Komaruddin Hidayat [pandorasquad.blogspot.com] |
Puasa Ramadhan yang dijalani umat Islam
terkandung pendidikan karakter yang sangat kuat agar seseorang mau menderita
dengan menolak makan dan minum serta berbagai
tindakan tercela karena setia pada hati nuraninya yang merasa dekat dan dilihat
Allah.
Di situ tak ada unsur paksaan dan berlangsung proses pembentukan
pribadi jujur dan merdeka di mana seseorang berbuat baik disertai penderitaan
secara sukarela, tanpa pengawasan dari siapa pun kecuali oleh kesadaran dirinya
sendiri.
Bulan Ramadhan adalah bulan untuk melakukan perjalanan ke dalam
diri (inner journey) untuk mengenali dan memberdayakan modal jati diri
seseorang yang fitri yang senantiasa mengajak pada kejujuran, kebaikan, dan
kedamaian.
Reformulasi
Dalam jargon keagamaan, hidup ini ibadah, semuanya tertuju hanya
untuk Allah. Namun, implementasi dan konsekuensi mengabdi kepada Allah adalah
juga mencintai dan melayani manusia. Jadi, siapa yang ingin dekat kepada Tuhan
haruslah hatinya juga dekat dengan manusia. Siapa yang ingin bersih di hadapan
Tuhan haruslah bersih di hadapan manusia.
Itulah sebabnya Al Quran secara tegas mengkritik, orang yang
rajin melakukan ritual keagamaan, tetapi kalau tidak peduli terhadap agenda
perbaikan sosial, seperti menyantuni orang miskin dan yatim, mereka dianggap
mendustakan agama. Pura-pura beragama.
Para penceramah agama selalu mengatakan bahwa Islam harus
menjadi rahmat bagi semesta. Jika disempitkan lagi, ekspresi dan implementasi
keislaman kita harus membawa rahmat bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Islam
harus ikut memperkuat pilar peradaban di Nusantara.
buka puasa bersama Bimbo di Bandung [tempo.co] |
Janganlah ritual agama diposisikan sebagai mekanisme penghapus
dosa sosial mengingat dosa vertikal (sin)
dan dosa horizontal (crime)
masing- masing memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaiannya. Betapapun
rajinnya seseorang beribadah, dia tak akan terbebas dari utang penyelesaian
kasus perdata dan pidana yang melilitnya.
Ketika kita merayakan Idul Fitri, salah satu pesan dasarnya
adalah bagaimana memberdayakan kefitrian seseorang untuk diaktualkan dalam
perilaku sosial sehingga aktivitas ritualnya membuahkan kontribusi positif bagi
upaya membangun masyarakat dan kehidupan bernegara yang juga fitri dan
berkeadaban.
Kalau tidak, maka berlaku sindiran Al Quran: meski lahiriahnya
tampak beragama, tetapi masih dikategorikan sebagai pendusta agama. Jadi, perlu
kita kritik formula pemahaman keagamaan yang keliru, bukan ajaran dasar
agamanya, mengingat formula dan konstruksi pemikiran agama akan memengaruhi
keyakinan dan perilaku agama seseorang.
Instrumen negara
Mengingat agama merupakan pedoman dan seruan moral, sulit
terwujud dalam perilaku sosial kalau tidak dibantu implementasinya oleh
perangkat negara yang memiliki legalitas dan otoritas mengatur wilayah publik.
Jadi, sebaik apa pun ajaran agama yang berkembang di Indonesia,
misalnya ajaran antikorupsi, tanpa lembaga eksekusi pemerintah yang bertanggung
jawab menciptakan pemerintahan bersih, ajaran agama hanya berhenti pada himpunan
normatif dan imbauan moral.
Maka, sungguh tidak fair menyalahkan lembaga agama dan kalangan
tokoh agama atas terjadinya berbagai korupsi dan tindak kekerasan di Indonesia.
Lembaga agama tidak memiliki kewenangan dan keahlian untuk melakukan pemberantasan
korupsi dalam ruang publik dan negara. Paling jauh hanya imbauan, seruan,
petisi, atau turut berdemonstrasi turun ke jalan.
Agama dan negara saling mengisi dan membutuhkan, bahkan dalam
negara yang disebut sekuler sekalipun. Agama memberikan acuan dan seruan
moral-spiritual, negara memberikan perlindungan bagi semua warganya apa pun
keyakinan agamanya serta mengeksekusi pesan-pesan moral agama.
Sekalipun masyarakat Indonesia disebut religius, jika
pemerintah, khususnya penegak hukum, lemah, pesan moral agama untuk kebaikan
publik sulit terwujud. Sebaliknya, sekalipun masyarakatnya tidak beragama, jika
pemerintahan sebuah negara tegas dan adil dalam melaksanakan hukum, korupsi
bisa ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu, tidak mengherankan justru banyak negara sekuler
yang lebih tertib dan rendah korupsinya dibandingkan Indonesia.
Dengan modal kefitrian setelah sebulan berpuasa, mari kita
hentikan olok-olok bahwa Indonesia sebagai bangsa dan masyarakat yang religius,
tetapi korup dan senang kekerasan. Rasanya ada formulasi pemahaman keagamaan
yang keliru. Di sini peran pendidikan sangat penting dan instrumen negara harus
berperan secara optimal.
*****
Catatan: Artikel ini ditulis oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN, Syarif Hidayatullah Jakarta, dimuat oleh Harian Kompas dengan judul "Agama dan Instrumen Negara" (http://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/15285732/Agama.dan.Instrumen.Negara). Mengingat isinya relevan dan konstektual dengan kondisi masyarakat Indonesia saat, maka Indonesiawaters.com menurunkan kembali untuk Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar