Amerika Serikat, negara-negara yang
membebaskan napi dengan alasan pandemik
Covid-19, di antaranya adalah Iran dengan membebaskan sekitar 85.000
napi, Ethiopia membebaskan sekitar 4.000 napi dan Afghanistan membebaskan
sekitar 10 ribu napi.
Wacana Menkumham yang berkaitan dengan napi
koruptor, mendapat penolakan yang sangat keras dari orang-orang yang menamakan
dirinya penggiat antikorupsi. Namun disayangkan, argumentasi penolakan tersebut
menggunakan argumentasi yang sesat (logical
fallacy). Disebutkan bahwa jika Koruptor dibebaskan, maka
mereka bisa melakukan korupsi lagi (?)
Mereka lupa bahwa tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan jika mempunyai kewenangan
. Sedangkan koruptor sudah
tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan, lalu mungkinkah dia akan melakukan korupsi lagi? Disebutkan pula, bahwa
pembebasan napi korupsi tidak akan menimbulkan efek jera kepada orang-orang yang
berniat untuk korupsi. Namun, argumentasi ini pun terbantahkan dengan fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita
masih tinggi yaitu 40 di tahun 2019.
Sel ruang tahanan |
Tentangan yang
paling keras terhadap wacana Menkumham tersebut datang dari Presenter sekaligus News Anchor Najwa
Shihab. Namun yang sangat disayangkan pula bahwa argumentasi yang dikemukakannya juga
menggunakan logika yang sesat (logical
fallacy).
Pertama,
Najwa melakukan hesty generalization
yang menganggap semua koruptur mendapat perlakukan istiwewa hanya berdasarkan
pada satu atau dua kasus koruptor yang high
profile, yang mendekam di Sukamiskin. Padahal, kita
tahu
jumlah napi koruptor ada sekitar 4.500 orang, yang tersebar di
seluruh Indonesia dengan kondisi yang memprihatinkan.
Kedua, presenter kondang ini menampilkan
argumentasi buatan (strawman) atau mengada-ada. Seolah-olah
Menkumham akan membebaskan semua napi koruptor. Padahal Menkumham hanya mengusulkan memberi asimilasi
terhadap napi koruptur yang usianya 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa pidananya, yang jumlahnya
hanya 300 orang dari 4500 napi koruptor seluruhnya atau hanya sekitar 6,5 persen.
Pembebasan bersyarat itu juga selayaknya diberikan kepada Napi yang memiliki riwayat penyakit Kronis (penyakit
menahun yang tergantung kepada obat-obatan untuk mempertahankan hidupnya). Sebab mereka tergolong berisiko tingg, yang
mengancam jiwa jika terkena Covid 19.
Siapa yang akan bertanggungjawab jika hal terburuk itu terjadi? Maka, tidak
patut kiranya rasa kebencian menutupi nurani kemanusiaan.
Diskriminasi PP 99/2012
Sebenarnya dengan
adanya PP 99 tahun 2012, napi koruptor mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan tidak adil karena pengetatan
remisi dan pembebasan bersyarat tidak diberlakukan pada narapidana pidana umum
(pidum) berat seperti tindak pidana pembunuhan berencana, pemerkosaan, pencabulan anak, dan prampokan dengan
kekerasan dan sebagainya. Padahal bentuk
kejahatan tersebut sangat berbahaya bagi masyarakat.
Sebagai bukti bahwa
pemberlakukan terhadap napi koruptor sangat diskrimatif dan tidak adil dapat
dilihat dari perbadingan masa pidana yang harus dijalani oleh napi koruptor dan
napi umum (Pidum) tersebut.
Karena mendapat
remisi, napi Pidum
tersebut yang divonis 5 tahun hanya menjalani masa pidana sekitar 2 tahun dan 9 bulan; vonis 10 tahun
hanya menjalani masa pidana hanya sekitar 5 tahun dan 7 bulan; vonis 15 tahun
hanya menjalani 8 tahun dan 8 bulan; dan vonis 20 tahun hanya menjalani masa pidana
hanya sekitar 12 tahun.
Bandingkan dengan
napi koruptor yang harus menjalani masa pidananya sesuai dengan vonis yang
dijatuhkan. Artinya, jika napi koruptor dijatuhi 15 tahun maka dia harus mendekam di
penjara selama 15 tahun juga. Oleh karena itu, benar kata Menkumham bahwa mereka yang menolak atau
menentang usulannya memiliki rasa kemanusiaan yang tumpul dan penuh dengan rasa kebencian.
Sudah saatnya kita membangun diskusi
publik yang mencerahkan yang jauh dari provokatif, imajinatif, partisan,
parsial dan menyudutkan perorangan atau kelompok. Berbeda pendapat atas sesuatu
perkara boleh-boleh saja, ini lazim di sebuah negara
demokrasi. Tetapi tentunya dengan dasar argumentasi yang sehat.
Media mainstream, jangan pernah menggunakan
logika yang keliru atau sesat (logical
fallacy) dalam reportase atau tayangannya, sebab media massa yang
disebut-sebut sebagai pemegang kekuasaan keempat (the fourth estate) setelah lembaga Eksekutif, Yudikatif dan
Legislatif, tentunya akan menimbulkan dampak yang berbahaya di masyarakat. Pers
adalah cermin masyarakat. Jika Persnya
bodoh, maka kita akan tahu sendiri, bayangan seperti apa yang muncul di
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar